Rabu, 29 Oktober 2008

Tanggung Jawab

Negeri yang rakyatnya hanya mau menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya, tidak memiliki kemauan dan melakukan kemauan itu dengan tanggung jawab penuh....
Demikian yang disampaikan Drs. Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI I. Sebuah pesan yang "telak" ditujukan kepada semua aparatur pemerintah, dari tingkat pusat hingga daerah, jika kita mau mencernanya.
Mengapa demikian? Sebab, mau diakui atau tidak, pemerintah, merupakan "aktor utama" dan memiliki peran yang besar di dalam mengelola semua "kekayaan" negara, pun daerah, demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Dan, di balik sebuah pengelolaan, pasti juga terkandung makna pertanggungjawaban di sana. Mulai dari proses perencanaan hingga evaluasinya, harus dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Di hadapan masyarakatnya.
Mengapa demikian? Sebab, hal ini akan menjadi indikator pelaksanaan pembangunan daerah dalam masa satu tahun berjalan. Dari sana dapat diukur sejauh mana efektivitasnya. Apa yang telah dilakukan; inovasi apa yang telah terjadi; serta apa yang menjadi kekurangannya.
Dari sana pula, dapat menjadi sebuah cermin. Apa yang harus dilakukan pada tahun mendatang, sekaligus menyempurnakan kekurangan-kekurangan di dalam proses pembangunan daerah tahun sebelumnya. Semua dicurahkan demi mengejar sasaran yang telah disepakati bersama.
Tentu saja tidak ada yang objektif di dalam menilai pertanggungjawaban tersebut. Tetapi, patut diingat, komitmen bersama untuk menjalankan semua proses pembangunan daerah haruslah berada di atas segalanya.
Pertanggungjawaban, pada prinsipnya, bukanlah sarana untuk mengadili si pelaksana kebijakan. Dia hanyalah sebuah sarana untuk merefleksikan kemampuan dan kekurangan pelaksanaan pembangunan daerah. Dia hanyalah sebuah sarana yang harus menunjukkan sebuah keberlanjutan. Di adalah sarana untuk mengukur efektivitas pembangunan daerah di masa itu.
Karena itulah, akan lebih bijak dan lebih baik, jika kita mau mempelajari secara jeli pertanggungjawaban tersebut. Berilah masukan yang objektif, baik saran, kritik ataupun solusi dari apa yang telah terjadi pada proses pembangunan tahun lalu. Jadikan itu sarana untuk lebih meningkatkan partisipasi kita semua di dalam pembangunan daerah.
Bagi pemerintah, pertanggungjawaban ini haruslah mencerminkan rasa keadilan dan objektivitas. Katakan dengan jujur mana saja hal-hal yang membutuhkan partisipasi masyarakat. Dan, katakan pula apa saja yang menjadi kendala di dalam pelaksanaan proses pembangunan daerah itu.
Jika pemerintah dan para pemegang kebijakan sudah mau jujur, ada baiknya pula masyarakat menyadarinya dan mengulurkan tangannya untuk membantu. Hakekat sistem manajemen pembangunan partisipatif akan berjalan jika hal ini dapat dilakukan.
Pertanggungjawaban, sekali lagi, bukanlah sarana untuk mengadili. Tetapi, dia adalah cermin bagi kita semua, cermin sampai sejauh mana kita mau peduli terhadap pembangunan daerah. Bukankah hasil pembangunan itu akan dinikmati oleh kita semua?

"Laskar Pelangi"

Mungkin Anda terkejut membaca judul editorial saya kali ini. Mungkin di antara Anda yang berkomentar bahwa saya latah dengan fenomena film "Laskar Pelangi" yang tengah ditayangkan di bioskop-bioskop di hampir seluruh wilayah Indonesia. Atau, novelnya yang telah lebih dulu menghentak!
Tetapi, harus saya tegaskan di sini, bahwa secara jujur saya terangkan, saya belum pernah menonton film tersebut, mungkin dikarenakan di Kota Blitar tidak terdapat satu pun bioskop di masa kini; dan bahkan, saya belum pernah membaca novelnya. Namun, bukan berarti saya tidak mengikuti perkembangan zaman.
Namun, saya harus jujur, saya patut berterima kasih dan mengapresiasi karya brilian anak bangsa Indonesia, seperti Andrea Hirata, si pengarang novel Laskar Pelangi; dan Riri Riza serta Mira Lesmana yang mengangkat novel tersebut ke layar bioskop.
Namun, bukan hal itu yang akan saya sampaikan melalui ruang yang sempit ini. Terus terang, saya tergelitik dan terinspirasi dengan sebuah artikel di sebuah surat kabar harian nasional, yang mengangkat judul "Laskar Pelangi" Politisi Harus Menangis, guna saya angkat di dalam ruang ini.
Sedikit petikan tulisannya saya sampaikan di sini: "Pelangi adalah rakyat. Rakyat perlu didengar. Dalam berbagai dialog, pejabat pemerintah ingin dimengerti rakyat. Maka, pejabat diberi waktu bicara, banyak menjelaskan. Rakyat hanya mendengar penjelasan. Untuk menangkap aspirasi rakyat, dengarkanlah rakyat. Supaya bisa mendengar, diamlah jangan banyak bicara (Kompas, 8 Oktober 2008)."
Maka, jika diambil sebuah analogi, "laskar pelangi" adalah laskar rakyat. Rakyat Indonesia, pastinya. Laskar yang selama ini, jika mengacu pada petikan tulisan di atas, hanya selalu diposisikan sebagai pendengar. Sebagai penonton bagi para pejabat pemerintahan.
Dan, calon pejabat pemerintahan pula.
Lho, ada apa dengan pejabat dan calon pejabat pemerintahan? Anda mungkin akan bertanya-tanya. Baiklah, dengan analogi bahwa pemerintahan saat ini, yang terdiri dari lembaga eksekutif dan legislatif, secara nasional akan memasuki masa paripurna tugasnya pada tahun 2009 mendatang, apa yang tengah terjadi pada bulan-bulan terakhir ini?
Dapat dipastikan mereka tengah menyiapkan sebuah strategi untuk "merengkuh" pelangi tersebut. Caranya juga seragam. Dengan kampanye yang simpatik. Memampangkan senyum yang penuh dengan ketulusan –kelihatannya.
Semua senyum dari wajah yang seolah tulus itu dipampangkan melalui medium yang dapat dilihat "laskar pelangi". Dan semua seolah-olah dibuat dengan seindah mungkin, meski dalam kenyataannya justru "merusak" keindahan!
Semua mencoba meraih simpati dari "laskar pelangi". Meski nantinya, setelah mereka menjadi pejabat pemerintahan, dapat dipastikan meninggalkan dan melupakan "laskar pelangi" yang terkena "hipnotis" dengan cara memberikan dukungan kepada mereka.
Dan, mau diakui atau tidak, inilah konsekuensi demokrasi "pesta-pora" yang tengah berlaku di negeri ini. Demokrasi formalitas yang tidak (atau belum) menyentuh substansi, bahwa demokrasi hanyalah sekadar alat untuk mencapai tujuan bersama: kesejahteraan masyarakat!
Maka, wajar adanya jika di dalam masa kampanye "bak ibu yang sedang mengandung"; selama lebih-kurang sembilan bulan ini, tidak ada satu pun dari calon pejabat pemerintahan itu yang tidak menebar pesona. Tidak main-main, dalam menebar pesona tersebut, mereka pukul rata; tidak pakai prinsip tebang pilih, seperti halnya penegakan hukum di bidang korupsi!
Tidak peduli negara tengah terimbas krisis akibat ketamakan neo-liberalisme. Tidak peduli negeri ini terus-menerus dirundung kemalangan. Mereka akan tetap menebar pesona. Menjelma menjadi "selebritis-selebritis" lokal hingga nasional, menyaingi selebritis aslinya. Semua dilakukan demi kepentingan mereka dalam jangka pendek, dengan mengatasnamakan upaya "merengkuh" pelangi.
Padahal, sebenarnya, "laskar pelangi" tersebut sudah jenuh dengan perilaku mereka. Pencitraan mereka tidak begitu masuk ke dalam alam sadar "laskar pelangi" dan tidak mampu menggerakkan mereka secara keseluruhan untuk mendukung para calon pejabat pemerintahan.
Mengapa demikian? Sebab, "laskar pelangi" itu kini sadar bahwa mereka akan tetap menjadi "laskar pelangi" seperti gambaran Andrea Hirata di dalam novelnya. Toh, seusai "pesta" digelar, semua orang akan melupakan apa yang ada dan terjadi di dalam "pesta" tersebut.
Maka, jangan salahkan jika "laskar pelangi" itu nantinya akan "bergerak" dan menghukum mereka, dengan cara tidak memilih para calon pejabat pemerintah yang selama ini tidak berpihak kepada "laskar pelangi". Pesan saya: "laskar pelangi", bola itu sekarang berada di tangan Anda. Genggamlah dan gunakan dengan sebaik mungkin. Majulah "laskar pelangi"!

* Dimuat di dalam bulletin Cakrawala edisi November 2008