Sabtu, 21 Maret 2009

Demokrasi

Wajarnya sebuah demokrasi membawa kebaikan bagi orang-orang yang menerapkannya. Demikian analogi ringan yang disampaikan salah seorang sahabat saya. Pasalnya, tambah sahabat saya itu, demokrasi pastilah mengarah pada kesejahteraan.
Sekali lagi, itu kata seorang sahabat saya. Dan, saya pikir, hal ini realistis untuk dia ungkapkan. Sebab, memang, pada dasarnya, pada semua teori sosial apapun, demokrasi merupakan salah satu sarana untuk menuju pada sebuah tujuan akhir, yang bernama kesejahteraan.
Sehingga, tidak salah rasanya, semua negara yang katanya menganut demokrasi, menerapkan kesejahteraan sebagai tujuan akhir yang harus dirasakan masyarakat atau warga negara di dalamnya. Tidak ada yang salah!
Tetapi, jika mengutip apa yang pernah disampaikan Wakil Wali Kota Blitar, Ir. H. Endro Hermono, MBA, dalam tulisannya beberapa waktu lalu, teori tidaklah seindah dan semudah di dalam praktiknya. Tidaklah semudah membalikkan telapak tangan!
Benar adanya ungkapan demikian. Terlebih, jika melihat dalam konteks Indonesia. Teori penerapan demokrasi Indonesia memang diarahkan pada kesejahteraan warga negaranya. Jika Anda tidak percaya, coba saja simak amanat Pembukaan UUD 1945.
Namun, dalam kenyataannya, menjelang 64 tahun usia NKRI, kesejahteraan umum itu, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, masih jauh dari kenyataan. Jauh panggang daripada api! Masih jauh di awang-awang, meminjam istilah Wakil Wali Kota Blitar.
Bahkan, masih ditambahi dengan embel-embel, tidak akan mungkin hal itu terwujud. Pasalnya, di dalam kenyataan yang terjadi saat ini, yang kaya, semakin kaya. Dan, sebaliknya, yang miskin, semakin miskin.
Pertanyaannya adalah, mengapa demikian? Apakah ada yang salah dengan demokrasi yang diterapkan di Indonesia? Atau, ada kendala-kendala lain yang signifikan dengan perwujudan demokrasi ala Indonesia? Ataukah... ataukah... dan ataukah yang lainnya!
Ironisnya, pertanyaan-pertanyaan itu mempunyai deretan jawaban yang tidak akan cukup diuraikan di sini. Bahkan, jika mau diurai, tidak akan cukup waktu di dalam hidup kita untuknya. Semua terpilin dan terjalin menjadi satu, bak benang kusut yang menggumpal.
Tetapi, di atas itu semua, saya adalah bagian dari gelintir orang yang masih meyakini bahwa demokrasi ala Indonesia pasti dapat diterapkan dengan baik untuk mewujudkan mimpi menciptakan kesejahteraan umum tersebut.
Langkah pertama yang mungkin saja dapat dilakukan adalah dengan cara memilih pemimpin yang benar. Memilih pemimpin yang memang dekat dan memiliki kepedulian besar akan nasib masyarakat yang diwakilinya.
Dan, mumpung, kita semua tengah dalam euforia pesta demokrasi, langkah pertama ini harus segera direalisasikan. Nasib kita selama lima tahun mendatang, harus jelas mengalami peningkatan. Jangan sampai tergadaikan dengan "kenikmatan sesaat".
Janji para calon pemimpin kita, di kursi legislatif dari tingkat daerah hingga nasional; juga janji calon presiden dan wakil presiden kita, catatlah dengan baik. Pertimbangkan mana yang realistis demi mewujudkan kesejahteraan umum, yang menjadi prasyarat mereka untuk memimpin.
Jangan pilih yang muluk-muluk. Yang dapat terukur dan dapat ditagih janjinya pula saja, yang nanti kita pilih. Eliminasi para petualang demokrasi dan orang yang ingin memanfaatkan demokrasi kita. Mulai dari yang terkecil. Mulailah dari Kota Blitar.
Jika itu sudah terjadi, maka bolehlah kita berharap dari demokrasi ala Indonesia ini. Ingat, perubahan adalah keniscayaan di dalam demokrasi!

*Diterbitkan di Cakrawala edisi April 2009

Peluang

Peluang akan berlipat ganda saat mereka diraih. Begitu kata Sun Tzu, tokoh ternama Cina abad 6 SM mengatakan. Atau, mungkin petuah bijak peninggalan jenderal ternama di dalam buku sejarah bangsa Cina.
Peluang, kata inilah yang seharusnya menjadi perhatian Pemkot Blitar, di tengah semakin mendesaknya batas waktu untuk mewujudkan visi dan misinya, baik di dalam Renstrada maupun RPJMD II Kota Blitar.
Banyak capaian yang sebenarnya telah melebihi target di dalam dua dokumen perencanaan daerah tersebut. Tetapi, janganlah ini dianggap sebagai sesuatu yang dapat dikatakan sebagai garis finish pembangunan daerah.
Ada baiknya capaian dan keberhasilan tersebut dianggap sebagai peluang. Peluang untuk lebih meningkatkan kualitas, dan juga kuantitas capaian. Atau, jika hanya sebatas berpikir buruk, jadikan ini sebagai peluang untuk menutupi dan menambal sulam sejumlah kekurangan yang ada.
Namun, akan lebih baik, jika peluang ini juga digunakan untuk lebih melecut diri, agar kekurangan yang ada; atau semua hal yang harus disempurnakan, menjadi lebih diminimalisasi hingga ke titik yang paling rendah. Ke titik nol.
Terlebih, waktu yang tersisa, walaupun hanya sedikit masih memungkinkan untuk berbuat itu. Satu tahun lebih, apapun dapat terjadi. Sebab, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi di sisa waktu yang ada.
Tetapi, janganlah ini dianggap sebagai sesuatu yang ringan, demikian pula dengan sesuatu yang berat. Pembangunan Kota Blitar dapat dikatakan sudah running well. Tidak terlalu meleset dari perencanaannya.
Sekarang, tinggal bagaimana kita semua memandang peluang itu. Mau dimanfaatkan atau tidak, semua itu bergantung kepada Anda, wahai para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan di Kota Blitar.
Ingat, waktu terus berjalan, tidak akan pernah berhenti hingga sang waktu sendiri yang sudah lelah untuk berjalan dan berhenti pada waktunya nanti. Gunakanlah satu tahun lebih ini sebagai peluang untuk berbuat yang lebih baik lagi, demi daerah; demi nusa; demi bangsa; dan demi NKRI. Bisa, kan? Yakinlah kita semua bisa!

Amuk

Secara jujur, tadinya editorial ini akan saya beri judul protes kembali. Tetapi, setelah ditimbang-timbang, kok, sepertinya kurang pas. Akhirnya, terlintas judul di dalam otak saya, ya, seperti yang sudah saya tulis di atas.
Jujur saja, saya kembali terkejut, fenomena protes yang tengah menjadi tren di dunia ini, akhirnya, melalui tangan-tangan orang Indonesia, menimbulkan korban jiwa yang, meski hanya satu orang, tetapi menimbulkan sebuah keironisan.
Sebab, sekali lagi kekerasan menjadi sebuah jawaban atas sebuah permasalahan. Jika mungkin istilah kekerasan menjadi kurang pas di dalam pandangan Anda semua; mungkin istilah amuk-lah yang menjadikannya pas.
Benar, protes yang kemudian berubah menjadi amuk, menelan korban jiwa Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat, beberapa waktu lalu. Meski bukan karena "amuk massa" tersebut, tetapi diyakini peristiwa ini memicu penyakit jantung yang diidapnya.
Setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan seterusnya di dalam konteks kekinian, bangsa ini seolah menjadikan amuk, sebagai klimaks dari protes; atau unjuk rasa; atau demonstrasi dan perjuangan yang dilakukannya.
Amuk menjadi jawaban dari masalah yang tengah diperjuangkannya. Tidak peduli melanda siapapun dan dilakukan oleh siapapun. Kekerasan seolah-olah harus ditegakkan, demi mempertahankan pendapat. Demokrasi seolah-olah harus disertai dengan anarkisme.
Padahal, protes atau unjuk rasa atau demonstrasi adalah sarana yang tepat untuk menunjukkan ekspresi ketidakpuasan atas sebuah kebijakan yang ditetapkan. Protes/unjuk rasa/demonstrasi merupakan sebuah senjata yang ampuh untuk mengkritisi kebijakan yang tidak tepat.
Lihat saja deretan "people power" yang tercatat dalam sejarah bangsa dan negara ini. Hampir semuanya tertuju pada kritisasi kebijakan para pemimpin negeri, dan bahkan, malahan untuk mengkritisi pola kepemimpinan mereka yang dianggap tidak cocok dan melukai hati rakyat.
Tujuannya dapat dianggap sebagai suatu yang mulia. Dan, bahkan, malahan dianggap sebagai awal mula dari sebuah orde pemerintahan yang akan dijalankan. Orde yang dianggap pasti akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Meski, jika mau jujur, "people power" tersebut tetap juga akan menelan korban jiwa.
Hanya, jika mau jujur, di dalam pandangan saya, apa yang terjadi di Sumatera Utara adalah sebuah kekonyolan. Perjuangan pemekaran wilayah yang dilakukan sejak lama, memang menimbulkan frustasi bagi mereka yang melakukan perjuangan tersebut.
Tetapi, seharusnya tidak menggunakan cara-cara yang represif. Sebab, perjuangan pemekaran wilayah yang terjadi selama ini, selalu dilakukan secara damai, meski masih berujung pada kepentingan politis semata, dan tidak membawa perubahan pada sisi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang berjuang dan berkorban, namun elit politik yang merasakannya.
Mau diakui atau tidak, inilah potret yang terjadi di negeri ini dalam konteks kekinian. Frustasi atas kemandegan yang terjadi di era otonomi daerah dan reformasi ini, yang juga akibat ulah para elit politik, harus disalurkan melalui kekerasan. Bak kotak pandora yang terbuka.
Nasionalisme Indonesia yang perlahan-lahan meluntur, digantikan dengan rasa chauvanistik yang menjulang. Pemekaran wilayah tidak dianggap sebagai upaya di dalam memperkuat rasa persatuan dan kesatuan Indonesia yang berbasis atas kearifan lokal, tetapi hanya dipandang sebagai upaya untuk bagi-bagi "kue kekuasaan" belaka. Paradoks dan ironis.
Sampai kapan hal ini terus terjadi? Sampai kapan kecarut-marutan yang ada di negeri ini terus berjalan? Sampai kapan... sampai kapan... dan sampai kapan lainnya! Saya hanya dapat terus-menerus menggelengkan kepala.
Untungnya saja hal ini tidak berlaku di Kota Blitar. Komitmen atas persatuan dan kesatuan Indonesia dapat terwujud dengan baik di sini. Tetapi, maafkan jika saya berpikir buruk, ketika proses demokratisasi berubah menjadi kemandegan di sini, akankah salah seorang, atau malahan banyak elit politik di Kota Blitar, dan belahan Indonesia lainnya, bernasib sama dengan Abdul Aziz Angkat?

*Diterbitkan di Cakrawala edisi Maret 2009

Protes (2)

Lagi-lagi saya menulis tentang masalah protes di dalam editorial ini. Tetapi, sekali lagi saya ingatkan, ini bukan hanya sekadar bentuk protes saya. Melainkan karena masalah ini seolah sudah menjadi fenomena tersendiri di dunia, dalam konteks terkini.
Ya, fenomena tersendiri di masa-masa awal tahun 2009 ini. Fenomena, yang tragisnya, menerpa sisi kebesaran sejarah bangsa Indonesia, di satu sisi. Ya, kabar tentang semrawutnya implementasi pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Mojokerto. Jika bicara yang ini, maka saya juga termasuk salah seorang yang ikut protes. Bukan karena masalah apa, saya hanya teringat pemeo: bangsa yang besar adalah bangsa yang juga menghargai (kebesaran) sejarah bangsanya.
Dan, memang, sudah tidak dapat lagi dipungkiri mengenai kebesaran Kerajaan Majapahit dan pengaruhnya di dalam membentuk karakter bangsa. Tetapi, kini, dalam kenyataannya, begitu mudah peninggalannya diobrak-abrik. Oleh pemerintah, lagi!
Karena itulah, bukan sekadar romantisme sejarah belaka, jika saya dan mungkin jutaan orang yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia ikut mengajukan protes mengenai hal ini. Kaji ulang pembangunan PIM, itulah intinya!
Dan, bersyukur pula, pemerintah mau mendengarkan, sehingga masalah pembangunan PIM ini dapat ditunda terlebih dahulu untuk melakukan kaji ulang. Sehingga, diharapkan, nilai-nilai yang terkandung dari peninggalan Majapahit tidak sirna dan menjadi bekal kepada generasi penerus, untuk lebih menghargai lagi bangsa dan negara mereka yang sejak nenek moyang dahulu sudah diakui kebesarannya.
Satu lembar telah ditutup dengan hasil yang lumayan, meski di dalam sudut hati saya yang lain, saya juga menyimpan kekhawatiran dengan rencana Pemkot Blitar di dalam melakukan revitalisasi Kawasan Wisata PETA Blitar. Kalimat: "jangan-jangan kawasan itu juga akan bernasib sama dengan peninggalan Kerajaan Majapahit," terus terngiang di telinga saya.
Sehingga, saya secara langsung dan tidak langsung, terus mengingatkan agar jangan sampai revitalisasi tersebut akan mengalami nasib yang sama dengan PIM. Kajian menyeluruh dari semua aspek, terutama dari segi historis , saya rasa juga perlu untuk dilakukan.
Tidak hanya sekadar masterplan yang sekarang ini tengah beredar.
Tidak hanya sekadar mengejar target waktu, dan menyingkirkan filosofi dan gelora semangat para pahlawan PETA Blitar. Tidak hanya... tidak hanya... dan sejumlah tidak hanya lainnya.

Mengapa demikian? Sungguh, kekhawatiran saya ini hanya dilandasi pemikiran negatif: jangan sampai masyarakat Kota Blitar dicap buruk dengan kalimat, "warga bangsa yang tidak bisa menghargai jasa para pahlawannya!" Titik.
Sedih rasanya jika harus mendengar tangis para pahlawan PETA Blitar di dalam kubur sana. Dan, sedih pula jika saya harus mendengar tangis Shodancho Soeprijadi, yang entah di mana keberadaannya, jika tahu bahwa revitalisasi Kawasan Wisata PETA Blitar senasib dengan pembangunan PIM sebelum dihentikan oleh pelakunya sendiri (pemerintah).
Sedih... sedih... dan saya hanya dapat mengelus dada sambil memijat kepala yang pusing melihat perilaku generasi penerus bangsa yang semaunya sendiri dan tidak menghargai jasa para pendahulunya. Bagaimana dengan Anda?

*Diterbitkan di Cakrawala edisi Februari 2009

Protes (1)

Mungkin Anda terkejut membaca judul editorial kali ini. Ya, kata protes, pasti memunyai konotasi yang tidak baik di dalam pikiran Anda semua. Saya memakluminya, seperti halnya, mungkin, Anda semua juga memakluminya.
Tetapi, tunggu dulu. Lihat dan simak dengan baik-baik, ke mana arah editorial ini akan menuju. Jangan secara parsial mengartikan editorial ini. Sebab, jika Anda memandangnya dari sudut yang parsial, maka akan terasa kontroversial.
Lembar ini akan saya buka dengan mengenang kembali sejumlah peristiwa daerah, nasional, hingga internasional, yang berujung pada dua persitiwa besar yang terjadi pada tahun 2008. Fenomena Barrack Husein Obama; dan peristiwa "sepatu terbang".
Fenomena pertama, tidak akan saya ulas secara terperinci, karena mungkin Anda semua juga adalah pihak-pihak yang "terhipnotis" fenomena tersebut. Sehingga, mungkin saja, Anda semua tergolong ke dalam "Obamania", untuk merujuk kepada para pendukung Presiden AS pertama dari kalangan kulit hitam tersebut.
Dan, yang memang, benar akan saya bahas di sini adalah peristiwa "sepatu terbang" yang mengenai Presiden AS sebelum Obama, George Walker Bush, atau George Bush Junior. Peristiwa mengejutkan yang juga menjadi kado "indah" bagi George Bush Junior di akhir masa jabatannya.
Adalah Muntazer Al-Zaidi, seorang wartawan asal Irak yang "menghadiahkan sepatu terbang" tersebut, dan dalam jangka waktu cepat, namanya menjadi buah bibir di seantero dunia. Bukan apa-apa, bentuk protes Al-Zaidi atas kesewenang-wenangan AS di negaranya, Irak, dilakukan dengan cara yang tidak lazim. Bayangkan, "pemimpin dunia" menjadi target lemparan sepatu. Sekali lagi, tidak lazim, dan mungkin juga memalukan bagi Bush Junior!
Ya, jika dilihat memang tidak lazim. Melemparkan sepatunya ke arah wajah presiden negara superpower, merupakan sesuatu yang berbeda dan telah dilakukan Muntazer Al-Zaidi, jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk protes lainnya, seperti unjuk rasa atau demonstrasi.
Sepatu menjadi senjata. Bukan spanduk, selebaran, dan lain sebagainya, untuk menunjukkan rasa protesnya. Cara yang, sekali lagi, amat tidak lazim. Tetapi, mampu mencuri perhatian, dan bahkan, mungkin, nantinya akan diikuti oleh, entah, berapa orang lagi.
Namun, bukan itu (melempar sepatu sebagai bentuk protes) yang akan saya ajak Anda semua untuk merenung. Melainkan, lebih pada substansinya: bahwa di dalam melakukan protes, orang dapat melakukan apa saja. Terlebih, jika objek yang diprotes itu telah mengundang kebencian yang mendalam.
Perilaku pelaku protes juga pastilah tidak dapat diredam. Mereka sudah "gelap mata" untuk mempertahankan apa yang menjadi aspirasi mereka.
Tetapi, dari sini kita dapat belajar, jika berbuat sesuatu yang tidak adil, khususnya bagi para pejabat, Anda siap-siap saja menerima bentuk protes tak lazim, dan bahkan, memalukan diri Anda.
Karena itulah, jika tidak ingin kena lemparan sepatu, bahkan mungkin wajan, panci, dan lain sebagainya, wahai para pejabat, bertindak-adillah dan ingat atas tujuan Anda diberikan amanat oelh rakyat, yaitu demi mengelola yang dimiliki masyarakat guna kesejahteraan mereka pula. Rasanya hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang. Titik! Bagaimana dengan Anda, wahai para pejabat Kota Blitar (dan Indonesia)?

*Diterbitkan di Cakrawala edisi Januari 2009