Rabu, 27 Februari 2013

PALAGAN BUBAT (PROLOG)

Ratusan kapal karam di tengah lautan di ujung utara pulau Jawa. Begitu pula dengan kapal-kapal yang karam dan tercabik-cabik di dekat Pelabuhan Canggu. Tidak terhitung pula berapa nyawa melayang dari raganya dan diiringi oleh tangis, teriakan meregang nyawa, dan hembusan nafas terakhir.

Hari yang semestinya jadi hari bahagia dan mungkin saja menjadi awal dari penyatuan dua kerajaan besar di pulau Jawa kandas. Harga diri dan ego yang menjadi latar belakang. Tetapi, bisa pula ini disebabkan oleh konflik terselubung yang diselimuti aroma konspirasi, baik di dalam maupun dari luar kerajaan penguasa Nusantara.

Faktanya, lapangan Bubat, kini banjir dengan darah. Banjir dengan raga-raga yang tidak bernyawa atau di dalam proses peregangan nyawa. Meski suara dentingan senjata tajam masih bergemuruh di angkasa, namun luka yang ditimbulkan tidak jua menghilang hingga berabad-abad kemudian.

Perang Bubat juga yang merenggut kekuasaan Gajah Mada sebagai aktor penyatuan Nusantara dari kursi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Hujan satu hari menghapuskan kemarau panjang. Jasa-jasa besar Gajah Mada menyatukan Nusantara seolah musnah hanya gara-gara perang itu.

Majapahit memang terus berjalan, tetapi tanpa Gajah Mada, Majapahit tidak lagi mengalami masa keemasan. Majapahit memang tetap besar, tetapi wilayah kekuasaannya cenderung berkurang. Juga jadi bahan olok-olokan, meski tidak secara nyata, dari kerajaan-kerajaan di bawahnya, dan bahkan, kerajaan-kerajaan lain yang merasa terancam untuk dijadikan kerajaan bawahan Majapahit.

Tidak ada komentar: