Rabu, 10 April 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KEEMPAT)

Beberapa hari sebelumnya…
“Sungging Prabangkara, tahukah engkau mengapa aku panggil untuk menghadap di sini?!” tegas Mahapatih Gajah Mada di bangsal kepatihan.
“Daulat, Mahapatih. Hamba hanya dapat mengira-ngira bahwa hamba akan mendapatkan tugas penting dari Paduka Mahapatih,” jawab Sungging Prabangkara dengan sikap ngapurancang.
Gajah Mada manggut-manggut. Tidak lupa dia tatap lekat-lekat pemuda yang tengah menghadapnya itu.
“Benar, Prabangkara. Sekarang, pertanyaannya, apakah kau sanggup menjalankannya?!”
“Daulat, Mahapatih. Sebagai rakyat dan prajurit Majapahit yang tidak memiliki kemampuan hebat layaknya Pamanda Mahamenteri Kanuruhan Gajah Enggon dan Pamanda Senopati Gagak Bongol, hamba merasa punya kehormatan untuk menjalankan apa pun tugas yang diembankan kepada hamba,” jawab Sungging Prabangkara.
Gajah Enggon dan Gagak Bongol yang disinggung namanya hanya tersenyum. Kedua pembesar Majapahit itu memang berada di bangsal kepatihan dan tengah menghadap Gajah Mada sebelum Sang Mahapatih memanggil Sungging Prabangkara. Lain halnya dengan Gajah Mada yang tampak mengamati dengan lekat sosok pemuda yang tengah dalam sikap ngapurancang di hadapannya ini.
“Perlu kau pikir dengan baik-baik, apakah kau akan sanggup menerima tugas yang kuberikan kepadamu ini, Prabangkara?!” tegas Gajah Mada lagi.
“Daulat, Mahapatih. Hamba akan mencoba untuk menunaikan tugas yang Paduka berikan kepada hamba dengan sebaik-baiknya,” jawab Sungging Prabangkara lagi dengan tegas.
“Baiklah. Dengarkan dan simak baik-baik titahku ini, Prabangkara!”
Gajah Mada kemudian memaparkan tugas yang harus dijalankan Sungging Prabangkara. Sementara, Sungging Prabangkara menyimaknya dengan baik. Seolah tidak ingin ada satu pun kata yang luput dari pendengarannya dengan sikapnya yang masih ngapurancang. Begitu pula dengan Gajah Enggon dan Gagak Bongol yang berada di ruangan itu.
“Mohon ampun, Mahapatih. Jadi tugas hamba hanyalah melukis Puteri Dyah Pitaloka dan mempersembahkannya kepada Sri Paduka melalui Mahapatih?” demikian Sungging Prabangkara bertanya menegaskan tugas yang diembannya.
“Ya, Prabangkara. Hanya itu, tidak lebih!”
“Daulat, Mahapatih. Apakah nantinya hamba memperkenalkan diri sebagai utusan dari Majapahit kepada para pembesar Kerajaan Sunda Galuh?”
“Jangan, Prabrangka. Aku ingin kau hanya dipandang sebagai seniman biasa. Agar tidak ada penafsiran yang tidak-tidak dari Kerajaan Sunda Galuh kepada Majapahit.”
“Daulat, Mahapatih. Hamba siap melaksanakan tugas ini!” tegas Sungging Prabangkara.
“Prabangkara, perlu aku tegaskan lagi kepadamu. Pemilihan engkau untuk mengemban tugas mulia dari Majapahit ini telah aku pertimbangkan masak-masak. Aku juga telah meminta pertimbangan dari Adinda Gajah Enggon dan Gagak Bongol. Tidak lupa, aku meminta pendapat dan masukan dari Pamanda Empu Prapanca.
“Semuanya menjawab hal yang sama, Prabangkara. Semua mempercayakan tugas ini kepadamu. Sebab, hanya kau saja di dalam pandangan para petinggi Majapahit yang mampu menjalankan tugas ini. Hasil lukisanmu selama ini selalu menjadi kebanggaan Gusti Prabu. Hasil lukisanmu selalu dikagumi beliau.
“Tetapi, jangan kau pikir mudah tugas ini. Melukis perempuan paling cantik di bumi Nusantara, yang pantas untuk menjadi permaisuri Gusti Prabu akan membuat kau bisa gila. Menjadi tidak waras dan tergoda untuk memilikinya. Setidaknya begitu yang disampaikan Empu Prapanca yang sudah berkelana keliling buana ini. Dan aku mempercayainya,” papar Mahapatih Gajah Mada.
Semua orang yang ada di dalam bangsal kepatihan tampak memperhatikan paparan Gajah Mada itu dengan seksama. Tidak ada satu pun yang angkat suara. Bahkan, hingga hembusan nafas mereka pun tidak terdengar.
“Sekarang, Prabangkara. Berangkatlah kau ke tanah Sunda. Bawa perbekalanmu. Aku yakin kau bisa menjawab dengan baik tugas yang aku embankan ini!”
Tanpa berkata-kata lagi, Sungging Prabangkara memasang sikap hormat dan undur diri dari bangsal kepatihan. Gajah Mada menatap pemuda yang beringsut menghilang dari pandangannya itu dengan tatapan yang nanar.
“Enggon, siapkan beberapa orang telik sandhi untuk membayangi Prabangkara. Tidak perlu banyak orang. 4 orang bekerja bergiliran!” titah Gajah Mada lagi.
“Daulat, Kakang. Tapi Adinda mohon ampun dan memohon izin untuk mengajukan sebuah pertanyaan,” tukas Gajah Enggon.
Tidak ada jawaban yang muncul dari mulut Gajah Mada. Hanya anggukan pelan yang mewakilinya.
“Hamba berpikir untuk apa mengirim telik sandhi lagi ke tanah Sunda. Bukankah Majapahit sudah mengutus beberapa orang telik sandhi ke sana sebelumnya.”
“Apa yang kau utarakan itu sudah benar, Enggon. Tetapi, tugas mereka selama ini tidaklah sama dengan yang harus mereka emban saat ini. Tugas mereka selama ini hanya untuk mengamati semua perkembangan yang terjadi di tanah Sunda. Bukan untuk mengamati gerak-gerik Prabangkara. Maka, sudah menjadi kewajaran jika aku menyiapkan pasukan yang baru untuk itu. Orang-orang yang kalau bisa belum pernah bersinggungan dengan Kerajaan Sunda Galuh. Apakah kau sepakat dengan jalan pemikiranku ini?!”
Gajah Enggon hanya menganggukkan kepala. Dia tahu, sejak dulu ketika Gajah Mada sudah memiliki sebuah keinginan, pastilah tidak dapat dibendung. Maka, dengan sikap hormat, dia undur diri dari bangsal kepatihan yang diikuti oleh Gagak Bongol. Meninggalkan Gajah Mada yang terpekur sendirian di dalam bangsal kepatihan.
“Ah, Prabangkara. Semoga kau tidak tergoda…”
Sementara, di lapangan Bubat, Gajah Enggon tengah memanggil Layang Kumitir, Singa Pranajiwa, Bango Lumayang, dan Banyak Segaran. Keempat telik sandhi andalan Majapahit itu tampaknya pantas untuk mengemban tugas membayangi Sungging Prabangkara. Tugas yang tampak mudah, tetapi akan sulit ketika dijalani. Memata-matai pasukan sendiri pastilah membuat perasaan mereka campur aduk.
Tanpa basa-basi, ketika keempat telik sandhi itu menghadapnya, Gajah Enggon segera memberi wejangan singkat. Mereka juga diminta untuk menghindari dan tidak membuka pembicaraan dengan telik sandhi yang saat ini sudah berada di tanah Sunda Galuh, juga kepada Sungging Prabangkara. Keempat telik sandhi cekatan itu hanya bertugas untuk membayangi Sungging Prabangkara. Tidak lebih dari itu.
Keesokan harinya, tanpa diketahui Sungging Prabangkara, keempat telik sandhi itu membayangi keberangkatan pemuda yang tengah menunaikan tugas mulia dari Majapahit itu. Sesekali menyelinap, kehadiran empat telik sandhi itu tidak dapat dirasakan oleh Sungging Prabangkara. Juga oleh penduduk yang mereka lewati di dalam perjalanan menuju ke tanah Sunda. Jika pun ada yang dapat merasakan kehadiran para telik sandhi itu, mereka pastilah orang yang memiliki olah kanuragan tinggi. Atau telik sandhi kerajaan lain yang memiliki kemampuan sama dengan mereka. Tetapi, jika mau dicari di seluruh wilayah Nusantara, jumlah mereka tidaklah banyak.