Rabu, 10 April 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KEEMPAT)

Beberapa hari sebelumnya…
“Sungging Prabangkara, tahukah engkau mengapa aku panggil untuk menghadap di sini?!” tegas Mahapatih Gajah Mada di bangsal kepatihan.
“Daulat, Mahapatih. Hamba hanya dapat mengira-ngira bahwa hamba akan mendapatkan tugas penting dari Paduka Mahapatih,” jawab Sungging Prabangkara dengan sikap ngapurancang.
Gajah Mada manggut-manggut. Tidak lupa dia tatap lekat-lekat pemuda yang tengah menghadapnya itu.
“Benar, Prabangkara. Sekarang, pertanyaannya, apakah kau sanggup menjalankannya?!”
“Daulat, Mahapatih. Sebagai rakyat dan prajurit Majapahit yang tidak memiliki kemampuan hebat layaknya Pamanda Mahamenteri Kanuruhan Gajah Enggon dan Pamanda Senopati Gagak Bongol, hamba merasa punya kehormatan untuk menjalankan apa pun tugas yang diembankan kepada hamba,” jawab Sungging Prabangkara.
Gajah Enggon dan Gagak Bongol yang disinggung namanya hanya tersenyum. Kedua pembesar Majapahit itu memang berada di bangsal kepatihan dan tengah menghadap Gajah Mada sebelum Sang Mahapatih memanggil Sungging Prabangkara. Lain halnya dengan Gajah Mada yang tampak mengamati dengan lekat sosok pemuda yang tengah dalam sikap ngapurancang di hadapannya ini.
“Perlu kau pikir dengan baik-baik, apakah kau akan sanggup menerima tugas yang kuberikan kepadamu ini, Prabangkara?!” tegas Gajah Mada lagi.
“Daulat, Mahapatih. Hamba akan mencoba untuk menunaikan tugas yang Paduka berikan kepada hamba dengan sebaik-baiknya,” jawab Sungging Prabangkara lagi dengan tegas.
“Baiklah. Dengarkan dan simak baik-baik titahku ini, Prabangkara!”
Gajah Mada kemudian memaparkan tugas yang harus dijalankan Sungging Prabangkara. Sementara, Sungging Prabangkara menyimaknya dengan baik. Seolah tidak ingin ada satu pun kata yang luput dari pendengarannya dengan sikapnya yang masih ngapurancang. Begitu pula dengan Gajah Enggon dan Gagak Bongol yang berada di ruangan itu.
“Mohon ampun, Mahapatih. Jadi tugas hamba hanyalah melukis Puteri Dyah Pitaloka dan mempersembahkannya kepada Sri Paduka melalui Mahapatih?” demikian Sungging Prabangkara bertanya menegaskan tugas yang diembannya.
“Ya, Prabangkara. Hanya itu, tidak lebih!”
“Daulat, Mahapatih. Apakah nantinya hamba memperkenalkan diri sebagai utusan dari Majapahit kepada para pembesar Kerajaan Sunda Galuh?”
“Jangan, Prabrangka. Aku ingin kau hanya dipandang sebagai seniman biasa. Agar tidak ada penafsiran yang tidak-tidak dari Kerajaan Sunda Galuh kepada Majapahit.”
“Daulat, Mahapatih. Hamba siap melaksanakan tugas ini!” tegas Sungging Prabangkara.
“Prabangkara, perlu aku tegaskan lagi kepadamu. Pemilihan engkau untuk mengemban tugas mulia dari Majapahit ini telah aku pertimbangkan masak-masak. Aku juga telah meminta pertimbangan dari Adinda Gajah Enggon dan Gagak Bongol. Tidak lupa, aku meminta pendapat dan masukan dari Pamanda Empu Prapanca.
“Semuanya menjawab hal yang sama, Prabangkara. Semua mempercayakan tugas ini kepadamu. Sebab, hanya kau saja di dalam pandangan para petinggi Majapahit yang mampu menjalankan tugas ini. Hasil lukisanmu selama ini selalu menjadi kebanggaan Gusti Prabu. Hasil lukisanmu selalu dikagumi beliau.
“Tetapi, jangan kau pikir mudah tugas ini. Melukis perempuan paling cantik di bumi Nusantara, yang pantas untuk menjadi permaisuri Gusti Prabu akan membuat kau bisa gila. Menjadi tidak waras dan tergoda untuk memilikinya. Setidaknya begitu yang disampaikan Empu Prapanca yang sudah berkelana keliling buana ini. Dan aku mempercayainya,” papar Mahapatih Gajah Mada.
Semua orang yang ada di dalam bangsal kepatihan tampak memperhatikan paparan Gajah Mada itu dengan seksama. Tidak ada satu pun yang angkat suara. Bahkan, hingga hembusan nafas mereka pun tidak terdengar.
“Sekarang, Prabangkara. Berangkatlah kau ke tanah Sunda. Bawa perbekalanmu. Aku yakin kau bisa menjawab dengan baik tugas yang aku embankan ini!”
Tanpa berkata-kata lagi, Sungging Prabangkara memasang sikap hormat dan undur diri dari bangsal kepatihan. Gajah Mada menatap pemuda yang beringsut menghilang dari pandangannya itu dengan tatapan yang nanar.
“Enggon, siapkan beberapa orang telik sandhi untuk membayangi Prabangkara. Tidak perlu banyak orang. 4 orang bekerja bergiliran!” titah Gajah Mada lagi.
“Daulat, Kakang. Tapi Adinda mohon ampun dan memohon izin untuk mengajukan sebuah pertanyaan,” tukas Gajah Enggon.
Tidak ada jawaban yang muncul dari mulut Gajah Mada. Hanya anggukan pelan yang mewakilinya.
“Hamba berpikir untuk apa mengirim telik sandhi lagi ke tanah Sunda. Bukankah Majapahit sudah mengutus beberapa orang telik sandhi ke sana sebelumnya.”
“Apa yang kau utarakan itu sudah benar, Enggon. Tetapi, tugas mereka selama ini tidaklah sama dengan yang harus mereka emban saat ini. Tugas mereka selama ini hanya untuk mengamati semua perkembangan yang terjadi di tanah Sunda. Bukan untuk mengamati gerak-gerik Prabangkara. Maka, sudah menjadi kewajaran jika aku menyiapkan pasukan yang baru untuk itu. Orang-orang yang kalau bisa belum pernah bersinggungan dengan Kerajaan Sunda Galuh. Apakah kau sepakat dengan jalan pemikiranku ini?!”
Gajah Enggon hanya menganggukkan kepala. Dia tahu, sejak dulu ketika Gajah Mada sudah memiliki sebuah keinginan, pastilah tidak dapat dibendung. Maka, dengan sikap hormat, dia undur diri dari bangsal kepatihan yang diikuti oleh Gagak Bongol. Meninggalkan Gajah Mada yang terpekur sendirian di dalam bangsal kepatihan.
“Ah, Prabangkara. Semoga kau tidak tergoda…”
Sementara, di lapangan Bubat, Gajah Enggon tengah memanggil Layang Kumitir, Singa Pranajiwa, Bango Lumayang, dan Banyak Segaran. Keempat telik sandhi andalan Majapahit itu tampaknya pantas untuk mengemban tugas membayangi Sungging Prabangkara. Tugas yang tampak mudah, tetapi akan sulit ketika dijalani. Memata-matai pasukan sendiri pastilah membuat perasaan mereka campur aduk.
Tanpa basa-basi, ketika keempat telik sandhi itu menghadapnya, Gajah Enggon segera memberi wejangan singkat. Mereka juga diminta untuk menghindari dan tidak membuka pembicaraan dengan telik sandhi yang saat ini sudah berada di tanah Sunda Galuh, juga kepada Sungging Prabangkara. Keempat telik sandhi cekatan itu hanya bertugas untuk membayangi Sungging Prabangkara. Tidak lebih dari itu.
Keesokan harinya, tanpa diketahui Sungging Prabangkara, keempat telik sandhi itu membayangi keberangkatan pemuda yang tengah menunaikan tugas mulia dari Majapahit itu. Sesekali menyelinap, kehadiran empat telik sandhi itu tidak dapat dirasakan oleh Sungging Prabangkara. Juga oleh penduduk yang mereka lewati di dalam perjalanan menuju ke tanah Sunda. Jika pun ada yang dapat merasakan kehadiran para telik sandhi itu, mereka pastilah orang yang memiliki olah kanuragan tinggi. Atau telik sandhi kerajaan lain yang memiliki kemampuan sama dengan mereka. Tetapi, jika mau dicari di seluruh wilayah Nusantara, jumlah mereka tidaklah banyak.

Jumat, 15 Maret 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KETIGA)

Dengan tangan bergetar dan masih belum sanggup menguasai emosi, Sungging Prabangkara menggoreskan alat lukisnya di atas hamparan kain yang dibawanya. Pelan namun pasti dia memindahkan keindahan alam Sunda Galuh yang menjadi latar belakang lukisan untuk menambah kecantikan Dyah Pitaloka.
Memang lukisan Dyah Pitaloka belum terlihat dengan sempurna. Ini tidak lepas dari masih belum sempurnanya imajinasi Sungging Prabangkara untuk memindahkan sosok Dyah Pitaloka ke dalam lukisan. Si pelukis muda itu tampak masih belum dapat menguasai diri dari keterkejutannya. Bahkan, hingga dia harus istirahat untuk melahap makanan yang tersaji, belum didapatkannya gambaran utuh yang pas untuk dia tuangkan ke dalam lukisan.
Hanya hari yang beranjak senja yang dapat menghentikannya sementara waktu. Dia memohon izin untuk menyelesaikannya keesokan hari seraya memohon kesediaan Puteri Dyah Pitaloka kembali.
“Kisanak, bolehkah aku lihat dulu hasil lukisanmu,” pinta Dyah Pitaloka.
Sungging Prabangkara terkejut. Tidak mengira permintaan Puteri Dyah Pitaloka itu. Namun, permintaan itu harus dia turuti juga. Dengan gugup, diserahkannyalah lukisan yang masih belum berbentuk itu kepada Puteri Dyah Pitaloka.
Sang Puteri pun hanya manggut-manggut. Meski lukisan itu belum sempurna benar, tetapi Sang Puteri sudah dapat menangkap sedikit keindahan lukisan itu.
“Meski belum terlihat sempurna, harus aku akui keindahan lukisanmu ini, Kisanak. Baiklah, besok dapat kau teruskan lukisanmu ini. Sekarang, beristirahatlah,” ucap Dyah Pitaloka dengan suara merdunya.
“Prajurit, tolong siapkan tempat istirahat untuk Kisanak ini,” sambung Prabu Maharaja Linggabuana bertitah.
Dengan sigap dan setelah memberi hormat kepada Prabu Maharaja Linggabuana, salah seorang prajurit pengawal istana mengantarkan Sungging Prabangkara ke tempat istirahatnya. Dalam perjalanan menuju tempat istirahat yang terletak di seberang pendapa, Sungging Prabangkara dapat menangkap keindahan Sunda Galuh yang disirami cahaya sang bagaskara yang tengah menuju ke barat, ke peraduannya.
“Memang indah kerajaan ini. Hanya kecantikan Puteri Dyah Pitaloka saja yang dapat mengalahkannya,” ujar Sungging Prabangkara di dalam hati.
Malam mulai menjamu kehadiran sang waktu. Suhu udara yang mulai beranjak dingin dan menusuk ke dalam tulang-belulang tidak dapat menghilangkan kehangatan rasa yang tengah berkecamuk di dalam hati Sungging Prabangkara ketika melihat kembali hasil lukisannya yang belum sempurna itu.
“Ah, Puteri Dyah Pitaloka. Kecantikanmu memang tidak ada yang dapat menandingi,” batinnya.
Kerisauan yang tumbuh di dalam hati Sungging Prabangkara tidak dapat ditutupi lagi. Dalam berpuluh tahun dia hidup dan terlahir di dunia ini, memang baru kali ini dia menemui sosok cantik rupawan seperti Puteri Kerajaan Sunda Galuh ini. Pengembaraan yang selama ini dia lakukan dan bertemu dengan sejumlah perempuan cantik di pelosok Nusantara nyatanya tidak dapat mengalahkan aura kecantikan yang terpancar dari sosok Dyah Pitaloka.
Jika pun mungkin ada yang dapat menandingi kecantikan Puteri Kerajaan Sunda Galuh itu, selain para bidadari di Kahyangan, dia adalah ibunya yang telah lama mangkat. Perempuan yang rela mengadu nyawa ketika melahirkannya ke dunia fana ini. Perempuan yang dipujanya selama ini, meski dia telah berada di alam Kahyangan.
Secara perlahan Sungging Prabangkara mengambil gulungan kainnya. Dikeluarkannya suling bambu yang selama ini menemani perjalanan dan mengisi waktu sebelum tidurnya. Perlahan ditiupnya suling itu dengan nada-nada rendah untuk mengantarkan kerinduannya akan keindahan. Keindahan yang selama ini hanya terpatri di dalam ingatannya.
Alunan suara suling yang mendayu-dayu itu sampai juga menghantam indera pendengaran Dyah Pitaloka. Tidak hanya sang Puteri, semua orang yang berada di istana kerajaan terkejut dan terhanyut dengan irama yang keluar dari suara suling itu. Hal yang sama juga dialami Prabu Maharaja Linggabuana.
“Siapa yang meniup suling menjelang tengah malam seperti ini? Ada apa gerangan?” batin Prabu Maharaja Linggabuana.
Dengan sigap Prabu Maharaja Linggabuana bangkit dari peraduannya. Diikuti oleh sang permaisuri yang tampak keheranan, tetapi menikmati alunan suling yang mengisi ruang Sunda Galuh di malam hari itu.
“Prajurit, cari si peniup suling itu. Dan bawa dia ke hadapanku!” titah Sang Prabu.
Tidak butuh waktu lama bagi para prajurit untuk menghadapkan Sungging Prabangkara ke hadapan Prabu Maharaja Linggabuana. Karena memang apa yang dilakukan Sungging Prabangkara itu tidak lazim dan hanya satu orang pendatang di Kerajaan Sunda Galuh pada hari itu yang menginap.
“Kisanak, aku telah memberi izin dan restu untuk kau abadikan puteriku ke dalam lukisan. Puteriku pun telah memberikanmu izin. Lantas, apa yang kau lakukan saat ini menimbulkan kecurigaan bagiku. Katakan, untuk apa kau tiup suling itu pada malam hari seperti ini?!” tegas Prabu Maharaja Linggabuana.
“Daulat, Paduka. Mohon ampun beribu ampun. Bukan maksud hamba ingin mengganggu kedamaian yang tengah Paduka rasakan. Tetapi, hamba tidak mengetahui bahwa kebiasaan hamba meniup suling untuk mengantarkan hamba ke alam mimpi ini menganggu Paduka. Untuk itu, sekali lagi hamba memohonkan ampunan,” urai Sungging Prabangkara.
“Benar tidak ada maksud lain, Kisanak?!”
“Daulat, Paduka. Mohon ampun beribu ampun. Tidak ada niatan lain bagi hamba untuk menganggu kedamaian rakyat Sunda Galuh beserta para pembesarnya. Hamba memang memiliki kebiasaan meniup suling sebelum hamba terlelap. Untuk itu, hamba memohon izin dan restu dari Paduka,” jawab Sungging Prabangkara dengan sikap yang semakin menghormat.
“Baiklah, Kisanak. Sebelum aku putuskan, aku ingin kau ceritakan dulu siapa engkau sebenarnya.”
Sungging Prabangkara akhirnya menceritakan siapa dirinya. Seluruh bagian dari hidupnya dia ceritakan dengan singkat dan jelas, meski ada beberapa bagian yang terpaksa dia tutupi. Pada sisi lain, Prabu Maharaja Linggabuana tampak manggut-manggut dan mencoba mencerna kebenaran cerita pemuda itu. Sesekali Prabu Maharaja Linggabuana mencuatkan alisnya.
“Demikianlah sedikit cerita mengenai hamba, Paduka. Mohon ampun, meski tidak terlalu panjang, tetapi demikianlah adanya kebenaran cerita tentang hamba,” tutup Sungging Prabangkara.
“Baiklah, Kisanak. Aku izinkan kau melanjutkan kegiatanmu. Tetapi, ketika malam sudah beranjak pada puncaknya, meski kau belum dapat memejamkan mata, kau harus hentikan kegiatanmu itu. Apakah kau sanggup?!”
“Daulat, Paduka.”
“Baiklah, Kisanak. Kau boleh kembali ke bangsalmu.”
Didahului dengan sikap hormat, Sungging Prabangkara undur diri dari pendapa istana. Diapit oleh dua orang prajurit pengawal istana, dia kembali ke bangsalnya dan melanjutkan kegiatannya. Suara kerinduan yang terwakili melalui alunan suling kini kembali terdengar dan memecah keheningan Kerajaan Sunda Galuh.
Begitu indahnya, hingga alunan suling yang kedua kalinya itu setelah sempat berhenti beberapa saat, mampu mengantarkan Dyah Pitaloka terbenam di dalam peraduannya. Begitu pula dengan Prabu Maharaja Linggabuana dan sang permaisuri yang telah kembali dari pendapa tadi. Dan jika pun ada yang masih terjaga, mereka adalah para binatang malam dan para prajurit yang bertugas mengawal istana.
Juga para telik sandhi Kerajaan Majapahit yang tengah bersembunyi di balik rerimbunan pepohonan…
“Gila! Sungging Prabangkara keterlaluan. Sulingnya selalu dia mainkan dan bisa membuat orang dengan telak jatuh ke alam mimpi,” bisik salah seorang telik sandhi kepada rekannya.
“Tenang saja. Yang penting kau jangan sampai terlelap. Bisa kacau nanti tugas kita ini. Dan begitu aku laporkan kepada Mahapatih, bisa mampus kau,” sahut rekan telik sandhi itu sambil menakut-nakuti.
“Keparat!” umpat telik sandhi itu.
Mendengar hal itu, rekan telik sandhi itu menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara gelak tawanya dan terdengar siapa pun yang melintas di bawah pepohonan.
Sudah beberapa lamanya alunan suling dia lontarkan dari hembusan nafas dari dalam mulutnya dan menyadari malam mulai mencapai puncaknya, Sungging Prabangkara menyudahi kegiatannya itu. Perlahan dia rebahkan tubuhnya di atas peraduan. Lama dia terdiam namun kedua belah matanya tidak jua dapat tertutup.
Pikirannya, sekali lagi untuk terus-menerus sejak tadi, tidak dapat mengenyahkan kecantikan Dyah Pitaloka. Kekaguman tampak muncul dari dirinya.
“Ah, Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, mengapa kau berikan aku tugas yang sedemikian beratnya,” bisiknya dengan suara yang sesak menghimpit dadanya.
Sungging Prabangkara pun tenggelam dalam dunianya sebelum terlelap. Banyak angan yang merajai pikirannya yang tidak dapat dia singkirkan. Semua itu tertuju pada satu sosok: Dyah Pitaloka.
“Ah, andai saja…”
“Ah, jika saja…”
“Ah…”

Jumat, 01 Maret 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KEDUA)

Kerajaan Sunda Galuh…

Kerajaan itu terletak di dekat sungai yang mengalir dengan tenang dari hulunya di pegunungan yang mengitari sekaligus menjadi pelindungnya. Hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning dan cicitan burung yang terbang di angkasa menambah indah panorama kerajaan yang dipimpin Prabu Maharaja Linggabuana itu.

Nyanyian para petani yang tampak menikmati masa mendekati panen menambah suasana harmonis di wilayah Kerajaan Sunda Galuh. Kalau pun ada yang mengusik keindahan dan keharmonisan itu adalah suara parau burung gagak yang mencari mangsa dan suara hewan buas lainnya yang menempati hutan di lereng-lereng gunung.

Dari sebuah sudut kerajaan, terderang lesung dan alu bertumbukan dan diiringi oleh derai tawa para wanita. Itulah derai tawa para dayang kerajaan yang tengah menyiapkan beberapa jumput beras untuk mengisi perut keluarga kerajaan siang nanti. Tak peduli sang bagaskara yang berwarna kuning keemasan hendak mencapai titik puncaknya, mereka tampak asyik mengubah padi dan gabah untuk menjadi beras. Mereka tampak bersuka-ria dan menganggap pekerjaan mereka sebagai beban.

“Nyai, ini sudah hampir selesai. Bagaimana dengan api tungkunya? Parantos?” tanya salah seorang dari dayang itu.

Parantos, Nyai. Sudah siap!” jawabnya.

Saé,” tukas dayang yang bertanya tadi.

Tidak lama kemudian bau tanakan nasi dari beras yang diolah para dayang tadi mulai tercium dengan harumnya. Seluruh Nusantara memang mengagumi beras dan nasi yang berasal dari tanah Sunda. Sebab, selain harum, nasi dari beras tanah Sunda memiliki rasa yang khas yang dapat membuat orang yang memakannya untuk menambah porsi. Tidak akan kenyang rasanya perut mereka jika hanya memakan nasi dari beras Sunda hanya satu piring saja.

Sementara dari pendapa istana, Prabu Maharaja Linggabuana beserta sang permaisuri tampak sedang asyik menikmati pagi dari singgasana. Kesibukan yang luar biasa dilakukan rakyat Sunda Galuh tetap saja membuat sang Prabu tampak menikmatinya. Dan juga bersyukur masih bisa menikmati kehidupan normal rakyat Sunda Galuh.

Pada sudut lain di istana, Dyah Pitaloka Citraresmi sedang duduk dengan anggunnya. Di hadapan puteri Prabu Maharaja Linggabuana itu, Sungging Prabangkara sedang menggoreskan alat lukisnya di atas lembaran kain. Secara perlahan, bentuk lukisan itu mulai terlihat dengan indahnya. Tidak terpaut jauh dengan model lukisannya.

Tidak hanya Sungging Prabangkara, seluruh rakyat Sunda Galuh memang harus mengakui bahwa kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi. Kecantikan yang sebenarnya sukar untuk dituangkan di atas lembar lukisan. Namun, Sungging Prabangkara ternyata dapat menuangkannya dengan sempurna.

Ingatan Prabu Maharaja Linggabuana melayang pada kejadian beberapa hari yang lampau. Di hadapannya ketika itu hadir seorang pemuda yang meski berbusana rapi, tetapi rambutnya dibiarkan terurai. Cenderung awut-awutan, atau tidak tertata dengan rapi. Di tangannya tergenggam beberapa alat lukis dan lembaran kain.

“Mohon maaf, Paduka,” buka seniman itu dengan sikap menghormatnya.

“Ya, Kisanak. Aku sudah tahu apa yang menjadi keinginanmu. Aku bisa lihat dari apa yang kau bawa sekarang, dan itu sudah cukup untuk mewakilinya. Tetapi…” ujar Praba Maharaja menggantungkan kalimatnya.

“Daulat, Prabu.”

“Mengapa kau memilih puteriku untuk kau lukis, Kisanak? Hingga kau rela jauh-jauh datang ke tanah Sunda ini…”

“Daulat, Prabu. Mohon ampun jika hamba dipandang lancang meminta izin kepada Paduka untuk melukis keindahan Puteri Dyah Pitaloka. Semua ini tidak lepas dari keinginan hamba untuk membuktikan kabar burung yang beredar selama ini di seluruh pelosok Nusantara…”

Sambil mengerenyitkan dahi, Prabu Maharaja Linggabuana memotong perkataan Sungging Prabangkara, “Kabar burung apa itu, Kisanak? Apakah ada yang tidak benar dari keluargaku? Apakah ada kabar nyinyir tentang Kerajaan Sunda Galuh ini?!”

“Daulat, Prabu. Mohon ampun sekali lagi, hamba dapat menjamin bahwa tidak ada kabar miring sedikit pun tentang Kerajaan Sunda Galuh maupun tentang keluarga Paduka,” jawab Sungging Prabangkara dengan menenggelamkan wajahnya.

“Lalu?!”

“Mohon ampun beribu ampun sekali lagi, Paduka. Hal yang mengusik hamba hingga memberanikan diri untuk memohon izin dari Paduka adalah kabar tentang kecantikan Puteri Dyah Pitaloka yang tersohor hingga ke seluruh Nusantara. Selain hamba ingin membuktikannya, hamba juga ingin mengabadikannya melalui goresan alat lukis hamba ini,” jelas Sungging Prabangkara.

“Tetapi,” lanjutnya, “jika memang hamba tidak diizinkan dan dipandang tidak pantas untuk mengabadikan Puteri Dyah Pitaloka ke dalam sebuah lukisan, hamba mohon kepada Paduka untuk diizinkan menyaksikan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka. Hamba memohon ampun dan kebijaksanaan Paduka atas kelancangan hamba ini. Semua semata untuk menghapuskan rasa penasaran yang selama ini terpendam di dalam benak hamba.”

Prabu Maharaja Linggabuana tampak tercenung. Dia tahu bahwa kecantikan puterinya telah mampu menggoyang Nusantara. Namun, dia tidak mengira ada orang yang nekad memohon kepadanya untuk mengabadikan kecantikan puterinya itu. Dan kini, di hadapannya, orang itu sedang menghadapnya.

“Kisanak, diizinkan atau tidak, aku tidak dapat memutuskannya. Semua harus mendapatkan persetujuan dari puteriku. Tetapi ingat, Kerajaan Sunda Galuh selalu menerima tamu dengan tangan terbuka selama dia jujur dan tidak memiliki keinginan macam-macam terhadap kerajaan ini. Apakah kau mengerti?!”

“Daulat, Prabu. Hamba hanya dapat menjawab, hamba tidak memiliki keinginan macam-macam di kerajaan yang makmur ini. Kedatangan hamba di tanah Sunda ini hanya untuk menghapuskan rasa penasaran hamba, tidak lebih dari itu, Paduka. Dan jika memang nantinya Puteri Dyah Pitaloka berkenan untuk diabadikan ke dalam sebuah lukisan, hamba siap untuk melakukannya,” terang Sungging Prabangkara.

“Baiklah. Kau tunggu di sini. Aku akan menanyakannya terlebih dulu kepada puteriku,” balas Prabu Maharaja Linggabuana sambil beranjak dari singgasananya.

Cukup lama juga Sungging Prabangkara menunggu izin dari Sang Puteri Kerajaan Sunda Galuh. Tetapi dia memang harus bersabar. Karena memang pasti tidaklah mudah untuk mengambil keputusan yang sulit itu. Jika hanya untuk menyaksikan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka, semua orang dapat melakukannya. Tetapi, untuk mengabadikannya di dalam lukisan, pasti membutuhkan pemikiran yang dalam.

Sungging Prabangkara mulai tidak nyaman dengan keadaan ini. Sendiri di tengah pendapa istana dan diawasi oleh prajurit penjaga istana merupakan sesuatu yang belum pernah dia alami. Namun tekadnya memang sudah bulat. Satu di antara dua pilihan yang diajukannya kepada Sang Prabu, pastilah dapat dipenuhi. Dan jika dia beruntung, mungkin kedua pilihan yang telah disodorkannya itu dapat menjadi kenyataan. Seniman muda itu hanya dapat berdoa dan menunggu…

Beruntung penantiannya tidak terlalu lama lagi. Dari dalam istana menuju ke arah pendapa, dilihatnya sosok seorang perempuan muda tengah diapit oleh para dayang. Di belakangnya tampaklah sang Prabu dan sang permaisuri mengikuti langkah rombongan sang puteri. Seolah menandakan bahwa perempuan muda yang diapit oleh para dayang itu memiliki nilai yang lebih jika dibandingkan dengan harta kerajaan lainnya.

Wajah perempuan muda itu tampak memancarkan aura kecantikan, meski masih diselubungi dengan sehelai kain. Hal yang dapat dipastikan akan menambah rasa penasaran bagi siapa pun yang menyaksikannya. Termasuk Sungging Prabangkara yang merasa detik demi detik waktu berjalan dengan lambatnya.

Setelah duduk di singgasana, dan sang Puteri duduk pada dampar kencananya, Prabu Maharaja Linggabuana angkat suara, “Baiklah, Kisanak. Apa pun yang diputuskan puteriku dapat kau dengar sendiri sekarang.”

Makin berdebar derap jantung Sungging Prabangkara. Jika memang diperbolehkan untuk melakukan sesuatu untuk menutupi kegugupannya, pastilah akan dia lakukan.

“Kisanak,” sebuah suara merdu dan indah terdengar di indera pendengaran, muncul dari wajah yang diselubungi sehelai kain itu.

“Sebelum aku menjawab apa yang kau utarakan kepada Ayahanda Prabu tadi, aku ingin mendengarkannya langsung darimu.”

Dengan sikap hormat, Sungging Prabangkara menyampaikan maksud kedatangannya kepada Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi. Singkat dan jelas, tanpa ada basa-basi sedikit pun.

“Jadi begitu,” ujar Dyah Pitaloka.

“Jika engkau aku izinkan untuk sekadar melihatku saja, apakah kau sudah cukup puas?” lanjutnya dengan masih menyembunyikan wajahnya dari balik sehelai kain.

Sambil mengangguk, Sungging Prabangkara menjawab, “ Daulat, Tuan Puteri.”

“Lalu,” imbuh Sang Puteri, “jika kau aku izinkan untuk melukisku, apakah kau juga cukup puas?”

Terhentak dengan pertanyaan menukik dari Puteri Dyah Pitaloka, Sungging Prabangkara terdiam. Dia tidak mampu menjawabnya karena tidak dapat menguasai keterkejutannya, meski sebenarnya hal itulah yang menjadi keinginannya. Sungging Prabangkara hanya dapat mengangguk pelan dengan tidak meninggalkan sikap hormatnya.

Pada sisi lain, dari balik selimut kainnya, Dyah Pitaloka Citraresmi dapat menangkap ketampanan pria yang ingin melukisnya itu. Dia tidak tahu rasa apa yang tengah dia alami saat ini. Dia hanya tahu hatinya tergetar dan detak jantungnya bergemuruh. Bahkan, jika dia tidak pintar menutupinya, semua orang yang ada di pendapa itu dapat menangkap sinyal jiwanya yang tengah terguncang itu.

Prabu Maharaja Linggabuana yang menangkap keterkejutan Sungging Prabangkara ikut angkat suara. Dengan suara yang bijak dan santun, dia berkata, “Kisanak, jawab pertanyaan puteriku itu.”

“Daulat, Paduka. Daulat, Tuan Puteri,” jawab Sungging Prabangkara dengan suara yang tercekat.

Di dalam hatinya, meski mengharapkan, Sungging Prabangkara menyesali kenekadannya itu. Dia tidak mengira bahwa keinginannya itu membuatnya menghadapi sebuah masalah baru. Dia tidak mengira bahwa keinginannya itu justru membuatnya tidak mampu untuk menghadapi gejolak jiwa.

“Baiklah, Kisanak. Aku memperbolehkan dan mengizinkan kau untuk melukisku. Sekarang, dalam keadaan seperti apa kau ingin melukisku?” tanya Puteri Dyah Pitaloka sambil membuka selubung kain dari wajahnya.

Tercekat dan terkejut Sungging Prabangkara melihat kenyataan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya dia memiliki gambaran akan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka, kini semuanya berguguran. Dia tidak mengira bahwa kecantikan sang Puteri jauh lebih indah dari bayangannya. Dia tidak mengira bahwa kecantikan sang Puteri mungkin hanya bisa disejajarkan dengan para bidadari di Kahyangan.

Sungging Prabangkara terdiam. Begitu pula dengan Dyah Pitaloka yang tidak mampu lagi menutupi keterkejutannya melihat ketampanan Sungging Prabangkara. Di dalam hatinya, Dyah Pitaloka mengakui ketampanan seniman muda itu tidak seperti perkiraannya dan membandingkannya dengan ketampanan Prabu Maharaja Linggabuana.

Alhasil, wajah keduanya tidak terpaut jauh ketampanannya. Memang pada wajah Prabu Maharaja Linggabuana kini ditumbuhi kerutan-kerutan, tetapi tetap saja tidak menghilangkan jejak ketampanannya ketika muda. Mungkin, jika usia antara Prabu Maharaja Linggabuana dengan Sungging Prabangkara tidak terpaut jauh, semua orang yang melihatnya akan mengira mereka kakak-beradik.

“Siapa pemuda ini? Dan mengapa ketampanannya menyerupai sang Prabu? Juga adikku, Niskala?” batin Dyah Pitaloka.

Meski hening, aura keterkejutan yang muncul dari Dyah Pitaloka dan Sungging Prabangkara tidak dapat tertutupi. Bagi orang yang memiliki kemampuan lain, mereka akan dapat menangkap aura itu. Namun, bagi orang yang tidak memiliki kemampuan lain, mereka hanya dapat menangkap dari isyarat wajah keduanya.

“Kisanak. Jawab pertanyaan puteriku tadi. Jangan kau diam membisu seperti itu,” sergah Prabu Maharaja Linggabuana.

Sambil mencoba menguasai keadaan, Sungging Prabangkara pun menjawab, “Daulat, Paduka, Tuan Puteri. Mohon ampun beribu ampun jika hamba terdiam seperti ini. Bukan berarti hamba tidak menghormati, tetapi jujur saja hamba tidak dapat menguasai diri seketika begitu mengetahui bahwa kecantikan Tuan Puteri hanya dapat disandingkan dengan para bidadari di Kahyangan.

“Hamba yang tadinya sudah memiliki gambaran sejauh mana kecantikan Tuan Puteri tetap saja dibuat terkejut. Hamba tidak mengira bahwa kecantikan Tuan Puteri jauh lebih indah jika dibandingkan dengan gambaran hamba tadi. Dan hamba tidak dapat menguasai diri ketika mengetahui bahwa gambaran hamba itu ternyata salah besar.

“Mohon ampun beribu ampun, Paduka. Bukan berarti hamba tidak sopan, tetapi karena keterkejutan hamba ini yang membuat hamba tidak dapat berkata-kata,” urainya.

Prabu Maharaja Linggabuana manggut-manggut. Begitu pula dengan sang permaisuri.

“Mohon ampun beribu ampun, Paduka. Dan mohon ampun beribu ampun, Tuan Puteri. Jika hamba memang diizinkan untuk mengabadikan kecantikan Tuan Puteri, sudilah kiranya Tuan Puteri tetap duduk di dampar kencana untuk hamba lukis. Dan sudilah kiranya pula Tuan Puteri untuk bersabar ketika hamba belum selesai menggoreskan alat lukis hamba di atas lembaran kain ini,” terang Sungging Prabangkara.

“Baiklah. Kau dapat memulainya sekarang,” kata Prabu Maharaja Linggabuana.

Rabu, 27 Februari 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN PERTAMA)

Proses pemindahan kekuasaan dari Maharani Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani kepada Maharaja Sri Rajasanagara, juga dikenal dengan Hayam Wuruk, memang dapat berjalan dengan lancar. Dan agar tidak sampai salah di dalam mengambil kebijakan, karena usianya yang masih muda, dibentuklah Nawaprabhu Ri Wilwatika, yang terdiri dari 9 orang penguasa Majapahit, untuk mendampingi Hayam Wuruk di dalam menjalankan roda pemerintahan Majapahit.

Namun, proses peralihan kekuasaan itu tidak akan lengkap jika sang Prabu tidak didampingi oleh seorang permaisuri. Seorang perempuan terpandang dari kalangan ningrat yang layak untuk dititipi buah cinta Maharaja Majapahit dan menjadi penerus kekuasaan dinasti Rajasa. Hal itu pula yang mengusik pemikiran Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada; juga para anggota Nawaprabhu Ri Wilwatika.

“Enggon, menurutmu siapa yang layak untuk menjadi permaisuri yang bersanding dengan Maharaja?” tanya Gajah Mada menukik kepada Gajah Enggon yang tengah menghadapnya di bangsal kepatihan.

Tumenggung yang juga menjabat sebagai salah satu Mahamenteri Majapahit itu hanya terdiam. Dia tahu dalam jangka waktu dekat dia akan dimintakan pendapat seperti ini. Sebab, sebagai bawahan Gajah Mada sejak masih menjabat sebagai Bekel Bhayangkara Majapahit, Gajah Enggon selalu menjadi orang pertama yang dimintakan pendapat tentang Majapahit. Meski terkadang pula Gajah Enggon yang menjadi takjub akan keputusan-keputusan brilian Gajah Mada.

Strategi pengamanan Maharaja Jayanegara, yang berabisheka Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Surandapandya Dewa Adhiswara ketika pemberontakan para Dharmaputera Winehsuka di awal masa kepemimpinan putera Sri Rajasa Sanggramawijaya, misalnya, pernah membuat Gajah Enggon tercengang. Begitu pula di dalam menumpas pemberontakan susulan yang terjadi seiring dengan kebesaran masa Majapahit, Gajah Enggon selalu dibuat terkagum-kagum dengan pemikiran pimpinannya itu.

Bahkan, ketika Majapahit mengalami krisis besar pasca-mangkatnya Sri Jayanegara, Gajah Mada punya peranan yang amat besar. Mendudukkan sementara Maharani Gayatri hingga diangkatnya Maharani Tribhuwanatunggadewi, tidak lepas dari tangan kokoh Gajah Mada. Peran yang akhirnya mendudukkan Gajah Mada pada posisi Mahapatih Amungkubhumi Majapahit, setelah sebelumnya pimpinannya itu ditatar menjadi Patih Kerajaan Daha.

Tetapi, yang membuat Gajah Enggon menjadi takjub lagi adalah kekuatan tekad Gajah Mada untuk menguasai Nusantara dan menjadikannya satu di bawah kepemimpinan Majapahit. Tekad yang akhirnya mulai dapat terwujud, dengan pelbagai macam pengorbanan yang diberikan Majapahit untuk meneruskan mimpi Sri Kertanegara, leluhur para Maharaja Majapahit ketika menjadi Maharaja Singasari berpuluh-puluh tahun yang lampau.

Bahkan, hingga kini, tekad Gajah Mada yang diwujudkan dengan Sumpah Palapa-nya itu masih terngiang di telinga Gajah Enggon. Juga mungkin di telinga seluruh rakyat Majapahit. Sumpah yang disampaikan di hadapan para pembesar Majapahit dan sempat menjadi bahan tertawaan para petinggi kerajaan ketika jabatan Mahapatih Amungkubhumi Majapahit diserahkan dari Arya Tadah kepada Gajah Mada itu secara perlahan mulai dapat terlihat buktinya. Hampir seluruh wilayah Nusantara kini berada di dalam genggaman Majapahit.

“Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa…”
“Bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa…”


Begitulah gelegar Sumpah Palapa Gajah Mada yang tidak akan lekang dari ingatan rakyat Majapahit.

“Enggon, bagaimana?!” tegur Gajah Mada yang mendapati tumenggung kepercayaannya itu masih termangu.

“Daulat, Kakang,” kata Gajah Enggon dengan sikap ngapurancang, “hamba rasa untuk masalah yang satu ini hamba belum mendapatkan jawabannya…”

Gajah Mada manggut-manggut. Dia tahu masalah ini adalah masalah yang tidak mudah pemecahannya. Jangankan bagi dirinya yang hingga saat ini tidak menjalin hubungan rumah tangga, bagi orang-orang seperti Gajah Enggon yang telah berkeluarga pun tidaklah mudah untuk memecahkan masalah ini.

Ingatan Gajah Mada melayang kepada masa kepemimpinan Sri Jayanegara. Gajah Mada juga pernah dibuat repot oleh Maharaja penerus Raden Wijaya itu. Hampir sama dengan Hayam Wuruk, Raden Kalagemet, nama kecil Jayanegara, naik tahta ketika masih muda usia karena mangkatnya Raden Wijaya secara mendadak. Dan Gajah Mada sempat dipercaya untuk mencarikan permaisuri yang pantas untuk menjadi pendamping Sri Jayanegara.

Namun, ketika itu Gajah Mada tidak berhasil menjalankan perannya. Beberapa pemberontakan yang timbul di masa itu dan bergesernya peran Gajah Mada di Majapahit karena dianugerahkan jabatan sebagai Patih Daha, membuatnya tidak dapat menunaikan tugas mulia itu dengan sempurna.

Sri Jayanegara tetap melajang hingga mangkatnya. Sempat hendak ingin mengangkat adik tirinya Sri Tribhunatunggadewi dan Sri Dyah Wiyat untuk menjadi permaisurinya, tetapi hal itu tidak dapat tercapai karena adanya pertentangan dari para pemaisuri Raden Wijaya. Bahkan, konon, Sri Jayanegara sempat dengan ngawurnya kesengsem oleh isteri Ra Tanca, salah satu Dharmaputera Winehsuka yang dimaafkan dan dibutuhkan kemampuannya setelah memberontak hingga akhirnya Maharaja Majapahit kedua itu mangkat di tangan Ra Tanca sendiri.

“Tugas seperti ini tidaklah semudah menaklukkan kerajaan lain untuk menyatu di bawah panji-panji Majapahit,” batin Gajah Mada.

Gajah Mada terpekur di bangsal kepatihan. Pikirannya menari-nari liar di dalam otaknya. Ditemani oleh Gajah Enggon yang tidak kalah diamnya.

“Enggon,” ujar Gajah Mada dengan suara berat, “tolong kau bantu aku memikirkan hal ini. Aku tahu ini bukanlah ranahku. Tetapi, aku yakin suatu waktu nanti Nawaprabhu Ri Wilwatika akan meminta saran dariku berkaitan dengan masalah ini. Itu pasti!”

“Daulat, Kakang. Hamba akan bantu memikirkannya,” jawab Gajah Enggon singkat.

“Sekarang, tinggalkan aku sendiri!” titah Gajah Mada.

“Daulat, Kakang,” tukas Gajah Enggon undur diri dengan terlebih dahulu menyampaikan sikap hormatnya.

Gajah Mada tenggelam dalam lamunannya. Dia tahu waktu untuk itu sudah dekat. Dia bertekad akan membantu Nawaprabhu Ri Wilwatika untuk memecahkan masalah pencarian permaisuri yang layak bagi Maharaja Majapahit Hayam Wuruk. Dia harap masalah ini dapat segera selesai dan tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan seperti yang pernah dia alami ketika masa kepemimpinan Sri Jayanegara beberapa puluh tahun lampau.

Tampuk kepemimpinan Majapahit harus dapat berlanjut di tangan mereka yang memang memiliki hak untuk itu. Mereka harus memiliki garis keturunan dan darah dari Sri Rajasa Sanggramawijaya. Maharaja Majapahit berikutnya yang menggantikan Sri Hayam Wuruk haruslah lahir dari benih yang ditanamkan oleh sang Prabu. Bukan dari kerabat; atau bahkan orang lain yang mengudeta kepemimpinan Sri Hayam Wuruk.

PALAGAN BUBAT (PROLOG)

Ratusan kapal karam di tengah lautan di ujung utara pulau Jawa. Begitu pula dengan kapal-kapal yang karam dan tercabik-cabik di dekat Pelabuhan Canggu. Tidak terhitung pula berapa nyawa melayang dari raganya dan diiringi oleh tangis, teriakan meregang nyawa, dan hembusan nafas terakhir.

Hari yang semestinya jadi hari bahagia dan mungkin saja menjadi awal dari penyatuan dua kerajaan besar di pulau Jawa kandas. Harga diri dan ego yang menjadi latar belakang. Tetapi, bisa pula ini disebabkan oleh konflik terselubung yang diselimuti aroma konspirasi, baik di dalam maupun dari luar kerajaan penguasa Nusantara.

Faktanya, lapangan Bubat, kini banjir dengan darah. Banjir dengan raga-raga yang tidak bernyawa atau di dalam proses peregangan nyawa. Meski suara dentingan senjata tajam masih bergemuruh di angkasa, namun luka yang ditimbulkan tidak jua menghilang hingga berabad-abad kemudian.

Perang Bubat juga yang merenggut kekuasaan Gajah Mada sebagai aktor penyatuan Nusantara dari kursi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Hujan satu hari menghapuskan kemarau panjang. Jasa-jasa besar Gajah Mada menyatukan Nusantara seolah musnah hanya gara-gara perang itu.

Majapahit memang terus berjalan, tetapi tanpa Gajah Mada, Majapahit tidak lagi mengalami masa keemasan. Majapahit memang tetap besar, tetapi wilayah kekuasaannya cenderung berkurang. Juga jadi bahan olok-olokan, meski tidak secara nyata, dari kerajaan-kerajaan di bawahnya, dan bahkan, kerajaan-kerajaan lain yang merasa terancam untuk dijadikan kerajaan bawahan Majapahit.

Senin, 29 November 2010

Negeri Kurawa (Prolog)

Aku sudah tidak tahu berapa lamanya waktu aku memandangi dan membaca sebuah kolom berita di salah satu surat kabar harian nasional ini melalui akses internet yang saban hari selalu aku telusuri. Padahal, waktu telah lama berlalu. Dan, negaraku kini telah berubah menjadi "Negeri Kurawa". Negeri para garong; koruptor; dan perampok; serta penjarah uang rakyat.
Kini, tahun 2025, negeriku ini telah berulang kali berganti pemimpin. Tidak hanya di tingkat nasional; tetapi juga di tingkat-tingkat di bawahnya. Namun, tidak ada sekali pun perubahan menuju ke arah yang baik yang dapat aku rasakan. Bahkan, mungkin, hal ini berlaku pula kepada seluruh penduduk di negeri yang sejak beberapa dekade lalu mencanangkan sebuah visi untuk menjadi negeri modern dan terdepan di dunia lima tahun lagi: tahun 2030.
Semua penduduk negeri ini pun tidak lagi tampak berdaya. Kekuasaan yang digerakkan oleh uang sudah menjadi maharaja di dalam kehidupun kita semua. Pragmatisme; demokrasi prosedural dan pelbagai hal buruk lainnya sudah menjadi karakter negerku, termasuk orang-orang yang berada di dalamnya.
Aku hanya dapat menjadi saksi sejarah. Yang selalu mengelus dada, jika teringat bagaimana cita-cita mulia dari para pendiri bangsa ini, yang mengorbankan segala sesuatunya untuk membebaskan diri dari penjajahan bangsa asing, berabad-abad lampau. Meski kini juga sebenarnya aku dan mungkin semua penduduk negeri ini merasa "terjajah", namun apa daya jika menghadapi "musuh" yang masih berwujud saudara sebangsa sendiri.
Mengapa aku mengatakan demikian? Sebab, mereka yang menjadi "penjajah" tidak ubahnya dengan kita semua. Rambut hitam; kulit sawo matang; hidung yang tidaklah mancung, malahan cenderung pesek; bermata sipit; berperawakan kecil atau sedang; dan lain sebagainya yang menjadi ciri-ciri fisik orang-orang di negeriku.
2025. Aku masih menjadi saksi sejarah. Akulah Kresna, yang diharapkan beberapa golongan orang baik di dalam "Negeri Kurawa" dan mengambil nama "Pandawa", untuk membantu mereka untuk mengenyahkan para "Kurawa" dan membangun "negeri baru": "negeri Utarakuru", meski masih terbalut dengan nama Indonesia. (Bersambung)

Senin, 13 Juli 2009

tiada yg abadi

Tiada yang abadi di dunia ini. Selarik bait ini terus terngiang di dalam memori saya. Bukan berarti bahwa saya menjadi fans berat Peterpan, yang tengah mempopulerkan lagu dengan judul yang sama dengan yang saya sampaikan di sini.
Saya hanya mengingat bahwa dalam beberapa waktu belakangan ini saya merasa jauh dari sentuhan spiritual. Jauh dari kata syukur melalui ibadah yang harus diterapkan sehari-hari. Hingga....
Beberapa waktu yang lalu saya merasa mendapatkan panggilan dari dalam hati ini. Otak saya berputar keras dan saking kerasnya membuat saya menjadi pusing. Panggilan yang belum pernah saya alami ini benar-benar mengejutkan saya. Panggilan ini terasa mendamaikan hati. Apakah itu?