Jumat, 15 Maret 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KETIGA)

Dengan tangan bergetar dan masih belum sanggup menguasai emosi, Sungging Prabangkara menggoreskan alat lukisnya di atas hamparan kain yang dibawanya. Pelan namun pasti dia memindahkan keindahan alam Sunda Galuh yang menjadi latar belakang lukisan untuk menambah kecantikan Dyah Pitaloka.
Memang lukisan Dyah Pitaloka belum terlihat dengan sempurna. Ini tidak lepas dari masih belum sempurnanya imajinasi Sungging Prabangkara untuk memindahkan sosok Dyah Pitaloka ke dalam lukisan. Si pelukis muda itu tampak masih belum dapat menguasai diri dari keterkejutannya. Bahkan, hingga dia harus istirahat untuk melahap makanan yang tersaji, belum didapatkannya gambaran utuh yang pas untuk dia tuangkan ke dalam lukisan.
Hanya hari yang beranjak senja yang dapat menghentikannya sementara waktu. Dia memohon izin untuk menyelesaikannya keesokan hari seraya memohon kesediaan Puteri Dyah Pitaloka kembali.
“Kisanak, bolehkah aku lihat dulu hasil lukisanmu,” pinta Dyah Pitaloka.
Sungging Prabangkara terkejut. Tidak mengira permintaan Puteri Dyah Pitaloka itu. Namun, permintaan itu harus dia turuti juga. Dengan gugup, diserahkannyalah lukisan yang masih belum berbentuk itu kepada Puteri Dyah Pitaloka.
Sang Puteri pun hanya manggut-manggut. Meski lukisan itu belum sempurna benar, tetapi Sang Puteri sudah dapat menangkap sedikit keindahan lukisan itu.
“Meski belum terlihat sempurna, harus aku akui keindahan lukisanmu ini, Kisanak. Baiklah, besok dapat kau teruskan lukisanmu ini. Sekarang, beristirahatlah,” ucap Dyah Pitaloka dengan suara merdunya.
“Prajurit, tolong siapkan tempat istirahat untuk Kisanak ini,” sambung Prabu Maharaja Linggabuana bertitah.
Dengan sigap dan setelah memberi hormat kepada Prabu Maharaja Linggabuana, salah seorang prajurit pengawal istana mengantarkan Sungging Prabangkara ke tempat istirahatnya. Dalam perjalanan menuju tempat istirahat yang terletak di seberang pendapa, Sungging Prabangkara dapat menangkap keindahan Sunda Galuh yang disirami cahaya sang bagaskara yang tengah menuju ke barat, ke peraduannya.
“Memang indah kerajaan ini. Hanya kecantikan Puteri Dyah Pitaloka saja yang dapat mengalahkannya,” ujar Sungging Prabangkara di dalam hati.
Malam mulai menjamu kehadiran sang waktu. Suhu udara yang mulai beranjak dingin dan menusuk ke dalam tulang-belulang tidak dapat menghilangkan kehangatan rasa yang tengah berkecamuk di dalam hati Sungging Prabangkara ketika melihat kembali hasil lukisannya yang belum sempurna itu.
“Ah, Puteri Dyah Pitaloka. Kecantikanmu memang tidak ada yang dapat menandingi,” batinnya.
Kerisauan yang tumbuh di dalam hati Sungging Prabangkara tidak dapat ditutupi lagi. Dalam berpuluh tahun dia hidup dan terlahir di dunia ini, memang baru kali ini dia menemui sosok cantik rupawan seperti Puteri Kerajaan Sunda Galuh ini. Pengembaraan yang selama ini dia lakukan dan bertemu dengan sejumlah perempuan cantik di pelosok Nusantara nyatanya tidak dapat mengalahkan aura kecantikan yang terpancar dari sosok Dyah Pitaloka.
Jika pun mungkin ada yang dapat menandingi kecantikan Puteri Kerajaan Sunda Galuh itu, selain para bidadari di Kahyangan, dia adalah ibunya yang telah lama mangkat. Perempuan yang rela mengadu nyawa ketika melahirkannya ke dunia fana ini. Perempuan yang dipujanya selama ini, meski dia telah berada di alam Kahyangan.
Secara perlahan Sungging Prabangkara mengambil gulungan kainnya. Dikeluarkannya suling bambu yang selama ini menemani perjalanan dan mengisi waktu sebelum tidurnya. Perlahan ditiupnya suling itu dengan nada-nada rendah untuk mengantarkan kerinduannya akan keindahan. Keindahan yang selama ini hanya terpatri di dalam ingatannya.
Alunan suara suling yang mendayu-dayu itu sampai juga menghantam indera pendengaran Dyah Pitaloka. Tidak hanya sang Puteri, semua orang yang berada di istana kerajaan terkejut dan terhanyut dengan irama yang keluar dari suara suling itu. Hal yang sama juga dialami Prabu Maharaja Linggabuana.
“Siapa yang meniup suling menjelang tengah malam seperti ini? Ada apa gerangan?” batin Prabu Maharaja Linggabuana.
Dengan sigap Prabu Maharaja Linggabuana bangkit dari peraduannya. Diikuti oleh sang permaisuri yang tampak keheranan, tetapi menikmati alunan suling yang mengisi ruang Sunda Galuh di malam hari itu.
“Prajurit, cari si peniup suling itu. Dan bawa dia ke hadapanku!” titah Sang Prabu.
Tidak butuh waktu lama bagi para prajurit untuk menghadapkan Sungging Prabangkara ke hadapan Prabu Maharaja Linggabuana. Karena memang apa yang dilakukan Sungging Prabangkara itu tidak lazim dan hanya satu orang pendatang di Kerajaan Sunda Galuh pada hari itu yang menginap.
“Kisanak, aku telah memberi izin dan restu untuk kau abadikan puteriku ke dalam lukisan. Puteriku pun telah memberikanmu izin. Lantas, apa yang kau lakukan saat ini menimbulkan kecurigaan bagiku. Katakan, untuk apa kau tiup suling itu pada malam hari seperti ini?!” tegas Prabu Maharaja Linggabuana.
“Daulat, Paduka. Mohon ampun beribu ampun. Bukan maksud hamba ingin mengganggu kedamaian yang tengah Paduka rasakan. Tetapi, hamba tidak mengetahui bahwa kebiasaan hamba meniup suling untuk mengantarkan hamba ke alam mimpi ini menganggu Paduka. Untuk itu, sekali lagi hamba memohonkan ampunan,” urai Sungging Prabangkara.
“Benar tidak ada maksud lain, Kisanak?!”
“Daulat, Paduka. Mohon ampun beribu ampun. Tidak ada niatan lain bagi hamba untuk menganggu kedamaian rakyat Sunda Galuh beserta para pembesarnya. Hamba memang memiliki kebiasaan meniup suling sebelum hamba terlelap. Untuk itu, hamba memohon izin dan restu dari Paduka,” jawab Sungging Prabangkara dengan sikap yang semakin menghormat.
“Baiklah, Kisanak. Sebelum aku putuskan, aku ingin kau ceritakan dulu siapa engkau sebenarnya.”
Sungging Prabangkara akhirnya menceritakan siapa dirinya. Seluruh bagian dari hidupnya dia ceritakan dengan singkat dan jelas, meski ada beberapa bagian yang terpaksa dia tutupi. Pada sisi lain, Prabu Maharaja Linggabuana tampak manggut-manggut dan mencoba mencerna kebenaran cerita pemuda itu. Sesekali Prabu Maharaja Linggabuana mencuatkan alisnya.
“Demikianlah sedikit cerita mengenai hamba, Paduka. Mohon ampun, meski tidak terlalu panjang, tetapi demikianlah adanya kebenaran cerita tentang hamba,” tutup Sungging Prabangkara.
“Baiklah, Kisanak. Aku izinkan kau melanjutkan kegiatanmu. Tetapi, ketika malam sudah beranjak pada puncaknya, meski kau belum dapat memejamkan mata, kau harus hentikan kegiatanmu itu. Apakah kau sanggup?!”
“Daulat, Paduka.”
“Baiklah, Kisanak. Kau boleh kembali ke bangsalmu.”
Didahului dengan sikap hormat, Sungging Prabangkara undur diri dari pendapa istana. Diapit oleh dua orang prajurit pengawal istana, dia kembali ke bangsalnya dan melanjutkan kegiatannya. Suara kerinduan yang terwakili melalui alunan suling kini kembali terdengar dan memecah keheningan Kerajaan Sunda Galuh.
Begitu indahnya, hingga alunan suling yang kedua kalinya itu setelah sempat berhenti beberapa saat, mampu mengantarkan Dyah Pitaloka terbenam di dalam peraduannya. Begitu pula dengan Prabu Maharaja Linggabuana dan sang permaisuri yang telah kembali dari pendapa tadi. Dan jika pun ada yang masih terjaga, mereka adalah para binatang malam dan para prajurit yang bertugas mengawal istana.
Juga para telik sandhi Kerajaan Majapahit yang tengah bersembunyi di balik rerimbunan pepohonan…
“Gila! Sungging Prabangkara keterlaluan. Sulingnya selalu dia mainkan dan bisa membuat orang dengan telak jatuh ke alam mimpi,” bisik salah seorang telik sandhi kepada rekannya.
“Tenang saja. Yang penting kau jangan sampai terlelap. Bisa kacau nanti tugas kita ini. Dan begitu aku laporkan kepada Mahapatih, bisa mampus kau,” sahut rekan telik sandhi itu sambil menakut-nakuti.
“Keparat!” umpat telik sandhi itu.
Mendengar hal itu, rekan telik sandhi itu menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara gelak tawanya dan terdengar siapa pun yang melintas di bawah pepohonan.
Sudah beberapa lamanya alunan suling dia lontarkan dari hembusan nafas dari dalam mulutnya dan menyadari malam mulai mencapai puncaknya, Sungging Prabangkara menyudahi kegiatannya itu. Perlahan dia rebahkan tubuhnya di atas peraduan. Lama dia terdiam namun kedua belah matanya tidak jua dapat tertutup.
Pikirannya, sekali lagi untuk terus-menerus sejak tadi, tidak dapat mengenyahkan kecantikan Dyah Pitaloka. Kekaguman tampak muncul dari dirinya.
“Ah, Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, mengapa kau berikan aku tugas yang sedemikian beratnya,” bisiknya dengan suara yang sesak menghimpit dadanya.
Sungging Prabangkara pun tenggelam dalam dunianya sebelum terlelap. Banyak angan yang merajai pikirannya yang tidak dapat dia singkirkan. Semua itu tertuju pada satu sosok: Dyah Pitaloka.
“Ah, andai saja…”
“Ah, jika saja…”
“Ah…”

Jumat, 01 Maret 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KEDUA)

Kerajaan Sunda Galuh…

Kerajaan itu terletak di dekat sungai yang mengalir dengan tenang dari hulunya di pegunungan yang mengitari sekaligus menjadi pelindungnya. Hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning dan cicitan burung yang terbang di angkasa menambah indah panorama kerajaan yang dipimpin Prabu Maharaja Linggabuana itu.

Nyanyian para petani yang tampak menikmati masa mendekati panen menambah suasana harmonis di wilayah Kerajaan Sunda Galuh. Kalau pun ada yang mengusik keindahan dan keharmonisan itu adalah suara parau burung gagak yang mencari mangsa dan suara hewan buas lainnya yang menempati hutan di lereng-lereng gunung.

Dari sebuah sudut kerajaan, terderang lesung dan alu bertumbukan dan diiringi oleh derai tawa para wanita. Itulah derai tawa para dayang kerajaan yang tengah menyiapkan beberapa jumput beras untuk mengisi perut keluarga kerajaan siang nanti. Tak peduli sang bagaskara yang berwarna kuning keemasan hendak mencapai titik puncaknya, mereka tampak asyik mengubah padi dan gabah untuk menjadi beras. Mereka tampak bersuka-ria dan menganggap pekerjaan mereka sebagai beban.

“Nyai, ini sudah hampir selesai. Bagaimana dengan api tungkunya? Parantos?” tanya salah seorang dari dayang itu.

Parantos, Nyai. Sudah siap!” jawabnya.

SaĆ©,” tukas dayang yang bertanya tadi.

Tidak lama kemudian bau tanakan nasi dari beras yang diolah para dayang tadi mulai tercium dengan harumnya. Seluruh Nusantara memang mengagumi beras dan nasi yang berasal dari tanah Sunda. Sebab, selain harum, nasi dari beras tanah Sunda memiliki rasa yang khas yang dapat membuat orang yang memakannya untuk menambah porsi. Tidak akan kenyang rasanya perut mereka jika hanya memakan nasi dari beras Sunda hanya satu piring saja.

Sementara dari pendapa istana, Prabu Maharaja Linggabuana beserta sang permaisuri tampak sedang asyik menikmati pagi dari singgasana. Kesibukan yang luar biasa dilakukan rakyat Sunda Galuh tetap saja membuat sang Prabu tampak menikmatinya. Dan juga bersyukur masih bisa menikmati kehidupan normal rakyat Sunda Galuh.

Pada sudut lain di istana, Dyah Pitaloka Citraresmi sedang duduk dengan anggunnya. Di hadapan puteri Prabu Maharaja Linggabuana itu, Sungging Prabangkara sedang menggoreskan alat lukisnya di atas lembaran kain. Secara perlahan, bentuk lukisan itu mulai terlihat dengan indahnya. Tidak terpaut jauh dengan model lukisannya.

Tidak hanya Sungging Prabangkara, seluruh rakyat Sunda Galuh memang harus mengakui bahwa kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi. Kecantikan yang sebenarnya sukar untuk dituangkan di atas lembar lukisan. Namun, Sungging Prabangkara ternyata dapat menuangkannya dengan sempurna.

Ingatan Prabu Maharaja Linggabuana melayang pada kejadian beberapa hari yang lampau. Di hadapannya ketika itu hadir seorang pemuda yang meski berbusana rapi, tetapi rambutnya dibiarkan terurai. Cenderung awut-awutan, atau tidak tertata dengan rapi. Di tangannya tergenggam beberapa alat lukis dan lembaran kain.

“Mohon maaf, Paduka,” buka seniman itu dengan sikap menghormatnya.

“Ya, Kisanak. Aku sudah tahu apa yang menjadi keinginanmu. Aku bisa lihat dari apa yang kau bawa sekarang, dan itu sudah cukup untuk mewakilinya. Tetapi…” ujar Praba Maharaja menggantungkan kalimatnya.

“Daulat, Prabu.”

“Mengapa kau memilih puteriku untuk kau lukis, Kisanak? Hingga kau rela jauh-jauh datang ke tanah Sunda ini…”

“Daulat, Prabu. Mohon ampun jika hamba dipandang lancang meminta izin kepada Paduka untuk melukis keindahan Puteri Dyah Pitaloka. Semua ini tidak lepas dari keinginan hamba untuk membuktikan kabar burung yang beredar selama ini di seluruh pelosok Nusantara…”

Sambil mengerenyitkan dahi, Prabu Maharaja Linggabuana memotong perkataan Sungging Prabangkara, “Kabar burung apa itu, Kisanak? Apakah ada yang tidak benar dari keluargaku? Apakah ada kabar nyinyir tentang Kerajaan Sunda Galuh ini?!”

“Daulat, Prabu. Mohon ampun sekali lagi, hamba dapat menjamin bahwa tidak ada kabar miring sedikit pun tentang Kerajaan Sunda Galuh maupun tentang keluarga Paduka,” jawab Sungging Prabangkara dengan menenggelamkan wajahnya.

“Lalu?!”

“Mohon ampun beribu ampun sekali lagi, Paduka. Hal yang mengusik hamba hingga memberanikan diri untuk memohon izin dari Paduka adalah kabar tentang kecantikan Puteri Dyah Pitaloka yang tersohor hingga ke seluruh Nusantara. Selain hamba ingin membuktikannya, hamba juga ingin mengabadikannya melalui goresan alat lukis hamba ini,” jelas Sungging Prabangkara.

“Tetapi,” lanjutnya, “jika memang hamba tidak diizinkan dan dipandang tidak pantas untuk mengabadikan Puteri Dyah Pitaloka ke dalam sebuah lukisan, hamba mohon kepada Paduka untuk diizinkan menyaksikan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka. Hamba memohon ampun dan kebijaksanaan Paduka atas kelancangan hamba ini. Semua semata untuk menghapuskan rasa penasaran yang selama ini terpendam di dalam benak hamba.”

Prabu Maharaja Linggabuana tampak tercenung. Dia tahu bahwa kecantikan puterinya telah mampu menggoyang Nusantara. Namun, dia tidak mengira ada orang yang nekad memohon kepadanya untuk mengabadikan kecantikan puterinya itu. Dan kini, di hadapannya, orang itu sedang menghadapnya.

“Kisanak, diizinkan atau tidak, aku tidak dapat memutuskannya. Semua harus mendapatkan persetujuan dari puteriku. Tetapi ingat, Kerajaan Sunda Galuh selalu menerima tamu dengan tangan terbuka selama dia jujur dan tidak memiliki keinginan macam-macam terhadap kerajaan ini. Apakah kau mengerti?!”

“Daulat, Prabu. Hamba hanya dapat menjawab, hamba tidak memiliki keinginan macam-macam di kerajaan yang makmur ini. Kedatangan hamba di tanah Sunda ini hanya untuk menghapuskan rasa penasaran hamba, tidak lebih dari itu, Paduka. Dan jika memang nantinya Puteri Dyah Pitaloka berkenan untuk diabadikan ke dalam sebuah lukisan, hamba siap untuk melakukannya,” terang Sungging Prabangkara.

“Baiklah. Kau tunggu di sini. Aku akan menanyakannya terlebih dulu kepada puteriku,” balas Prabu Maharaja Linggabuana sambil beranjak dari singgasananya.

Cukup lama juga Sungging Prabangkara menunggu izin dari Sang Puteri Kerajaan Sunda Galuh. Tetapi dia memang harus bersabar. Karena memang pasti tidaklah mudah untuk mengambil keputusan yang sulit itu. Jika hanya untuk menyaksikan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka, semua orang dapat melakukannya. Tetapi, untuk mengabadikannya di dalam lukisan, pasti membutuhkan pemikiran yang dalam.

Sungging Prabangkara mulai tidak nyaman dengan keadaan ini. Sendiri di tengah pendapa istana dan diawasi oleh prajurit penjaga istana merupakan sesuatu yang belum pernah dia alami. Namun tekadnya memang sudah bulat. Satu di antara dua pilihan yang diajukannya kepada Sang Prabu, pastilah dapat dipenuhi. Dan jika dia beruntung, mungkin kedua pilihan yang telah disodorkannya itu dapat menjadi kenyataan. Seniman muda itu hanya dapat berdoa dan menunggu…

Beruntung penantiannya tidak terlalu lama lagi. Dari dalam istana menuju ke arah pendapa, dilihatnya sosok seorang perempuan muda tengah diapit oleh para dayang. Di belakangnya tampaklah sang Prabu dan sang permaisuri mengikuti langkah rombongan sang puteri. Seolah menandakan bahwa perempuan muda yang diapit oleh para dayang itu memiliki nilai yang lebih jika dibandingkan dengan harta kerajaan lainnya.

Wajah perempuan muda itu tampak memancarkan aura kecantikan, meski masih diselubungi dengan sehelai kain. Hal yang dapat dipastikan akan menambah rasa penasaran bagi siapa pun yang menyaksikannya. Termasuk Sungging Prabangkara yang merasa detik demi detik waktu berjalan dengan lambatnya.

Setelah duduk di singgasana, dan sang Puteri duduk pada dampar kencananya, Prabu Maharaja Linggabuana angkat suara, “Baiklah, Kisanak. Apa pun yang diputuskan puteriku dapat kau dengar sendiri sekarang.”

Makin berdebar derap jantung Sungging Prabangkara. Jika memang diperbolehkan untuk melakukan sesuatu untuk menutupi kegugupannya, pastilah akan dia lakukan.

“Kisanak,” sebuah suara merdu dan indah terdengar di indera pendengaran, muncul dari wajah yang diselubungi sehelai kain itu.

“Sebelum aku menjawab apa yang kau utarakan kepada Ayahanda Prabu tadi, aku ingin mendengarkannya langsung darimu.”

Dengan sikap hormat, Sungging Prabangkara menyampaikan maksud kedatangannya kepada Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi. Singkat dan jelas, tanpa ada basa-basi sedikit pun.

“Jadi begitu,” ujar Dyah Pitaloka.

“Jika engkau aku izinkan untuk sekadar melihatku saja, apakah kau sudah cukup puas?” lanjutnya dengan masih menyembunyikan wajahnya dari balik sehelai kain.

Sambil mengangguk, Sungging Prabangkara menjawab, “ Daulat, Tuan Puteri.”

“Lalu,” imbuh Sang Puteri, “jika kau aku izinkan untuk melukisku, apakah kau juga cukup puas?”

Terhentak dengan pertanyaan menukik dari Puteri Dyah Pitaloka, Sungging Prabangkara terdiam. Dia tidak mampu menjawabnya karena tidak dapat menguasai keterkejutannya, meski sebenarnya hal itulah yang menjadi keinginannya. Sungging Prabangkara hanya dapat mengangguk pelan dengan tidak meninggalkan sikap hormatnya.

Pada sisi lain, dari balik selimut kainnya, Dyah Pitaloka Citraresmi dapat menangkap ketampanan pria yang ingin melukisnya itu. Dia tidak tahu rasa apa yang tengah dia alami saat ini. Dia hanya tahu hatinya tergetar dan detak jantungnya bergemuruh. Bahkan, jika dia tidak pintar menutupinya, semua orang yang ada di pendapa itu dapat menangkap sinyal jiwanya yang tengah terguncang itu.

Prabu Maharaja Linggabuana yang menangkap keterkejutan Sungging Prabangkara ikut angkat suara. Dengan suara yang bijak dan santun, dia berkata, “Kisanak, jawab pertanyaan puteriku itu.”

“Daulat, Paduka. Daulat, Tuan Puteri,” jawab Sungging Prabangkara dengan suara yang tercekat.

Di dalam hatinya, meski mengharapkan, Sungging Prabangkara menyesali kenekadannya itu. Dia tidak mengira bahwa keinginannya itu membuatnya menghadapi sebuah masalah baru. Dia tidak mengira bahwa keinginannya itu justru membuatnya tidak mampu untuk menghadapi gejolak jiwa.

“Baiklah, Kisanak. Aku memperbolehkan dan mengizinkan kau untuk melukisku. Sekarang, dalam keadaan seperti apa kau ingin melukisku?” tanya Puteri Dyah Pitaloka sambil membuka selubung kain dari wajahnya.

Tercekat dan terkejut Sungging Prabangkara melihat kenyataan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya dia memiliki gambaran akan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka, kini semuanya berguguran. Dia tidak mengira bahwa kecantikan sang Puteri jauh lebih indah dari bayangannya. Dia tidak mengira bahwa kecantikan sang Puteri mungkin hanya bisa disejajarkan dengan para bidadari di Kahyangan.

Sungging Prabangkara terdiam. Begitu pula dengan Dyah Pitaloka yang tidak mampu lagi menutupi keterkejutannya melihat ketampanan Sungging Prabangkara. Di dalam hatinya, Dyah Pitaloka mengakui ketampanan seniman muda itu tidak seperti perkiraannya dan membandingkannya dengan ketampanan Prabu Maharaja Linggabuana.

Alhasil, wajah keduanya tidak terpaut jauh ketampanannya. Memang pada wajah Prabu Maharaja Linggabuana kini ditumbuhi kerutan-kerutan, tetapi tetap saja tidak menghilangkan jejak ketampanannya ketika muda. Mungkin, jika usia antara Prabu Maharaja Linggabuana dengan Sungging Prabangkara tidak terpaut jauh, semua orang yang melihatnya akan mengira mereka kakak-beradik.

“Siapa pemuda ini? Dan mengapa ketampanannya menyerupai sang Prabu? Juga adikku, Niskala?” batin Dyah Pitaloka.

Meski hening, aura keterkejutan yang muncul dari Dyah Pitaloka dan Sungging Prabangkara tidak dapat tertutupi. Bagi orang yang memiliki kemampuan lain, mereka akan dapat menangkap aura itu. Namun, bagi orang yang tidak memiliki kemampuan lain, mereka hanya dapat menangkap dari isyarat wajah keduanya.

“Kisanak. Jawab pertanyaan puteriku tadi. Jangan kau diam membisu seperti itu,” sergah Prabu Maharaja Linggabuana.

Sambil mencoba menguasai keadaan, Sungging Prabangkara pun menjawab, “Daulat, Paduka, Tuan Puteri. Mohon ampun beribu ampun jika hamba terdiam seperti ini. Bukan berarti hamba tidak menghormati, tetapi jujur saja hamba tidak dapat menguasai diri seketika begitu mengetahui bahwa kecantikan Tuan Puteri hanya dapat disandingkan dengan para bidadari di Kahyangan.

“Hamba yang tadinya sudah memiliki gambaran sejauh mana kecantikan Tuan Puteri tetap saja dibuat terkejut. Hamba tidak mengira bahwa kecantikan Tuan Puteri jauh lebih indah jika dibandingkan dengan gambaran hamba tadi. Dan hamba tidak dapat menguasai diri ketika mengetahui bahwa gambaran hamba itu ternyata salah besar.

“Mohon ampun beribu ampun, Paduka. Bukan berarti hamba tidak sopan, tetapi karena keterkejutan hamba ini yang membuat hamba tidak dapat berkata-kata,” urainya.

Prabu Maharaja Linggabuana manggut-manggut. Begitu pula dengan sang permaisuri.

“Mohon ampun beribu ampun, Paduka. Dan mohon ampun beribu ampun, Tuan Puteri. Jika hamba memang diizinkan untuk mengabadikan kecantikan Tuan Puteri, sudilah kiranya Tuan Puteri tetap duduk di dampar kencana untuk hamba lukis. Dan sudilah kiranya pula Tuan Puteri untuk bersabar ketika hamba belum selesai menggoreskan alat lukis hamba di atas lembaran kain ini,” terang Sungging Prabangkara.

“Baiklah. Kau dapat memulainya sekarang,” kata Prabu Maharaja Linggabuana.