Rabu, 12 Maret 2008

10 Hak Dasar Warga Miskin

  1. Hak atas pangan;
  2. Hak atas kesehatan;
  3. Hak atas pendidikan;
  4. Hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha;
  5. Hak atas perumahan dan tempat tinggal yang layak;
  6. Hak atas air bersih dan sanitasi;
  7. Hak atas tanah;
  8. Hak atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
  9. Hak atas rasa aman dan perlakuan atas ancaman tindak kekerasan;
  10. Hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

Masalah Kemiskinan

Pada bangsa apa pun, ketika para peneliti mengarahkan perhatiannya, mereka selalu menemukan dua golongan manusia: golongan yang berkecukupan dan golongan yang melarat. Di balik itu semua, selalu ditemukan suatu keadaan yang sangat menarik: golongan yang berkecukupan selalu semakin makmur tanpa batas, sedangkan golongan yang melarat selalu semakin kurus sehingga hampir-hampir tercampak di atas tanah, tak berdaya (Prof. Dr. Wajdi dalam Qardawi, 1987).



Illustrasi oleh Hbs, 2007

Kemiskinan, adalah sebuah permasalahan sosial-kemasyarakatan yang telah berlangsung sejak zaman dahulu kala. Hampir di semua penjuru dunia, termasuk di Indonesia, terlebih pasca-“dihantam” krisis multidimensi, kemiskinan beserta objeknya –orang miskin- dapat ditemui. Mulai dari yang hanya berlindung di bawah luasnya alam semesta, hingga yang berlindung di bawah rumah-rumah kumuh dan fasilitas-fasilitas umum yang dapat menjadi pelindung dari teriknya matahari dan berjatuhannya titik-titik air hujan, seperti jembatan; teras-teras toko dan lain sebagainya.

Sebagai masalah sosial-kemasyarakatan, kemiskinan sendiri kini telah menjadi sebuah studi tersendiri yang selalu mengundang “perdebatan dan pembahasan yang mendalam”. Banyak teori dan definisi dari kemiskinan telah diungkapkan oleh para ahli ilmu sosial. Levitan (1980), misalnya, mendefiniskan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sedangkan menurut Schiller (1979), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Kemudian, seorang ahli dari Indonesia, Emil Salim, mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Ala, 1981).

Kemiskinan juga seringkali dipahami dalam pengertian yang sederhana: keadaan kekurangan uang, rendahnya pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sehari-hari. Padahal, sebenarnya, menurut Bappenas RI, kemiskinan adalah masalah yang sangat kompleks, baik dari faktor penyebab maupun dari dampak yang ditimbulkannya.

Di sisi lain, secara sosiologis, kemiskinan sesungguhnya bukan semata-mata kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok atau standar hidup layak. Namun lebih dari itu, kemiskinan menyangkut kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya.

Menurut John Friedman (1979), kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial seperti yang dimaksudkan oleh Friedman tersebut meliputi: pertama, modal produktif atas aset, misalnya tanah, perumahan, peralatan, pendidikan dan kesehatan; kedua, sumber keuangan, seperti pendapatan dan kredit yang memadai; ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; keempat, network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai; serta kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan.

Chambers (1987), mendefinisikan kemiskinan sesuai dengan kenyataan dan konseptualnya. Menurut dia, inti masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut sebagai deprivation trap atau perangkap kemiskinan, yang terdiri atas lima unsur: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali berkait satu dengan yang lain, sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.

Dari kelima dimensi di atas, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian yang utama. Kerentanan, menurut Chambers, dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau ‘roda penggerak kemiskinan’ yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta bendanya dan aset produksinya, sehingga mereka menjadi rentan dan tidak berdaya.

Ketidakberdayaan keluarga miskin, salah satunya tercermin melalui sewenang-wenangnya golongan elit mem-fungsi-kan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin, pada kesempatan lain, dimanifestasikan dalam hal kerapnya keluarga miskin ditipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan terjadinya bias bantuan terhadap si miskin, yang ternyata malah diberikan kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi (Soetrisno dalam Dewata, 1995).

Seseorang atau sebuah keluarga yang miskin sering mampu tetap survive dan bahkan bangkit kembali, terutama bila mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang ‘melindungi dan menyelamatkan’. Seseorang atau keluarga yang jatuh pada ‘lingkaran setan atau perangkap kemiskinan’, mereka umumnya sulit untuk bangkit kembali. Seseorang yang dibelit ‘perangkap kemiskinan’ acapkali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, tidak atau sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan, dan bahkan acapkali justru mengalami penurunan kualitas kehidupan (Suyanto dalam Bappeda Kota Blitar dan Lembaga Penelitian Unair, 2003).

Latar Belakang dan Penyebab Kemiskinan

Berdasarkan penyebab yang melatarbelakanginya, secara teoritis, kemiskinan dibedakan ke dalam dua kategori. Pertama, kemiskinan alamiah, yang didefinisikan sebagai kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumberdaya yang langka jumlahnya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya, faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan karena ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. Di dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut dimungkinkan terdapat perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan ‘diperlunak’ oleh adanya pranata tradisional, seperti pola hubungan patron-client, jiwa gotong royong dan sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.

Dalam arti lain, kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Pada kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lemah atau terbatas, peluang produksi lebih kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah.

Kedua, kemiskinan struktural. Kemiskinan pada kategori ini kerap disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak langsung, kemiskinan stuktural umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi, tetapi juga mencakup masalah aturan main yang diterapkan. Kelembagaan struktural yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Dengan demikian, sebagian anggota masyarakat tetap miskin, walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan.

Kemiskinan struktural dalam banyak hal terjadi bukan karena seorang individu atau anggota keluarga malas bekerja atau karena mereka terus-menerus sakit. Berbeda dengan perspektif modernisasi yang cenderung mem-vonis kemiskinan bersumber dari lemahnya etos kerja, tidak dimilikinya etika wirausaha atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras. Menurut Soemardjan (1980), yang dimaksud kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Secara teoritis, kemiskinan struktural juga dapat diartikan suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber, dan oleh karena itu, dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya, sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah ‘mengurung’ mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-menurun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari ‘kemelaratan’ melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar.

Kemiskinan struktural biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup miskin dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu (golongan miskin, red) walaupun merupakan kelompok mayoritas dari masyarakat, dalam realitanya tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sedangkan masyarakat minoritas yang kaya raya, biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol pelbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya raya itu masih menguasai pelbagai kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan, yang berakibat terjadinya kemiskinan struktural.

Ciri utama kemiskinan struktural, adalah tidak terjadinya, kalaupun terjadi, sifatnya lamban sekali yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya, sedangkan yang akaya akan tetap menikmati kekayaannya. Menurut pendekatan struktural, adalah terletak pada ‘kungkungan’ struktural sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan pelbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Kelemahan ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari ‘kemelaratan’.

Ciri lain kemiskinan struktural adalah timbulnya ‘ketergantungan’ yang kuat dari pihak miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya. Menurut Mas’ud (1994), adanya ‘ketergantungan’ inilah yang selama ini berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining dalam hubungan sosial yang sudah ‘timpang’ antara pemilik tanah dan penggarap; antara majikan dan buruh. Dengan kata lain, pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialami, karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan untuk menentukan nasib ke arah yang lebih baik.

Secara makro, pemahaman tentang kemiskinan mencakup: (1) gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar; (2) gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi; serta (3) gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia (Sidik, 2006).

Selanjutnya, secara umum, teori-teori yang menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan, dapat dibedakan menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis pada pendekatan sosio-antropologi, khususnya tentang budaya masyarakat.

Teori yang berbasis pada teori ekonomi, antara lain melihat kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi; kegagalan kepemilikan; kebijakan yang bias ke perkotaan; perbedaan kualitas sumberdaya manusia; serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Di sisi lain, pendekatan sosio-antropologi menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural).

Sementara itu, pada sisi lainnya terdapat pandangan proses pemiskinan sebagai akibat kebijakan yang bias perkotaan. Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep ‘urban bias’ dalam menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan di negara sedang berkembang. Menurut Lipton dan Vyas: “Small, interlocking urban elites -comprising mainly businessmen, politicians, bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of professionals, academics and intelectuals- can in a modern state substantially control the distribution of resources”.

Bias perkotaan ini dipercaya oleh Lipton, karena menurutnya memang terdapat antagonisme antara penduduk pedesaan dan perkotaan, di mana yang pertama ditandai dengan kemiskinan. Karena itu, tidaklah mengherankan jika pembangunan yang hanya diarahkan ke perkotaan akan mengakibatkan semakin memburuknya kehidupan penduduk miskin di perdesaan. Untuk mengatasi kecenderungan yang negatif seperti itu, Lipton berpendapat bahwa negara sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya ke sumberdaya utama yang mereka miliki: pertanian yang padat karya (labour intensive).

Sementara itu, teori David C Korten menjelaskan, mengacu pada dikuasainya ekonomi dunia oleh korporat alias perusahaan-perusahaan raksasa dunia serta kerajaan finansial, dampak yang terjadi adalah merajalelanya kemiskinan. Kecuali aktual dan relevan dengan kondisi serta tantangan dunia dewasa ini, peringatan itu juga sejalan dengan arus pemikiran besar yang kini sedang bangkit serta bergaung di mana-mana. Yakni pemikiran, gerakan, bahkan langkah konkret untuk mengakhiri kemiskinan dengan pandangan, sikap, dan langkah yang dikenal sebagai the post-corporate world.

Dalam gerakan dan upaya baru itu, negara dengan pemerintahnya tetap harus berperan sentral serta membangun sosok hukum, peraturan, dan kebijakan publik yang memihak kepentingan rakyat banyak. Namun, peran negara dan pemerintah saja tidak memadai. Harus ikut serta dan disertakan peran dan partisipasi potensi dan kekuatan-kekuatan masyarakat, termasuk yang amat strategis adalah peran dan partisipasi dunia usaha.

Pergeseran pemikiran itu juga berakibat pada pergeseran gerakan kebangkitan dan pembaruan politik. Gerakan politik berikut hak-hak dasar politik serta hak-hak asasi harus sekaligus hak sosial, ekonomi, dan kultural. Pendekatan terhadap esensi pemahaman hak-hak dasar yang kecuali politik juga menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural mempunyai konsekuensi dan implikasi dalam pendekatannya. Secara simplistis perbedaan itu ada yang merumuskan, jika hak-hak dasar politik bertitik berat pada bicara, hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya harus mengandalkan perbuatan.

Relevansi pernyataan itu berlaku aktual bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Pandangan itu diperkuat oleh transisi demokrasi yang sedang Indonesia lalui, di mana seharusnya demokrasi mengacu dan identik dengan non-kekerasan. Tetapi, sejauh ini pengalaman di Indonesia menunjukkan demokrasi yang bersisi substansial kebebasan memberi kesan disertai justru dengan maraknya bukan saja unjuk rasa, protes, namun sekaligus bentrokan dan kekerasan. Jika dicermati beragam kasusnya, yang terbanyak bersumber pada kemiskinan dan ketidakadilan. Di antaranya berupa penggusuran yang membangkitkan protes, unjuk rasa, bentrokan, dan kekerasan.

Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Keberhasilan menurunkan kemiskinan tidak semata berada di tangan pemerintah. Peran dari masyarakat pun amat diperlukan. Indikator yang kasat mata adalah adanya pembangunan yang menyeluruh, yang mencakup bidang pertanian; pendidikan; kesehatan, termasuk keluarga berencana; serta prasarana pendukungnya. Indikator ini merupakan syarat layak manusia untuk ’hidup’.

Sedangkan, upaya penanganan kemiskinan, haruslah dilakukan oleh semua elemen masyarakat. Upaya itu kurang lebih bisa digambarkan demikian: komitmen yang sangat kuat dari semua pihak, terutama pemerintah; program-program pengentasan kemiskinan yang jelas dan komprehensif; bersifat memberdayakan masyarakat, dan bukan hanya sekadar bersifat kedermaan (charity); serta memerlukan anggaran besar yang dapat digunakan secara efektif, efisien, dan bebas dari kebocoran.

Istilah lainnya, dalam penanganan kemiskinan, haruslah dapat memadukan tiga arah kebijakan: kebijaksanaan tidak langsung untuk menciptakan kondisi makro yang mendukung penanggulangan kemiskinan; kebijaksanaan langsung membantu golongan masyarakat miskin (affirmative action); dan kebijaksanaan khusus untuk menjamin keberlangsungan (suistainability) program (Kartasasmita dalam Kompas, 13 September 2006).

Upaya pemerintah sekarang melalui program-program BLT; BOS; PKPS-BBM; dan lain sebagainya, memang merupakan langkah ’instan’ yang cukup baik dalam menangani kemiskinan. Namun, yang saat ini justru diperlukan adalah tindakan langsung yang berupa program affirmatif yang mampu membangun pemberdayaan dan keberdayaan.

Bukan lagi hanya bersifat kedermaan, seperti yang dilakukan melalui program-program BLT dan lain sebagainya tersebut. Sehingga, yang muncul kemudian adalah kemandirian. Satu kata kunci lain adalah, program-program tersebut harus dilakukan oleh masyarakat ”golongan” miskin itu sendiri dan bukan oleh orang lain atas nama atau untuk masyarakat miskin. Dan, pastinya pula, program-program tersebut harus menjamin keberlangsungan sifatnya.

Program-program pemberdayaan ini juga harus tertuang dalam sebuah formulasi-formulasi yang tepat dan sesuai dengan wilayahnya. Jangan sampai program ini muncul hanya karena desakan politis, atau karena desakan-desakan lainnya yang hanya bersifat sesaat. Selain itu, sasaran yang akan terkena pelaksanaan program ini juga harus tepat, dan tidak mengenai pihak-pihak yang selama ini merasa ”diuntungkan” dengan program-program pemberdayaan ini.

Dampak lain dari adanya penanganan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan secara mandiri dan berkelanjutan, adalah menggugah kembali semangat kegotongroyongan dan solidaritas di antara anak bangsa. Karena, dengan kepedulian masyarakat sekitar di dalam pelaksanaan program pemberdayaan ini kepada si miskin, membuat keterikatan di antara komunitas masyarakat yang ada, menjadi kuat. Tidak ada pandang bulu, semua terlibat berdasarkan kemampuan masing-masing.

Selasa, 04 Maret 2008

Cakrawala

Logo Cakrawala

Ada beberapa sahabat saya yang menginginkan agar Bulletin Cakrawala, seperti yang sering saya singgung sebagai sumber
up-load data di blog saya ini, dimunculkan dan dijelaskan kepada para pengunjung blog ini. Terutama berkaitan dengan sejarah Bulletin Cakrawala.
Karena itulah, melalui ruang ini, saya akan sedikit memberikan gambaran, seperti apa Bulletin Cakrawala itu.
Di dalam sejarahnya, Bulletin Cakrawala lahir pada tahun 2005. Melalui sebuah proses yang memakan waktu selama satu tahun penuh, pada tahun 2004, proses kelahiran bulletin ini, mulai dapat mencium aroma dunia pada sekitar bulan Februari 2005.
Ide awal penerbitan Bulletin Cakrawala ada pada inisiatif Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Blitar, M. Taufik, SH, M.AP. Dalam sebuah kesempatan di tahun 2004, Kepala Bappeda Kota Blitar itu memanggil saya, yang ketika itu dalam posisi menganggur atau jobless dari pekerjaan saya yang menjadi tukang ngluyur itu.
Kepala Bappeda Kota Blitar itu menyatakan niatnya untuk membuat sebuah media cetak yang dapat mengeksplorasi warna-warni pembangunan di Kota Blitar, dan di dalam pandangan Kepala Bappeda Kota Blitar, saya dapat membantunya mengeluarkan semua potensi pembangunan daerah di Kota Blitar itu di dalam bentuk media cetak.
Jujur saja, ketika itu -dan sampai sekarang- saya masih beranggapan kalau saya belum memiliki pengalaman di bidang itu. Terlebih, ketika itu, di Kota Blitar, saya masih dianggap sebagai orang yang masih bau kencur. Namun, karena keyakinan dan kepercayaan Kepala Bappeda Kota Blitar amat sayang untuk dilewatkan, saya pun menyatakan sanggup untuk mengemban amanat itu. Tetapi, saya beri catatan, jika saya masih belajar dan membutuhkan bimbingan dari Kepala Bappeda Kota Blitar.
Singkat cerita, setelah melalui proses yang panjang, akhirnya dapat terbitlah Bulletin Cakrawala, sesuai dengan apa yang diharapkan Kepala Bappeda Kota Blitar. Di dalam proses tersebut, saya merekrut sejumlah tukang ngluyur lainnya, untuk membantu kelancaran pelaksanaan penerbitan Bulletin Cakrawala, sambil mulai berancang-ancang untuk membuat badan hukum, yang kemudian kami namakan Jurnalis Independen Blitar (JIB).
Meski memakai embel-embel jurnalis, tetapi, orang-orang di dalamnya merasa masih belum pantas untuk menyandang label profesi jurnalis, wartawan, atau ungkapan jenis profesi ini dalam bentuk kata lain. Kami, di dalam organisasi tersebut, lebih bangga jika disebut sebagai tukang ngluyur. Karena, memang, pekerjaan kami ngluyur ke sana-kemari mengumpulkan informasi yang berguna untuk penerbitan Bulletin Cakrawala. Lagipula, kami di dalam organisasi tersebut, hanyalah sebagai orang-orang muda yang sedang belajar menulis dengan baik.
Pada tahun 2005 itu, Cakrawala masih terbit dua bulanan. Dan, pada tahun 2006, seiring dengan perluasan fungsi dan wilayah peliputannya, Cakrawala yang tadinya merupakan media murni informasi pembangunan daerah, menjelma menjadi bulletin milik Pemerintah Kota Blitar, meski masih dikelola Bappeda Kota Blitar, yang memberikan informasi secara cerdas tentang Kota Blitar. Jadwal terbitnya pun mengalami perubahan menjadi bulletin bulanan.
Sekadar informasi, Bulletin Cakrawala, meski sedikit mengalami pergeseran fungsi, tetap mengusung motto Meniti Pembangunan Partisipatif. Maksud dari motto tersebut adalah apa yang disampaikan di dalam bulletin ini tidak lari dari koridor Sistem Manajemen Pembangunan Partisipatif (SMPP), yang menjadi “roh” pembangunan daerah di Kota Blitar.
Tidak terasa pula, telah tiga tahun lebih Bulletin Cakrawala hadir di ruang baca masyarakat Kota Blitar. Tujuan lain dari penerbitan ini untuk mencerdaskan masyarakat Kota Blitar pun, mulai terlihat. Meski, masyarakat Kota Blitar tidak mengetahui kerap kali terjadi pergantian personil yang menangani Bulletin Cakrawala ini, mulai dari pengelola hingga pelaksananya: kami.
Dalam konteks kekinian, pengelola Cakrawala di bawah tanggung jawab Kepala Bappeda Kota Blitar, adalah Taufik Rahman Hakim, S.Sos dan Hardiyanto, SH. Beberapa orang yang turut menjadi pengelola Cakrawala adalah Ir. Jajuk Indihartati; Drs. Yudha Budiono; PR. Prabandari, SH; (Alm.) Ir. Bambang Sampurno; dan Ir. Heru Catur W, MT.
Di jajaran Dewan Redaksi juga mengalami silih-ganti personil, di antaranya M. Sidik, S.Sos, M.AP dan Priyo Suhartono, S.Sos, M.Si, yang harus pindah jabatan di instansi lain di lingkup Pemerintah Kota Blitar. Dalam konteks kekinian, Dewan Redaksinya terdiri atas Drs. Tri Iman Prasetyono, M.Si; Dra. Eka Atikah; Drs. Ec. Priyo Istanto; Ir. Made Sukawardika, yang biasanya diwakilkan Gigih Mardana, S.Sos; dan Joko Purnomo, S.Sos.
Sementara untuk pelindung dan penasehatnya adalah Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS (Wali Kota Blitar); M. Samanhudi Anwar (Ketua DPRD Kota Blitar); Ir. H. Endro Hermono (Wakil Wali Kota Blitar); dan Drs. H. Anang Triono, MM (Sekretaris Daerah Kota Blitar). Pelindung dan penasehat Bulletin Cakrawala yang telah digantikan personil baru, karena mereka tidak menduduki jabatan tersebut adalah H. Zainuddin, M.Pd (Mantan Wakil Wali Kota Blitar); dan Drs. Suyanto, M.Si (Mantan Sekretaris Daerah Kota Blitar).
Di dalam tubuh pelaksananya, juga mengalami pergantian. Di antara mereka yang telah dinonaktifkan adalah M. Santoso dan Hernando. Sementara, yang masih aktif hingga kini adalah saya; M. Irfan Anshori; Heri Setyo Budi; dan Kusnul Hidayati.
Harapan kami di dalam melaksanakan penerbitan Bulletin Cakrawala, tidak muluk-muluk. Hingga di masa mendatang, jika kami terus dipercaya mengerjakan penerbitan Bulletin Cakrawala adalah, ingin memberikan dan menjadikan arti bagi masyarakat Kota Blitar di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hidup NKRI!

Senin, 03 Maret 2008

Kubah Lava Gunung Kelud

Gunung Kelud


Kubah lava Gunung Kelud, 29 Februari 2008, masih mengeluarkan kepulan asap yang cukup besar dan terus mengalami "pertumbuhan"



Kubah lava Gunung Kelud, pada tahun 1376, pernah ditandai keberadaannya


Fenomena kemunculan kubah lava Gunung Kelud sejak November 2007 lalu, mampu menyerap perhatian banyak orang. Wajar saja jika akhirnya banyak wisatawan yang berkunjung ke Kediri dan Blitar, ingin sekali mendaki dan mengetahui serta menyaksikan fenomena tersebut.
Gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Kediri dan Blitar ini, memang dikenal sebagai gunung yang memiliki keanehan tersendiri. Banyak mitos yang menyertai masalah gunung yang juga dikenal sebagai Gunung Kampud (berdasarkan Negara Kretagama); Gunung Kelut; Gunung Klut; dan Gunung Coloot ini.
Gunung berapi ini termasuk ke dalam kategori gunung berapi teraktif di Indonesia, selain Gunung Merapi di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan DIY Jogjakarta. Pasalnya, sepanjang sejarahnya, Gunung Kelud telah berulang kali erupsi.
Sejarah aktivitas erupsi Gunung Kelud tercatat sejak tahun 1000 hingga abad ke-20. Letusan 1586 merupakan letusan yang paling banyak menimbulkan korban jiwa: 10.000 orang meninggal. Selama abad ke-20 telah terjadi 5 kali letusan masing masing pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966 dan 1990, dengan jumlah korban jiwa seluruhnya mencapai 5400 jiwa.
Berdasarkan sejarah pula, erupsi Gunung Kelud dapat memunculkan awan panas ke segala arah, seperti yang terjadi pada erupsi tahun 1919. Dan, produk letusannya dapat mencapai 120 juta meter kubik.
Menurut sejarah pula, kubah lava pernah terbentuk pada tahun 1376. Setelah kubah lava tersebut terbentuk, Gunung Kelud memuntahkan letusan dengan jumlah korban jiwa yang tidak tercatat di dalam sejarah.
Kedahsyatan letusan Kelud juga pernah tercatat di dalam kitab-kitab lampau: Negara Kretagama dan Pararaton, yang membuat Kerajaan Majapahit sempat kelabakan di dalam menyalurkan bantuan kepada rakyatnya yang berada di Daha dan Kademangan Balitar.

Legenda Gunung Kelud
Banyak legenda dan mitos yang berkaitan dengan Gunung Kelud. Di dalam Tantu Panggelaran, disebutkan, pada zaman dahulu kala, di masa belum ada satu pun manusia menempati tanah Jawadwipa, pulau Jawadwipa masih mengambang di lautan luas, dan dipermainkan ombak ke sana-kemari. Dewa-dewa di kahyangan yang melihat keadaan ini dan tidak menghendaki pulau Jawadwipa terombang-ambing dipermainkan ombak, kemudian mengadakan rapat besar.
Rapat para Dewa itu menghasilkan keputusan untuk memakukan pulau Jawadwipa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas pulau Jawadwipa. "Bagaimana pun, di masa mendatang pulau Jawadwipa akan memiliki peran yang cukup besar di dalam peradaban," begitu secara singkat titah Batara Guru kepada Dewa-dewa lainnya.
Tugas tidak mudah pun dilakukan. Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal pucak Gunung Mahameru dari tanah Hindu ke Jawa, lalu diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat. Tanah Jawadwipa berguncang. Bagian timur berjungkat, bagian barat tenggelam.
Potongan pucak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke arah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian pucak Gunung Mahameru itu ada yang rempak.
Bagian-bagian tercecer itu kelak tumbuh menjadi enam gunung. Masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu), Gunung Wilis, Gunung Kampud, Gunung Kawi, Gunung Arjjuna (Gunung Arjuna), Gunung Kemukus (Gunung Welirang).
Sementara, tubuh Mahameru diletakkan agak miring dan menyandar pada Gunung Brahma (Bromo), dan menjadi Gunung Sumeru (Semeru), gunung tertinggi di Jawa. Puncak Mahameru lalu didirikan oleh dewata menjadi Pawitra atau Gunung Penanggungan.
Jika ingin diurutkan, bagian pertama yang tercecer dan jatuh itu menjelma menjadi Gunung Kawi, yang berasal dari istilah kawitan atau wiwitan atau babakan dalam bahasa Jawa.
Dan, ceceran Gunung Mahameru terakhir, jatuh di daerah Kadiri yang berbatasan dengan Kademangan Balitar, dan menjelma menjadi Gunung Kampud. Gunung yang mendapat istilah dari bahasa Jawa kemput, dan di kemudian hari dikenal menjadi Gunung Kelud atau Kelut.
Sementara itu, legenda letusan Gunung Kelud sendiri di dalam ceritera anak-anak disebutkan sebagai bentuk pelampiasan dendam Lembu Sura, yang diperdayai puteri Kerajaan Majapahit.
Bahkan, kekuatan erupsi Gunung Kelud, selain karena amarah Lembu Sura, juga dikaitkan dengan keberadaan keris Empu Gandring yang di-larung di dalam kawah Kelud, ketika jalannya pemerintahan Raja Kembar Singasari, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ranggawuni sebagai raja dengan abiseka Sri Wisnuwardhana, sementara saudara sepupunya, Mahisa Cempaka, sebagai Ratu Angabaya dengan nama abiseka Narasinghamurti.


Eksotisme danau kawah Gunung Kelud, kini sirna dan berganti dengan kemunculan kubah lava

Kubah Lava Gunung Kelud 2007-2008
Kubah lava Gunung Kelud sejak akhir tahun 2007, terus mengalami perkembangan yang signifikan. Hingga tanggal 29 Februari 2008 saja, kubah lava Gunung Kelud diperkirakan sudah mencapai ketinggian lebih dari ratusan meter, dengan material yang dikeluarkan berjuta-juta kubik.
Danau kawah eksotis Gunung Kelud yang sering dikunjungi wisatawan dan memang menjadi daya tarik gunung tersebut, kini telah musnah, tertutup kubah lava tersebut. Tidak ada lagi kawah dengan air hangatnya yang termasyhur itu.
Semua masyarakat di lereng Kelud meyakini, Gunung Kelud akan tetap meletus, meski tidak dapat menerka kapan waktunya. Sebagian dari mereka juga menyatakan, jika nantinya meletus, Gunung Kelud mungkin akan meminta korban jiwa yang lebih besar dibandingkan catatan sejarah yang telah ada.
Mengenai bagaimana kebenarannya nanti, biarlah sang waktu yang akan menjawabnya. Tetapi, di dalam blog ini, saya sertakan foto-foto Gunung Kelud dengan kubah lavanya, seperti apa adanya, ketika paman saya mendaki gunung tersebut pada tanggal 29 Februari 2008 lalu.
Dan, mengenai legenda dan kisah seputar Gunung Kelud lainnya, nantikan cerita bersambung saya (yang jika mungkin nantinya akan menjadi novel) di dalam blog ini, dengan judul: Bara Gunung Kampud. Ciao

Menuju Kawasan Wisata PETA Blitar

Monumen PETA Blitar Sebelum Direvitalisasi


Monumen PETA Blitar Baru

Revitalisasi Kawasan Wisata PETA Blitar tengah dilakukan Pemerintah Kota Blitar. Melalui apa revitalisasi tersebut dilakukan?
Revitalisasi Kawasan Wisata PETA yang dicanangkan dan dilakukan Pemkot Blitar bukan sekadar isapan jempol. Secara bertahap, proses realisasi revitalisasi kawasan tersebut telah dimulai sejak tahun 2007.
Hal ini dilandasi pemikiran bahwa keberadaan Monumen PETA sebagai salah satu ikon Kota Blitar semakin lama cenderung semakin memudar, seiring dengan meningkatnya pembangunan kota untuk memenuhi kebutuhan sarana-prasarana bagi kehidupan masyarakat.
Kawasan monumen yang difungsikan sebagai kompleks pendidikan, dalam perkembangannya lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan sarana pendidikan yang menempati kawasan tersebut, yang cenderung semakin melemahkan fungsi monumen sebagai tetenger peristiwa bersejarah yang memiliki nilai dalam skala nasional.
Lemahnya apresiasi masyarakat terhadap benda-benda peninggalan sejarah (cagar budaya), semakin mengurangi peran Monumen PETA terhadap tata ruang kawasan maupun perkembangan kehidupan masyarakat Blitar saat ini. Padahal, bangunan sebagai salah satu aset budaya merupakan saksi mati sejarah suatu masa yang mencerminkan identitas daerah atau dinamika kehidupan masyarakat pada masa atau periode tertentu.
Benda cagar budaya dan kawasan bersejarah, tambahnya, memunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, benda cagar budaya adalah benda peninggalan masa lalu yang dapat menjadi sumber kebanggaan bangsa.
Pelestarian benda cagar budaya dan kawasan bersejarah merupakan ikhtiar untuk memupuk kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jati diri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila. Pelestarian bangunan bersejarah di samping menyelamatkan kelestarian objek, juga diharapkan dapat meningkatkan mutu lingkungan kawasan sekitarnya: meningkatkan taraf hidup masyarakat, serta dapat menjadi wahana bagi perkembangan pariwisata.
Pembangunan secara fisik, di samping untuk memenuhi kebutuhan akan sarana-prasarana, sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan ruang kehidupan yang lebih baik.
Untuk itu, dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya pertimbangan pada aspek-aspek manusia, lingkungan alam serta dilandasi oleh faktor-faktor budaya, baik itu aspek historis maupun aspek arsitektur, atau dengan kata lain, diperlukan juga perhatian dan penghormatan terhadap peninggalan masa lalu, penghormatan warisan budaya.
Seperti yang terjadi pada kawasan Monumen PETA, dengan dibangunnya bangunan-bangunan baru sesuai perkembangan fungsi yang ada, semakin lama akan mengaburkan keberadaan bangunan kuno bersejarah yang ada di kawasan tersebut.
Untuk mengantisipasi semakin merosotnya nilai kawasan yang memiliki nilai sejarah tersebut, dipandang perlu untuk melaksanakan tindakan revitalisasi kawasan sekaligus pelestarian dan perlindungan kawasan bersejarah dan kawasan strategis di Kota Blitar.
Pasalnya, Kawasan Monumen PETA adalah salah satu di antara sekian banyak kompleks bangunan lama di Indonesia yang menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia di dalam membebaskan Tanah Air dan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah Jepang. Di dalam kompleks Monumen PETA dapat disaksikan bangunan-bangunan yang pada saat pemberontakan PETA merupakan bangunan-bangunan penting, seperti bangunan asrama tentara PETA, bangunan rumah sakit untuk tentara PETA, yang sampai sekarang masih berdiri kokoh tanpa adanya perubahan-perubahan.
Berdasarkan sejarahnya, pada masa pendudukan Belanda di Blitar, bangunan-bangunan pada kompleks Monumen PETA digunakan sebagai bangunan sekolah bagi orang-orang Belanda, sedangkan bangunan-bangunan pada sisi timur kompleks monumen merupakan bangunan rumah bagi para guru yang mengajar di sekolah pada masa itu.
Pada awal tahun 1940-an, bangunan-bangunan pada kompleks PETA ini berubah peruntukannya menjadi markas PETA, yaitu sebagai asrma bagi para pejuang PETA, termasuk di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang digunakan sebagai rumah sakit yang khusus bagi asrama tersebut.
Sesuai perkembangannya, sekarang ini bangunan-bangunan pada kompleks Monumen PETA digunakan sebagai fasilitas pendidikan, yaitu digunakan sebagai bangunan sekolah yang terbagi menjadi beberapa unit sekolah: SMKN III, SMPN III, SMPN V, dan SMPN VI, sehingga hampir semua ruang yang ada pada bangunan kompleks Monumen PETA diubah peruntukannya menjadi ruang-ruang kelas, laboratorium, kantor dan ruang guru, serta lain-lain.
Sementara itu, secara fisik, bangunan-bangunan Monumen PETA yang dibangun kira-kira pada tahun 1911 merupakan bangunan dengan corak bangunan pada saat itu, seperti kota-kota besar lain, yang dirancang Ir. Herman Thomas Karsten memiliki langgam arsitektur kolonial Belanda dengan estetika arsitektur yang tinggi.
Namun, sesuai dengan perkembangan peruntukannya, menjadikan bangunan-bangunan yang ada di dalam kompleks Monumen PETA mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhannya: kebutuhan fasilitas pendidikan.
Selain terbagi-bagi sesuai jumlah unit sekolah, juga muncul bangunan-bangunan baru yang menjadikan bangunan-bangunan di kawasan ini tidak lagi hanya bangunan lama dengan langgam arsitektur kolonial, tetapi hadir pula bangunan-bangunan langgam arsitektur modern yang lebih berorientasi pada fungsi bangunan semata.

Konsep dan Usulan Pengembangan Kawasan Monumen PETA
Dalam skala kota, Monumen PETA berada pada lokasi yang berdekatan dengan objek wisata lain di Kota Blitar, seperti Makam Bung Karno, Kebun Rakyat (Kebon Rojo), dan sebagainya. Sehingga, pengembangan kawasan dilakukan dengan memerhatikan potensi linkage terhadap objek wisata lain tersebut, sedangkan dalam skala kecil: skala lingkungan, Monumen PETA berseberangan dengan TMP dan Monumen Potlot pada bagian belakang TMP yang juga merupakan saksi sejarah perjuangan. Pengembangan wisata di kawasan PETA ini dapat dilakukan dengan meningkatkan karakter dan potensi objek, baik dari sisi kesejarahan maupun dari sisi lokasi.
Dengan demikian, potensi semangat perjuangan PETA menjadi dasar utama mengembangkan kawasan tersebut. Semangat perjuangan masa lalu yang berskala nasional dapat diwujudkan dengan memberikan fasilitas-fasilitas untuk memberikan informasi perjuangan pemuda masa penjajahan, maupun semangat perjuangan pemuda masa kini dengan menampung atau mewadahi kegiatan pemuda yang dinamis, kreatif, serta kompetitif di Kota Blitar.
Keberadaan objek patung Soeprijadi di lokasi dijadikan pusat orientasi tata ruang kawasan tersebut dan dapat dilengkapi dengan konfigurasi kegiatan perjuangan PETA lainnya sebagai pendukung.
Pengembangan kawasan wisata Monumen PETA sendiri tidak lepas dari usaha untuk melestarikan nilai-nilai budaya masa lampau yang telah lewat kegunaannya, namun memiliki arti penting bagi generasi selanjutnya.
Sehingga, di dalam menentukan arah pengembangan suatu kawasan yang dilestarikan, perlu adanya motivasi-motivasi terkait dengan tujuan dan sasaran pelestarian itu sendiri, antara lain: motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah; motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam pembangunan perkotaan sebagai tuntutan aspek estetis dan variasi budaya masyarakat; motivasi ekonomis, yang menganggap bangunan-bangunan yang dilestarikan tersebut dapat meningkatkan nilainya jika dipelihara, sehingga memiliki nilai komersial yang digunakan sebagai modal lingkungan; serta motivasi simbol, bangunan-bangunan merupakan manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari kota.
Antara motivasi satu dengan yang lain, tidak dapat dilihat secara terpisah, melainkan saling terkait dan saling memperkuat antara satu dengan yang lain, untuk selanjutnya dikembangkan lebih mendetail.
Kemudian objek konservasi diklasifikasikan dalam kelompok sesuai dengan kedudukan, peran dan arti objek dalam lingkungannya sebagai pertimbangan terhadap prioritas pengembangan kawasan pelestarian.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka alternatif pengembangan kawasan wisata Monumen PETA, dapat diuraikan sebagai berikut: terkait dengan warisan sejarah perjuangan tentara PETA, dihadirkan fasilitas untuk mengumpulkan dan menyimpan warisan sejarah dalam bentuk Museum PETA, diorama perjuangan PETA, perpustakaan sejarah perjuangan, dan laboratorium perjuangan.
Terkait dengan simbol, di mana bangunan-bangunan merupakan manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini terkait dengan perjuangan pemuda yang terlibat dalam pemberontakan tentara PETA, dihadirkan fasilitas-fasilitas yang terkait dengan kegiatan kepemudaan, sehingga kawasan wisata Monumen PETA secara konsepsional akan menjadi sebuah 'Pusat Kegiatan Pemuda' Kota Blitar.
Terkait dengan faktor ekonomis, bahwa bangunan-bangunan yang dilestarikan tersebut dapat meningkatkan nilainya jika dipelihara, sehingga memiliki nilai komersial, maka menjadikan kompleks Monumen PETA menjadi kawasan wisata sejarah, dan menyediakan fasilitas penginapan dalam bentuk guest house atau Wisma Pemuda bagi para pengunjung luar kota yang melakukan kegiatan di Blitar, terutama terkait dengan kegiatan kepemudaan.
Serta terkait dengan terwujudnya variasi dalam pembangunan perkotaan sebagai tuntutan aspek estetis dan variasi budaya masyarakat, akan memelihara dan mengembangkan estetika arsitektur yang ada, yaitu ragam arsitektur kolonial Belanda sebagai konsep dasar perencanaan dan perancangan pengembangan kawasan.
Sehingga, nantinya di dalam pengembangan kawasan Monumen PETA, akan ditemui fasilitas kegiatan yang terkait dengan wisata sejarah; Pusat Kegiatan Pemuda Kota Blitar, dengan fasilitas penunjang kegiatan kepemudaan seperti keorganisasian, olah raga dan kesenian di ruang terbuka dan tertutup; serta fasilitas yang terkait dengan fasilitas penginapan.
Dalam penyelesaian terhadap pelbagai fasilitas kegiatan yang direncanakan, dan dalam usaha pelayanan terhadap pengunjung maupun pengelola kawasan, eksisting fisik kawasan dapat dikelompokkan menjadi beberapa zona yang nantinya merupakan pengelompokan dari fasilitas-fasilitas yang direncanakan.
Fungsi zoning untuk lebih memudahkan dalam menjabarkan secara kelompok atas fasilitas kegiatan yang sejenis. Zoning tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kelompok: zona entrance atau ruang penerima; zona wisata sejarah; zona kegiatan kepemudaan; zona hunian dan fasilitas penginapan. Zoning tersebut selain digunakan sebagai landasan dalam pengembangan fasilitas dan kegiatan, juga sebagai pengarah dan penentu bagi siapa saja yang bisa mengakses ke dalamnya.


Desain Pembangunan Enam Patung Pahlawan PETA Blitar

Dimulai dengan Pembangunan Enam Patung Pahlawan PETA
Sebagai langkah awal dari revitalisasi kawasan tersebut, dimulailah dengan pembangunan enam patung pahlawan PETA, yang mengapit Monumen PETA -yang merupakan representasi dari Shodanco Soeprijadi, pemimpin Pemberontakan PETA Blitar.
Keenam pahlawan PETA yang "dipatungkan" tersebut adalah Chudanco dr. Ismangil; Shodanco Soeparjono; Shodanco Moeradi; Budanco Soedarmo; Budanco Halir Mangkoedidjaja; dan Budanco Soenanto.
Sebagai informasi, peletakan batu pertama pembangunan keenam patung pahlawan PETA itu dilakukan oleh Wali Kota Blitar, Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS, beserta para Muspida Kota Blitar, pada tanggal 16 Agustus 2007.
Pembangunan keenam patung tersebut juga menelan dana sebesar lebih-kurang Rp 135 yang berasal dari APBD Kota Blitar tahun anggaran 2007 dengan pelaksana pematung Bondan Widodo dan kawan-kawan.
Pembangunan keenam patung pahlawan PETA ini merupakan realisasi pemikiran bahwa Pemerintah Kota Blitar berusaha konsisten menempatkan latar belakang sejarah dan sosio-kultural masyarakat sebagai sumber inspirasi pembangunan kota.
Ini adalah langkah awal dari realisasi revitalisasi Kawasan Wisata PETA Blitar. Selanjutnya, realisasi revitalisasi tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan rencana yang telah dipaparkan di atas.
Sebagai tambahan, keenam patung pahlawan yang melengkapi Monumen PETA itu akhirnya diresmikan oleh Wali Kota Blitar, Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS, bersamaan dengan pelaksanaan peringatan Pemberontakan PETA Blitar ke-63 di Kawasan Wisata PETA Blitar, 13 Februari 2008 lalu.
Jika demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tekad masyarakat dan Pemerintah Kota Blitar untuk merealisasikan revitalisasi Kawasan Wisata PETA Blitar semakin mendekati kenyataan. Dan, bersiap-siap sajalah untuk menerima satu lagi objek pariwisata baru di Kota Blitar. Namanya: Kawasan Wisata PETA Blitar. (tim)


Bondan Widodo

Bondan Widodo, Pimpinan Pematung 6 Patung Pahlawan PETA Balas Rindu Dendam
"Jujur saja, kami merasa mendapat kebanggaan untuk melaksanakan pembangunan keenam patung pahlawan PETA itu. Namun, jika meningat sejarahnya, kami menganggap apa yang kami kerjakan ini adalah kegiatan balas rindu dendam.
Mengapa demikian? Sebab, sebenarnya sudah sejak lebih-kurang 10 tahun lalu, kami, para seniman patung Blitar, memiliki impian untuk memperbaiki keindahan kawasan Monumen PETA. Dipimpin Almarhum Aris Mukadar, kami ketika itu menyampaikan apa yang menjadi impian kami itu kepada pihak-pihak yang berwenang.
Setelah mengalami proses panjang, dan tanpa disaksikan Aris Mukadar, kami akhirnya mendapat kepercayaan untuk merealisasikan mimpi kami bersama itu. Secara tulus dan telaten, tidak mengenal waktu, kami kerjakan keenam patung pahlawan PETA itu dengan sungguh-sungguh.
Hasilnya, dalam jangka waktu lima bulan, sejak pelaksanaan perancangan keenam patung tersebut, pada tanggal 17 Oktober 2007, tugas berat kami itu dapat terselesaikan. Hal ini merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi.
Mengingat, hal ini dapat menunjukkan bahwa orang Blitar mampu berkarya. Sebab, monumen, dalam pandangan kami adalah lambang budaya daerah. Maka, yang kami sajikan di dalam pembangunan keenam patung pahlawan PETA itu adalah representasi masyarakat Blitar yang pekerja keras dan gigih di dalam mewujudkan perjuangannya.
Sekali lagi, sungguh ini merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan besar bagi kami. Dan, jujur, bagi kami, ini merupakan suatu pewujudan reputasi kami dibandingkan dengan nilai nominal yang kami terima." (tim)

*Tulisan ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008

Jangan Lupakan Jasa Ayah Kami....

Dokter Ismangil


Istijah Ismangil

Istijah Ismangil, Anak dr. Ismangil, Salah Seorang Tokoh Utama Pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 1945

Tokoh satu ini, adalah anak seorang tokoh utama Pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 1945 silam, dr. Ismangil. Bagaimana kisah yang pernah didengarnya berkaitan dengan kiprah dr. Ismangil? Berikut wawancara yang dilakukan ketika Istijah Ismangil mengunjungi Kota Blitar, dalam rangka Peringatan Pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 2008 lalu:
Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya deskripsi atas dr. Ismangil. Dapatkah Anda gambarkan?
Istijah Ismangil (II): Begini, sebelum saya becerita lebih jauh, saya akan jujur mengatakan kepada Anda semua tentang gambaran keluarga dr. Ismangil. Sehingga, nantinya, Anda semua dapat menarik sendiri siapa sebenarnya dr. Ismangil.
Saya adalah satu-satunya anak dr. Ismangil. Saya lahir beberapa hari setelah ayah saya tersebut menjalani hukuman mati atas keterlibatannya di dalam Pemberontakan PETA Blitar. Beberapa tahun berselang, ibu saya kemudian meninggal dunia.
Jadi, apa yang saya ceritakan ini merupakan kumpulan penuturan dari beberapa orang, termasuk keluarga, yang mengetahui benar siapa sebenarnya ayah saya yang saya banggakan ini, dr. Ismangil.
Dokter Ismangil adalah seorang dokter kelahiran tahun 1908. Di dalam perjalanan hidupnya, dia selalu mengabdi kepada nusa dan bangsa ini melalui dunia kedokteran yang dia dalami semenjak bersekolah di Jakarta.
Sebelum menikah dengan ibu saya, Almarhumah Sumiati, ayah saya sebenarnya telah menikah terlebih dahulu dan kemudian bercerai dengan puteri Bupati Tuban, yang jika saya tidak salah, bernama Kusumadiyah.
Jadi, dapat dikatakan, satu-satunya tokoh pemberontakan PETA Blitar yang telah berumah tangga ketika itu adalah ayah saya. Maklum, ayah saya, dianggap sebagai seorang senior di antara para sahabatnya di Daidan PETA Blitar. Selain senior usianya, dia juga dianggap senior di dalam segala hal.
Tidak seperti dugaan banyak orang, ayah saya sebenarnya berperawakan gemuk. Ya, dapat dikatakan, tidaklah sama dengan penggambaran patungnya yang terdapat di Monumen PETA saat ini, setelah diresmikan Wali Kota Blitar, 13 Februari 2008, kemarin.
Selanjutnya?
II: Satu hal yang selalu diingat oleh siapapun mengenai sosok ayah saya adalah kemauannya yang keras untuk memerdekakan bangsa dan negaranya. Hal ini telah terbentuk sejak dia bersekolah kedokteran di Jakarta.
Mungkin saja, ketika itu, karena keluarga kami dianggap sebagai keluarga terhormat, sehingga ayah dapat melanjutkan sekolah hingga ke tingkat yang tertinggi, dia sering berdiskusi dengan rekan-rekan di sekolahnya mengenai arah kemerdekaan bangsa dan negara ini.
Sehingga, sepulangnya dan lulusnya dia dari sekolah tersebut, dia bertekad untuk mempersembahkan hidupnya bagi kemerdekaan bangsa dan negaranya. Dia pun mulai bergabung dengan pejuang-pejuang perintis kemerdekaan melalui kemampuan medisnya. Dan, dapat menjadi catatan pula, ayah saya ketika itu adalah ahli bedah. Keahlian yang di masa itu amat jarang dimiliki bangsa dan negara ini.
Kemudian, ketika penjajahan Jepang, dia pun bergabung ke dalam Daidan Blitar. Dan, menyandang pangkat Chudanco. Pangkat yang terhitung tinggi ketika itu. Serta memiliki sejumlah anak buah yang mau membantu ayah saya berkutat dengan dunia medis, guna membantu para prajurit PETA yang terluka di medan perang maupun latihan.
Dapatkah Anda sedikit menceritakan keterlibatan ayah Anda di dalam Pemberontakan PETA Blitar itu?
II: Dari berita yang saya dengar, ayah saya sebenarnya adalah tokoh utama pemberontakan tersebut. Dia adalah otak. Dia adalah cara berpikir bagaimana agar pemberontakan itu dapat berhasil. Dia jugalah yang selama itu memimpin diskusi-diskusi pemberontakan itu dengan Soeprijadi dan kawan-kawan.
Tetapi, karena ayah saya adalah tenaga medis, dan kemampuan memimpinnya kurang menonjol dibandingkan Soeprijadi, maka pantaslah jika Soeprijadi yang ditunjuk menjadi pemimpin pemberontakan. Ayah saya pun, di dalam pengakuannya, menyetujui dan tidak berkeberatan atas keputusan itu.
Namun, jangan pula meragukan bagaimana peran ayah saya. Dia mau terjun langsung di dalam pemberontakan itu. Dia ikut bergabung dengan pasukan yang memberontak itu, hingga akhirnya dapat tertangkap karena ditipu oleh Jepang.
Kemudian, yang menjadi landasan mengapa ayah saya begitu membenci Jepang hingga menjadi otak pemberontakan itu adalah ketidaktahanannya melihat penderitaan anak bangsa ini semasa penjajahan Jepang.
Dia melihat sendiri bagaimana penyiksaan demi penyiksaan melalui romusha; latihan perang; dan lain sebagainya yang dilakukan Jepang, sudah berada jauh di atas ambang kemanusiaan. Keadaan ini yang semakin membulatkan tekadnya untuk bersama-sama dengan para prajurit PETA memberontak.
Adakah rasa bangga atas apa yang telah ayah Anda lakukan?
II: Siapa, sih, yang tidak bangga menjadi anak seorang pejuang. Seorang pahlawan bangsa, yang sedemikian teguh dan berkorbannya demi perjuangan kemerdekaan bangsa dan negaranya. Seorang yang patut diteladani kemauan kerasnya untuk menjadikan bangsa dan negara ini menjadi sebuah bangsa dan negara yang berdaulat.
Terus terang, saya bangga sekali. Saya tidak akan menghilangkan nama belakang saya yang merupakan nama ayah saya, karena begitu bangganya saya terhadap kiprah ayah saya demi memerdekakan bangsa dan negaranya.
Meskipun nanti, mungkin, tidak ada lagi generasi penerus bangsa ini, yang mengingat siapa itu dr. Ismangil. Siapa itu Soeprijadi dan kawan-kawan. Dan, siapa itu para pahlawan bangsa dan negara ini, beserta kiprah mereka di dalam memerdekakan bangsa dan negaranya.
Ada sebuah pertanyaan yang kerap kali terlontar, sejauh mana perhatian pemerintah terhadap para keturunan tokoh-tokoh Pemberontakan PETA Blitar?
II: Sejauh ini, perhatian dan penghargaan yang diberikan pemerintah kepada kami cukup baik. Selain beberapa bantuan yang rutin selalu diberikan kepada kami, keturunan dan keluarga tokoh-tokoh Pemberontakan PETA, sejumlah penghargaan seperti dijadikannya nama keluarga kami sebagai nama jalan dan gedung di Kota mupun Kabupaten Blitar, cukup membuat kami merasa bangga.
Coba saja Anda bayangkan, jika nama ayah; suami; adik; kakak; sepupu; kakek; nenek; dan lain sebagainya yang masih terhitung kerabat kita dijadikan nama jalan di sebuah daerah, apakah Anda tidak layak untuk berbangga hati? Termasuk pula, jika mereka dimakamkan di taman makam pahlawan.
Sekadar gambaran, ayah saya beserta para lima pahlawan PETA, kecuali Soeprijadi yang belum diketahui kabarnya hingga kini, dimakamkan secara berdampingan. Mulai dari ayah saya; Shodanco Moeradi; Shodanco Soeparjono; dan seterusnya.
Semua itu mengandung makna, bahwa pengorbanan yang telah keluarga kami lakukan demi bangsa dan negara ini, diapresiasi dengan baik. Dan, menjadi suri tauladan bagi generasi penerusnya.
Terakhir, adakah pesan yang ingin Anda sampaikan kepada generasi penerus?
II: Pesan saya yang utama, adalah jangan lupakan jasa ayah kami. Jasa yang mungkin tidak akan mampu ditempuh oleh siapapun dalam konteks kekinian. Hal ini dikarenakan definisi pahlawan dalam konteks kekinian dengan di masa lampau, pastilah berbeda.
Kemudian, kita semua harus menerapkan intisari dari perjuangan ayah saya dan kawan-kawannya, yaitu keberanian untuk membela bangsa dan negara. Begitu gigihnya mereka di dalam perjuangannya demi Indonesia merdeka, hanya semata ditujukan untuk mengantisipasi agar generasi-generasi mereka selanjutnya lepas dari penjajahan bangsa dan negara lain. (tim)

*Tulisan ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008

Sekelumit Tentang Pemberontakan PETA Blitar

Bendera PETA

Mau diakui atau tidak, pemberontakan yang telah Soeprijadi dan kawan-kawan lakukan enam bulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, telah membuka mata dunia. Mengapa?
Tanggal 11 Januari 1942, Jepang yang memenangkan perang Asia-Pasifik atau Asia Timur Raya mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Dalam waktu sekejap, Dai Nippon Guntai (Angkatan Darat Jepang) telah mendarat di pelbagai daerah di pantai utara pulau Jawa.
Tak lama kemudian, tanggal 9 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Belanda merangkap Panglima Sekutu di Indonesia, Jenderal Carda van Starkenborgh Stachouwer, menyerah tanpa syarat kepada Jepang, yang bertempat di Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Dengan menyerahnya Panglima Angkatan Perang Belanda tersebut, sekaligus menghentikan perlawanan Sekutu di seluruh bekas jajahan Belanda di Indonesia (Hindia Belanda). Peristiwa tersebut sekaligus pula menghapuskan mitos yang selama ini dibiuskan kepada rakyat Indonesia oleh pihak Belanda, yang mengatakan "bangsa kulit putih, bangsa yang luhur, dan tak mungkin terkalahkan oleh bangsa Asia."
Mesin perang pun berjalan terus. Hampir setiap hari Jepang mencatat kemenangan di berbagai front di Asia dan Pasifik. Namun, pada pertengahan 1943, kedudukan Jepang mulai terdesak kekalahan. Tentara Amerika dan Inggris (Sekutu) setapak demi setapak maju, satu demi satu pulau di kawasan Pasifik, dapat direbut kembali. Mula-mula kepulauan Marshall; menyusul Gilbert dan Carolina; terus maju ke Filipina dan bagian timur Nusantara. Bahkan, di front Burma (Myanmar) dan India, ternyata Jepang sudah tidak bisa maju lagi. Mereka tampak kewalahan menghadapi gempuran-gempuran Inggris.
Menyadari kedudukannya yang semakin terdesak kekalahan, pemerintahan Kerajaan Jepang membuat siasat baru Dengan mempersiapkan segala sesuatunya guna membangkitkan perlawanan yang lebih luas dan lama di Nusantara ini, mereka mengerahkan sebanyak-banyaknya kekuatan rakyat pribumi untuk diajak bersama-sama Dai Nippon memerangi Sekutu.
Dengan semboyan "hidup di bawah lindungan saudara tua", ternyata sepanjang masa pendudukannya (1942-1945), Dai Nippon berhasil meraih empati bangsa Indonesia. Padahal, di satu sisi, mereka hanya ingin menguasai dan memeras kekayaan bangsa ini.
Terlebih, dengan tidak terdengarnya lagi Wilhelmus van Nassauwe (lagu kebangsaan Belanda) karena digantikan Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) dan tidak berkibarnya lagi "si tiga warna" karena digantikan dengan Hinomaru (bendera Jepang), membuat Jepang semakin jumawa dan menjadikan keadaan negeri ini semakin parah.
Penindasan; penghinaan; perlakuan sewenang-wenang; perampasan harta benda dan tenaga paksaan; telah mengakibatkan kemelaratan dan kesulitan hidup sehari-hari, terutama dirasakan rakyat di pedalaman. Di kota-kota sudah tidak aneh lagi melihat orang kurus-kering kelaparan, bahkan sering juga terlihat mati di tengah-tengah keramaian.
Penderitaan rakyat Indonesia, kesengsaraan lahir batin rakyat negeri ini, ditambah dengan satu bentuk kewajiban bersujud ke utara menghadap ke Maharaja Kerajaan Jepang (Kaisar Tenno Heika). Selain dari itu, dengan tipu muslihat pula, mereka mengumpulkan gadis-gadis kita dari berbagai golongan lapisan masyarakat, antara lain dengan janji-janji akan disekolahkan dan dipekerjakan. Ternyata, gadis-gadis itu dijadikan jugun ianfu, yang tidak lain sebagai pemuas nafsu serdadu-serdadu Dai Nippon.
Romusha, adalah salah satu bentuk kesengsaraan dan sebuah kata yang dikenal menimbulkan rasa takut bagi bangsa Indonesia selama Jepang berkuasa. Artinya, sama dengan kuli di zaman penjajahan, tetapi dengan nasib yang lebih buruk.
Berpuluh-puluh ribu romusha dikerahkan dengan paksa untuk dipekerjakan membuat lapangan terbang; jalan kereta api; lubang perlindungan; dan lain-lain, guna keperluan perang Dai Nippon. Mereka diangkut tidak hanya dari wilayah Indonesia, tetapi dari Myanmar; Thailand; dan negara-negara yang pernah ditaklukkan Jepang.
Tenaga mereka (para romusha) diperas, tetapi makanan; pakaian; kesehatan; dan perumahan diabaikan, hingga kematian tidak terhitung banyaknya. Mereka hilang untuk selama-lamanya, tidak diketahui letak kuburnya. Sisa-sisa yang dapat meloloskan diri atau melampaui masa perang dan masih hidup, terdapat di lokasi bekas kerjanya (Birma dan Thailand).

PETA
Kedudukan Jepang dalam Perang Dunia II mulai terdesak, meski sejumlah peralatan dan tenaga keprajuritan telah terpenuhi. Karena itulah, kemudian Jepang menempuh dua kebijakan untuk meraih hati masyarakat Indonesia yang telah remuk-redam melihat perlakuan Jepang kepada saudara-saudara mereka.
Kebijakan pertama, di bidang politik, Jepang mengadakan "dewan perwakilan rakyat," di pusat dinamakan Tjuo Sangiin dan di tiap keresidenan disebut Shu-Sangikai. Anggota-anggotanya ditunjuk.
Di lapangan, Angkatan Bersenjata Jepang membentuk pasukan tentara sukarela. Dalam bahasa Jepang dinamakan Kyodo Boui Cyu Gun. Barisan sukarela ini kemudian lebih dikenal dengan nama Tentara Pembela Tanah Air (PETA), berdasarkan gagasan Gatot Mangkoepradja.
Pada tanggal 7 September 1943, gagasan Gatot Mangkoepradja tersebut tercetus di dalam pengajuan surat permohonan kepada Guseikan dan Saiko Sikikan, Panglima Tentara Pendudukan Kerajaan Jepang di Jakarta, mengenai perlunya segera dibentuk "Barisan Sukarela" untuk membela tanah air. Surat permohonan yang ditulis dengan tinta darahnya sendiri itu, ternyata mendapat banyak dukungan dan sambutan hangat dari berbagai golongan masyarakat, terutama dari anggota Seinendan dan Keibodan.
Atas perintah Saiko Sikikan, untuk mencoba apakah pemuda-pemuda Indonesia dapat diberi tugas militer, maka dibukalah Seinendojo (pusat latihan pemuda) di Tangerang, yang dipimpin perwira intel, Lettu. Motosjige Janagawa. Angkatan pertama diikuti 50 pemuda, dan dilatih selama enam bulan. Saiko Sikikan, merasa puas akan hasil latihan itu dan memerintahkan dilanjutkan dengan angkatan berikutnya.
Karena itulah, kemudian keluar keputusan Saiko Sikikan dan Letjen. Kumakitji Harada tentang pembentukan pasukan sukarela untuk mempertahankan tanah air dari serangan Sekutu, sesuai dengan undang-undang (Osamu Seirei No. 44), tertanggal 3 Oktober 1943.
Di dalam penjelasan Osamu Seirei tersebut, dikatakan bahwa untuk menyambut semangat yang berkobar-kobar dan memenuhi keinginan penduduk asli di Pulau Jawa untuk membela tanah airnya, maka balatentara Dai Nippon membentuk PETA atas dasar membela Asia Timur Raya bersama-sama. Di dalam PETA, ditempatkan beberapa perwira Jepang sebagai pendidik. Calon-calon perwira Indonesia dididik di Bogor, selama tiga bulan, dan tempat pendidikannya dinamakan Bo Ei Gyu Gun Renseitai.
Selanjutnya, di tiap karesidenan dibentuk pasukan 1000 prajurit, dan dikepalai perwira-perwira Indonesia yang telah mendapat latihan dasar ilmu kemiliteran; pengetahuan senjata; siasat perang; dan bertempur. Usai pendidikan, mereka ditugaskan menyiapkan barisan di karesidenan masing-masing. Strukturnya, kepala barisan dinamakan Daidancho; pimpinan kompi disebut Shodanco; dan Bundanco untuk pimpinan peleton. Kesemuanya orang Indonesia.

PETA Blitar
PETA Blitar diresmikan pada tanggal 25 Desember 1943 oleh Katagiri Butaico atas nama Saiko Sikikan, sebagai satu di antara dua Daidan resmi yang ada di Karisidenan Kediri. Nama lain Daidan Blitar adalah Dai Ni Daidan, atau diartikan sebagai batalyon kedua.
Susunan organisasi Dai Ni Daidan terdiri atas Daidancho Soerakhmad sebagai Kepala Daidan; Shodanco Soekandar sebagai ajudan Dai Ni Daidan; Shodanco Moelyadi sebagai Honbu Shodan; Ensei Gakari dijabat Cudanco dr. Ismangil; Cudanco Soekandar memimpin Ensyu Gakari; Jinji Gakari dijabat Cudanco Soekeni; Cudanco Soehadi memimpin Heiki Gakari; Keiri Gakari dijabat Shodanco Soenardi; Shodanco Partohardjono memimpin Buppin Gakari; dan Daidanki Gakari dijabat Shodanco Wahono.
Sementara itu, Kompi I atau Dai Ici Cudan dipimpin Cudanco Soehoed, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Koesdi; Shodanco Moeljohardjono; Shodanco S. Djono; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Goenawan.
Dai Ni Cudan atau Kompi II dipimpin Cudanco Hasannawi, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Soeparjono; Shodanco Soenjoto; Shodanco Moendjijat; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Imam Moenandar.
Kompi III atau Dai San Cudan yang merupakan kompi bantuan dipimpin Cudanco Ciptoharsono, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Soeprijadi; Shodanco Moeradi; Shodanco Soekeni; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Soenanto.
Terakhir, Dai Yon Cudan atau Kompi IV dipimpin Cudanco Soejatmo, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Akhijat; Shodanco Soekijat; Shodanco Soewarna; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Soedarmadji.
Secara khusus, pasukan PETA Blitar memiliki kedudukan yang istimewa: bertugas membangun perbentengan di berbagai tempat sampai di pantai selatan dan Tuban. Di samping itu, para prajurit PETA itu harus tetap melakukan latihan-latihan yang berat di bawah perlakuan pelatih-pelatih Jepang yang kasar dan menyakitkan hati.
Dalam perjalanan ke tempat-tempat lain dalam rangka pembangunan perbentengan tersebut, anggota PETA Blitar dapat melihat segala jenis penderitaan rakyat (di antara mereka terdapat sanak keluarga pasukan PETA sendiri).
Di tempat kerja tersebut, mereka melihat nasib para romusha yang diperlakukan tidak sebagai manusia. Timbullah rasa berontak dan mendendam yang tidak dapat disimpan lebih lama lagi. Beberapa perwira PETA telah mencapai kata sepakat dan tekad bulat untuk mengangkat senjata terhadap "saudara tua" yang zalim, melalui "rapat-rapat rahasia" yang dimulai awal tahun 1944.
Pembagian tugas pun disusun. Daidan-daidan lain dihubungi. Para anggota Daidan Blitar diberi "pengertian-pengertian". Bahkan, para pimpinan pemberontakan telah direncanakan ketika adanya kegiatan latihan bersama dengan sepuluh Daidan lain pada tanggal 5 Februari 1945 di Tuban.
Namun, ternyata latihan bersama itu digagalkan Jepang, setelah Dai Nippon mencium gelagat dari pasukan PETA. Usai gagalnya latihan bersama di Tuban itu, keadaan pasukan PETA Blitar semakin gawat. Semua kegiatan mereka dimata-matai.
Puncaknya, mulai tanggal 9 Februari 1945, Shodanco Soeprijadi meninggalkan asrama melalui pintu belakang. Tujuannya, bertemu guru spiritualnya: Kasan Bendo, guna meminta nasehat atau petuah-petuah dari salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu.
Salah satu nasehat Kasan Bendo kepada Soeprijadi setelah mengutarakan maksudnya untuk memberontak terhadap penjajahan Jepang yang terkenal adalah: "Saat ini sebenarnya belum waktunya untuk melawan tentara Jepang. Tunggu empat bulan lagi. Akan tetapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah mulia, yakni untuk melenyapkan penderitaan dan penjajahan dari bumi Tanah Air kita".
Setelah mendapat restu Kasan Bendo, dan sempat berdiskusi dengan pemimpin PUTERA, Ir. Soekarno, yang tengah berkunjung ke Ndalem Gebang , Shodanco Soeprijadi beserta Shodanco Moeradi; Shodanco Soeparjono; Bundanco Halir Mangkoedidjaja dan Bundanco Soenanto melakukan "rapat rahasia" terakhir mereka di kamar Halir Mangkoedidjaja, 13 Februari 1945. Hasil rapat itu pun putus sudah. Pemberontakan terhadap "saudara tua" yang zalim harus segera dilakukan.

Berkibarnya Sang Saka Merah Putih
Pemberontakan itu pun direncanakan dilaksanakan pada pukul 03.30 dinihari tanggal 14 Februari 1945. Sebab, berdasarkan pendapat Halir Mangkoedidjaja seusai rapat rahasia, "Karena rencana kita untuk memberontak telah diketahui oleh tentara Jepang, maka sebaiknya pemberontakan itu kita cetuskan secepat mungkin. Kita tidak perlu menunggu-nunggu lagi, karena keadaan dan penderitaan rakyat Indonesia sudah tidak tertahan lagi. Apalagi tadi siang, yakni pada kira-kira pukul 14.00 ada satu gerbong kenpetai yang datang dari Semarang. Sebagian dari mereka pada saat ini bermalam di Hotel Sakura Blitar. Apakah kedatangan para anggota kenpetai itu tidak bermaksud untuk menangkapi kita? Mengingat bahwa rencana pemberontakan kita sudah bocor, mungkin sekali mereka memang sengaja didatangkan ke Blitar untuk menangkap kita semua".
Pendapat Halir tadi diperkuat dengan peringatan Soeprijadi: 1) Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga untuk mencapai kemerdekaan Tanah Air dengan secepat-cepatnya; 2) Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata jangan sampai Indonesia "didominionkan"; 3) Sebagai bangsa yang ingin merdeka kita harus berani berjuang dan rela berkorban untuk menghentikan penindasan dan pemerasan yang sewenang-wenang terhadap rakyat yang sudah sangat menderita; dan 4) Konsekuensi dari pemberontakan kita ini ialah paling ringan dihukum dan disiksa serta paling berat dibunuh, tetapi kita harus mencegah sejauh mungkin jangan sampai kita membunuh bangsa sendiri.
Pukul tiga malam, 14 Februari 1945, senjata dan peluru dibagikan; barisan-barisan dipersiapkan; serangan dibuka dengan mortir berat (hakugekiho) oleh pasukan Bundanco Soedarmo, diarahkan ke Hotel Sakura, tempat perwira-perwira Jepang.
Hajime...! Teriak Shodanco Soeprijadi memberikan komando pemberontakan. Bersamaan dengan komando itu, Bundanco Poedjianto memutuskan hubungan telepon dari segala jurusan. Kantor Kenpetai Jepang di Blitar diserbu dari segala jurusan.
Pada saat-saat yang tegang itu, Shodanco Partohardjono membawa sehelai bendera Merah Putih yang telah lama disiapkan, perpaduan kain merah dari gudang Daidan dan kain putih sarung bantal jahitan isterinya, Sukmi, ke tiang bendera yang berada tengah-tengah lapangan besar di seberang Daidan (kini TMP Raden Wijaya dan tiang bendera itu dinamakan Monumen Potlot,red).
Sebelum dikibarkan, lipatan bendera itu diciumnya tiga kali, kemudian dikereknya pada tiang bendera di sana, diiringi suara tembakan dari segala penjuru kota. Setelah Sang Saka Merah Putih berkibar di angkasa, dia pun bersikap sempurna dan memberi hormat. Belum puas juga, dia menyembah tiga kali dan mencium tanah sebagai tanda syukur. Usai "ritual" tersebut, dia cepat-cepat berlari ke arah timur mengejar rombongan yang menurut rencana meang menuju ke arah sana.
Pasukan PETA bergerak membinasakan semua orang Jepang di Blitar; membebaskan para tahanan; melucuti senjata polisi yang menghalang-halangi perjuangan; dan kemudian, menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Shodanco Dasrip di sektor selatan melakukan serangan di dalam kota dan bergerak terus hingga ke Brubuh, Lodoyo; pasukan Shodanco S. Djono melakukan pembersihan kota di kawasan barat kota dan bergerak terus hingga ke Srengat; pasukan Shodanco Soenarjo membersihkan sektor utara kota dan bergerak terus hingga ke Talun; dan pasukan Shodanco Moeradi yang melakukan pembersihan di dalam kota bergerak terus hingga ke Ponggok dan bergabung dengan pasukan Shodanco S. Djono.
Pasukan Shodanco Soeprijadi sendiri bertugas ke timur untuk menghadang tentara Jepang dari Katagiri Butai Malang. Namun, rencana itu pun tidak berjalan dengan baik. Kendati berhasil membunuh sejumlah penjajah Jepang, tetapi semua pasukan PETA, kecuali pasukan Dasrip, malah melaju ke Hutan Ngancar, Kediri, dan bersembunyi di sana.
Hingga akhirnya, pasukan PETA diperdayai Jepang melalui sebuah perjanjian (Perjanjian Ngancar,red), pada tanggal 19 Februari 1945, yang di kemudian hari justru diingkari Jepang.
Isi dari Perjanjian Ngancar itu sendiri adalah: janji pemerintah Dai Nippon untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia; tidak akan melucuti persenjataan kesatuan tentara PETA Blitar; membebaskan tuntutan hukum bagi gerakan pemberontakan PETA Blitar; dan kendaraan yang mengangkut pasukan pimpinan Shodanco Moeradi untuk kembali ke Blitar dikemudikan tentara PETA Blitar sendiri.
Kenyataannya, sekembalinya dari Hutan Ngancar ke Daidan Blitar, para pemberontak itu malah dikenai hukuman yang harus diterima dari pemerintah Dai Nippon. Tingkatan hukuman bagi mereka yang terlibat di dalam pemberontakan itu pun tidak sama.
Enam puluh tujuh orang, kecuali Shodanco Soeprijadi yang dianggap "otak" pemberontakan itu dan menghilang ketika dalam perjalanan menuju Hutan Ngancar (hingga kini masih menjadi misteri,red), dibawa ke Jakarta untuk menempuh hukuman. Enam orang, Shodanco Moeradi; Cudanco dr. Ismangil; Shodanco Soeparjono; Bundanco Halir Mangkoedidjaja; Bundanco Soenanto; dan Bundanco Soedarmo, dihukum mati di "Eereveld" Ancol, Jakarta.
Sisanya, selain dimasukkan ke dalam penjara di Jakarta dan Bandung, secara kolektif, Daidan Blitar diasingkan di daerah Gambyok, Desa Mojoduwur, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. Tidak lama kemudian, setelah Republik Indonesia diproklamasikan, hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia pun direhabilitasi dan dibebaskan dari hukuman zaman Jepang.
Bagi warga Kota Blitar, Pemberontakan PETA tersebut bukanlah sesuatu yang memalukan. Tetapi, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Dan, sekaligus menjadi inspirasi untuk mengadopsi semangat dan gelora Soeprijadi dan kawan-kawan di dalam membangun daerah. (dari pelbagai sumber)




BK "Terlibat"?

Benarkah Bung Karno (BK) "terlibat" di dalam pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Shodanco Soeprijadi, 14 Februari 1945? Sejauh mana "keterlibatan" BK? Berikut petikan pengakuan BK kepada Cindy Adams di dalam bukunya "Penyambung Lidah Rakyat" halaman 132:
...Bagi orang Jepang maka pemberontakan PETA merupakan peristiwa yang tidak diduga sama sekali. Akan tetapi bagi Soekarno tidak. Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar. Orang tuaku di Blitar.
Pada waktu aku berkunjung pada orang tuaku ke Blitar, beberapa orang perwira PETA datang kepadaku. Para perwira ini mempersoalkan maksud mereka hendak mengadakan pemberontakan. "Kami baru mulai merencanakannya," mereka menyampaikan dengan kepercayaan penuh, "akan tetapi kami ingin mengetahui pendapat Bung Karno sendiri."
"Pertimbangkanlah masak-masak untung-ruginya," jawabku dengan hati berat. "Saya meminta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja." "Kita akan berhasil," Soeprijadi menjamin sebagai pemimpin pemberontakan ini.
"Saya berpendapat, bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang." "Kita akan berhasil," kata Soeprijadi mengulangi kembali.
Aku memandang ke dalam wajah-wajah yang masih muda dan berapi-api. Dan aku menyadari, bahwa tidak satupun yang dapat menghalang-halangi maksud mereka. Aku hanya berkata, "Kalau kiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua."
"Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?"
"Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang kebanyakan, bukan preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis. Di samping itu, saya harus menerangkan dengan jelas kepadamu semua. Kalau engkau terus bertahan hendak mengobarkannya, saya sokong. Saya akan membantu dalam pembuatan rencana. Akan tetapi, saya harus hati-hati sekali menutupi jejakku. Jangan sampai timbul persangkaan Jepang, bahwa ini kebetulan terjadi di negeriku. Dalam keadaan apa pun, saya tidak akan membukakan rahasia ini. Saya akan terpaksa memungkiri segala sesuatu yang kuketahui mengenai peristiwa ini, demi berlangsungnya kehidupan PETA untuk masa selanjutnya."
"PETA adalah alat vital bagi revolusi kita yang akan datang. Saya tidak dapat mengorbankan seluruh PETA guna kepentingan beberapa orang. Kalau sekiranya saudara semua tertangkap, maka kewajiban sayalah untuk berusaha dengan segala daya menyelamatkan pasukan PETA yang selebihnya." (dari buku Penyambung Lidah Rakyat)

*Tulisan ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008

Belajar

TS. Elliot, sejarawan kenamaan, pernah mengatakan, jika masyarakat ingin maju peradabannya, belajarlah dari sejarah. Sejarah ini mengajarkan kepada manusia cara berpikir, bersikap dan berbuat yang merujuk pada masa lalu guna membangun masa depannya...Dari sejarah, manusia bisa berkaca tentang peristiwa masyarakat atau bangsa yang gagal dan sukses dalam kehidupannya....
Apa yang diungkapkan sejarawan tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini, manusia selayaknya mau berkaca pada peristiwa masa lalu. Dari agenda sejarah ini, manusia akan bisa menemukan mutiara hikmah yang berguna untuk mendidiknya sehingga dalam kehidupan yang dijalani tidak sampai terjerumus, apalagi terjungkal di jurang kegagalan (Abdul Wahid, 2007).
Intisari dari apa yang disampaikan petikan tulisan Abdul Wahid di atas adalah sejarah merupakan sebuah pelajaran yang baik untuk merefleksikan suatu bangsa dan negara, serta menjadikannya "modal" untuk membangun masa depan yang baik.
Sejalan dengan itu, Kota Blitar sudah tepat di dalam relnya, dengan menjunjung tinggi gelora dan semangat perjuangan serta keteladanan "anak daerah"-nya, seperti Adipati Ariyo Blitar; Shodancho Soeprijadi; dan Ir. Soekarno, untuk membangun daerah.
Sebab, mau diakui atau tidak, figur para tokoh itulah yang menginspirasi dan mengilhami "nafas" masyarakat Kota Blitar di dalam membangun daerah. Selain dihormati, para tokoh tersebut, memberikan "arti" yang besar bagi kebesaran nama daerah; nusa; bangsa dan negara ini.
Tetapi, benar apa yang dikatakan Abdul Wahid di dalam tulisannya itu, bahwa kita sebaiknya tidak hanya mengambil gelora, semangat dan keteladanan para tokoh tersebut. Kita harus menentukan arah dan agenda sejarah kita sendiri. Serta mengelolanya demi kebaikan semua komponen masyarakat.
Karena itulah, "figur-figur" baru yang mampu menyerap intisari semangat, gelora dan keteladanan para tokoh tersebut, amat diperlukan sebagai "modal dasar" pembangunan daerah.
Dan, agar tidak terputus, kita harus menyiapkan pula "figur-figur" mendatang yang nantinya harus memiliki "modal dasar" tersebut, serta mampu mengembangkannya di tengah himpitan perubahan zaman yang semakin cepat dan deras ini.
Sehingga, sebuah cita-cita daerah: pembangunan daerah yang berlandaskan atas "nafas" nasionalisme di Kota Blitar, bisa terus berjalan, tanpa memedulikan siapa pun "figur" pemimpin daerah.
Hal ini menjadi bersifat penting, sebab, kami yakin, tidak ada satu pun ingin pembangunan daerahnya menjadi gagal. Terjerumus di dalam kegagalan. Semua manusia Kota Blitar pastilah menginginkan kesuksesan. Lagi pula, siapa, sih, yang ingin dianggap gagal?

*Tulisan Editorial ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008

Kesetaraan

Tak mungkin akan tercipta kesetaraan bila elit tidak mencerminkan peradaban. Begitu ujar-ujar yang disampaikan Ki Hadjar Dewantara, sebagai pesan kepada para pemimpin negara ini di masa revolusi, pasca-proklamasi kemerdekaan RI.
Pesan Bapak Pendidikan Indonesia tersebut, mungkin, masih relevan dalam konteks kekinian. Kesetaraan yang menjadi idaman masyarakat, secara makro, dapatlah dikatakan sebagai sebuah isapan jempol belaka.
Pasalnya, seperti kita ketahui bersama, para elit kita, baik di kursi eksekutif dan legislatif, masih belum menampakkan sebuah perubahan yang menuju ke arah yang lebih baik lagi. Mereka belum dapat membuat sebuah peradaban yang dilandasi oleh kesetaraan.
Jika pun terdengar adanya kesetaraan, namun implementasinya masih belum menyatakan demikian. Maka, dapat dipastikan, (lagi-lagi) yang namanya kesetaraan masih bersifat isapan jempol belaka. Mimpi yang tidak berkesudahan.
Kondisi demikian di Kota Blitar, sudah mulai terkikis. Antara elit dengan masyarakatnya, kini mulai terlihat kesetaraan. "Jurang" pembeda di antara keduanya semakin tipis. Semakin tidak terlihat, jika yang menjadi tolok ukurnya adalah kesejahteraan.
Mengapa demikian? Patut diakui, kesadaran para elit untuk menjadi pamong praja-bukan lagi menjadi pangreh praja-bagi masyarakatnya, yang menjadi landasan utama. Semua yang dilakukan para elit Kota Blitar, pastilah dapat dibuktikan, adalah demi kesejahteraan masyarakatnya.
Hasilnya pun dapat dilihat dengan jelas. Banyak program dan kegiatan di Kota Blitar yang selalu melibatkan peran serta masyarakat. Tidak peduli apa rasnya, bagaimana keadaan sosial dan ekonominya, dan lain sebagainya.
Bahkan, untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat masyarakat yang kurang mampu pun, tidak terlihat lagi siapa yang paling berperan. Masyarakat dan elit seakan mau bersatu demi menciptakan sebuah "peradaban".
Peradaban yang dilandasi gelora dan semangat implementasi dari Pancasila. Gelora dan semangat untuk selalu bergotong royong untuk membangun daerah; nusa; bangsa dan negara. Gelora dan semangat untuk menciptakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bagi siapa pun yang memiliki keterikatan dengan Kota Blitar dan NKRI.
Sekarang yang menjadi pertanyaan, jika di Kota Blitar hal ini bisa dilakukan, mampukah hal ini "menularkan virus positif" bagi semua komponen masyarakat dan warga negara Indonesia? Niscaya hal ini tidak akan berjalan, jika elit masih merasa sebagai "elit"!

*Tulisan Editorial ini dimuat di Bulletin Cakrawala edisi Januari 2008

Blog Gw

Akhirnya tercipta juga sebuah blog gw. Blog yang bakal gw pake bwt mengisi semua hal yang berhubungan dengan gw. Gak peduli itu pahit; manis; getir; dan lain sebagainya, akan gw curahkan melalui blog ini.
Di samping itu, blog ini juga bakal gw pake bwt memublikasikan karya-karya gw dalam bentuk tulisan. Mo itu tulisan dalam bentuk cerita pendek; cerita bersambung; karya ilmiah; novel; dan lain sebagainya, yang memang hasil karya dari tangan-tangan yang masih belajar untuk menulis ini.
Semoga saja semua orang yang singgah di blog gw ini, berkenan dengan apa yang ada di dalam kontens blog gw ini.
Selamat menikmati dan salam sejahtera selalu bwt semua orang yang mo singgah di blog gw ini: aryopamungkas.blogspot.com