Rabu, 27 Februari 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN PERTAMA)

Proses pemindahan kekuasaan dari Maharani Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani kepada Maharaja Sri Rajasanagara, juga dikenal dengan Hayam Wuruk, memang dapat berjalan dengan lancar. Dan agar tidak sampai salah di dalam mengambil kebijakan, karena usianya yang masih muda, dibentuklah Nawaprabhu Ri Wilwatika, yang terdiri dari 9 orang penguasa Majapahit, untuk mendampingi Hayam Wuruk di dalam menjalankan roda pemerintahan Majapahit.

Namun, proses peralihan kekuasaan itu tidak akan lengkap jika sang Prabu tidak didampingi oleh seorang permaisuri. Seorang perempuan terpandang dari kalangan ningrat yang layak untuk dititipi buah cinta Maharaja Majapahit dan menjadi penerus kekuasaan dinasti Rajasa. Hal itu pula yang mengusik pemikiran Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada; juga para anggota Nawaprabhu Ri Wilwatika.

“Enggon, menurutmu siapa yang layak untuk menjadi permaisuri yang bersanding dengan Maharaja?” tanya Gajah Mada menukik kepada Gajah Enggon yang tengah menghadapnya di bangsal kepatihan.

Tumenggung yang juga menjabat sebagai salah satu Mahamenteri Majapahit itu hanya terdiam. Dia tahu dalam jangka waktu dekat dia akan dimintakan pendapat seperti ini. Sebab, sebagai bawahan Gajah Mada sejak masih menjabat sebagai Bekel Bhayangkara Majapahit, Gajah Enggon selalu menjadi orang pertama yang dimintakan pendapat tentang Majapahit. Meski terkadang pula Gajah Enggon yang menjadi takjub akan keputusan-keputusan brilian Gajah Mada.

Strategi pengamanan Maharaja Jayanegara, yang berabisheka Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Surandapandya Dewa Adhiswara ketika pemberontakan para Dharmaputera Winehsuka di awal masa kepemimpinan putera Sri Rajasa Sanggramawijaya, misalnya, pernah membuat Gajah Enggon tercengang. Begitu pula di dalam menumpas pemberontakan susulan yang terjadi seiring dengan kebesaran masa Majapahit, Gajah Enggon selalu dibuat terkagum-kagum dengan pemikiran pimpinannya itu.

Bahkan, ketika Majapahit mengalami krisis besar pasca-mangkatnya Sri Jayanegara, Gajah Mada punya peranan yang amat besar. Mendudukkan sementara Maharani Gayatri hingga diangkatnya Maharani Tribhuwanatunggadewi, tidak lepas dari tangan kokoh Gajah Mada. Peran yang akhirnya mendudukkan Gajah Mada pada posisi Mahapatih Amungkubhumi Majapahit, setelah sebelumnya pimpinannya itu ditatar menjadi Patih Kerajaan Daha.

Tetapi, yang membuat Gajah Enggon menjadi takjub lagi adalah kekuatan tekad Gajah Mada untuk menguasai Nusantara dan menjadikannya satu di bawah kepemimpinan Majapahit. Tekad yang akhirnya mulai dapat terwujud, dengan pelbagai macam pengorbanan yang diberikan Majapahit untuk meneruskan mimpi Sri Kertanegara, leluhur para Maharaja Majapahit ketika menjadi Maharaja Singasari berpuluh-puluh tahun yang lampau.

Bahkan, hingga kini, tekad Gajah Mada yang diwujudkan dengan Sumpah Palapa-nya itu masih terngiang di telinga Gajah Enggon. Juga mungkin di telinga seluruh rakyat Majapahit. Sumpah yang disampaikan di hadapan para pembesar Majapahit dan sempat menjadi bahan tertawaan para petinggi kerajaan ketika jabatan Mahapatih Amungkubhumi Majapahit diserahkan dari Arya Tadah kepada Gajah Mada itu secara perlahan mulai dapat terlihat buktinya. Hampir seluruh wilayah Nusantara kini berada di dalam genggaman Majapahit.

“Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa…”
“Bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa…”


Begitulah gelegar Sumpah Palapa Gajah Mada yang tidak akan lekang dari ingatan rakyat Majapahit.

“Enggon, bagaimana?!” tegur Gajah Mada yang mendapati tumenggung kepercayaannya itu masih termangu.

“Daulat, Kakang,” kata Gajah Enggon dengan sikap ngapurancang, “hamba rasa untuk masalah yang satu ini hamba belum mendapatkan jawabannya…”

Gajah Mada manggut-manggut. Dia tahu masalah ini adalah masalah yang tidak mudah pemecahannya. Jangankan bagi dirinya yang hingga saat ini tidak menjalin hubungan rumah tangga, bagi orang-orang seperti Gajah Enggon yang telah berkeluarga pun tidaklah mudah untuk memecahkan masalah ini.

Ingatan Gajah Mada melayang kepada masa kepemimpinan Sri Jayanegara. Gajah Mada juga pernah dibuat repot oleh Maharaja penerus Raden Wijaya itu. Hampir sama dengan Hayam Wuruk, Raden Kalagemet, nama kecil Jayanegara, naik tahta ketika masih muda usia karena mangkatnya Raden Wijaya secara mendadak. Dan Gajah Mada sempat dipercaya untuk mencarikan permaisuri yang pantas untuk menjadi pendamping Sri Jayanegara.

Namun, ketika itu Gajah Mada tidak berhasil menjalankan perannya. Beberapa pemberontakan yang timbul di masa itu dan bergesernya peran Gajah Mada di Majapahit karena dianugerahkan jabatan sebagai Patih Daha, membuatnya tidak dapat menunaikan tugas mulia itu dengan sempurna.

Sri Jayanegara tetap melajang hingga mangkatnya. Sempat hendak ingin mengangkat adik tirinya Sri Tribhunatunggadewi dan Sri Dyah Wiyat untuk menjadi permaisurinya, tetapi hal itu tidak dapat tercapai karena adanya pertentangan dari para pemaisuri Raden Wijaya. Bahkan, konon, Sri Jayanegara sempat dengan ngawurnya kesengsem oleh isteri Ra Tanca, salah satu Dharmaputera Winehsuka yang dimaafkan dan dibutuhkan kemampuannya setelah memberontak hingga akhirnya Maharaja Majapahit kedua itu mangkat di tangan Ra Tanca sendiri.

“Tugas seperti ini tidaklah semudah menaklukkan kerajaan lain untuk menyatu di bawah panji-panji Majapahit,” batin Gajah Mada.

Gajah Mada terpekur di bangsal kepatihan. Pikirannya menari-nari liar di dalam otaknya. Ditemani oleh Gajah Enggon yang tidak kalah diamnya.

“Enggon,” ujar Gajah Mada dengan suara berat, “tolong kau bantu aku memikirkan hal ini. Aku tahu ini bukanlah ranahku. Tetapi, aku yakin suatu waktu nanti Nawaprabhu Ri Wilwatika akan meminta saran dariku berkaitan dengan masalah ini. Itu pasti!”

“Daulat, Kakang. Hamba akan bantu memikirkannya,” jawab Gajah Enggon singkat.

“Sekarang, tinggalkan aku sendiri!” titah Gajah Mada.

“Daulat, Kakang,” tukas Gajah Enggon undur diri dengan terlebih dahulu menyampaikan sikap hormatnya.

Gajah Mada tenggelam dalam lamunannya. Dia tahu waktu untuk itu sudah dekat. Dia bertekad akan membantu Nawaprabhu Ri Wilwatika untuk memecahkan masalah pencarian permaisuri yang layak bagi Maharaja Majapahit Hayam Wuruk. Dia harap masalah ini dapat segera selesai dan tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan seperti yang pernah dia alami ketika masa kepemimpinan Sri Jayanegara beberapa puluh tahun lampau.

Tampuk kepemimpinan Majapahit harus dapat berlanjut di tangan mereka yang memang memiliki hak untuk itu. Mereka harus memiliki garis keturunan dan darah dari Sri Rajasa Sanggramawijaya. Maharaja Majapahit berikutnya yang menggantikan Sri Hayam Wuruk haruslah lahir dari benih yang ditanamkan oleh sang Prabu. Bukan dari kerabat; atau bahkan orang lain yang mengudeta kepemimpinan Sri Hayam Wuruk.

PALAGAN BUBAT (PROLOG)

Ratusan kapal karam di tengah lautan di ujung utara pulau Jawa. Begitu pula dengan kapal-kapal yang karam dan tercabik-cabik di dekat Pelabuhan Canggu. Tidak terhitung pula berapa nyawa melayang dari raganya dan diiringi oleh tangis, teriakan meregang nyawa, dan hembusan nafas terakhir.

Hari yang semestinya jadi hari bahagia dan mungkin saja menjadi awal dari penyatuan dua kerajaan besar di pulau Jawa kandas. Harga diri dan ego yang menjadi latar belakang. Tetapi, bisa pula ini disebabkan oleh konflik terselubung yang diselimuti aroma konspirasi, baik di dalam maupun dari luar kerajaan penguasa Nusantara.

Faktanya, lapangan Bubat, kini banjir dengan darah. Banjir dengan raga-raga yang tidak bernyawa atau di dalam proses peregangan nyawa. Meski suara dentingan senjata tajam masih bergemuruh di angkasa, namun luka yang ditimbulkan tidak jua menghilang hingga berabad-abad kemudian.

Perang Bubat juga yang merenggut kekuasaan Gajah Mada sebagai aktor penyatuan Nusantara dari kursi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Hujan satu hari menghapuskan kemarau panjang. Jasa-jasa besar Gajah Mada menyatukan Nusantara seolah musnah hanya gara-gara perang itu.

Majapahit memang terus berjalan, tetapi tanpa Gajah Mada, Majapahit tidak lagi mengalami masa keemasan. Majapahit memang tetap besar, tetapi wilayah kekuasaannya cenderung berkurang. Juga jadi bahan olok-olokan, meski tidak secara nyata, dari kerajaan-kerajaan di bawahnya, dan bahkan, kerajaan-kerajaan lain yang merasa terancam untuk dijadikan kerajaan bawahan Majapahit.