Rabu, 29 Oktober 2008

"Laskar Pelangi"

Mungkin Anda terkejut membaca judul editorial saya kali ini. Mungkin di antara Anda yang berkomentar bahwa saya latah dengan fenomena film "Laskar Pelangi" yang tengah ditayangkan di bioskop-bioskop di hampir seluruh wilayah Indonesia. Atau, novelnya yang telah lebih dulu menghentak!
Tetapi, harus saya tegaskan di sini, bahwa secara jujur saya terangkan, saya belum pernah menonton film tersebut, mungkin dikarenakan di Kota Blitar tidak terdapat satu pun bioskop di masa kini; dan bahkan, saya belum pernah membaca novelnya. Namun, bukan berarti saya tidak mengikuti perkembangan zaman.
Namun, saya harus jujur, saya patut berterima kasih dan mengapresiasi karya brilian anak bangsa Indonesia, seperti Andrea Hirata, si pengarang novel Laskar Pelangi; dan Riri Riza serta Mira Lesmana yang mengangkat novel tersebut ke layar bioskop.
Namun, bukan hal itu yang akan saya sampaikan melalui ruang yang sempit ini. Terus terang, saya tergelitik dan terinspirasi dengan sebuah artikel di sebuah surat kabar harian nasional, yang mengangkat judul "Laskar Pelangi" Politisi Harus Menangis, guna saya angkat di dalam ruang ini.
Sedikit petikan tulisannya saya sampaikan di sini: "Pelangi adalah rakyat. Rakyat perlu didengar. Dalam berbagai dialog, pejabat pemerintah ingin dimengerti rakyat. Maka, pejabat diberi waktu bicara, banyak menjelaskan. Rakyat hanya mendengar penjelasan. Untuk menangkap aspirasi rakyat, dengarkanlah rakyat. Supaya bisa mendengar, diamlah jangan banyak bicara (Kompas, 8 Oktober 2008)."
Maka, jika diambil sebuah analogi, "laskar pelangi" adalah laskar rakyat. Rakyat Indonesia, pastinya. Laskar yang selama ini, jika mengacu pada petikan tulisan di atas, hanya selalu diposisikan sebagai pendengar. Sebagai penonton bagi para pejabat pemerintahan.
Dan, calon pejabat pemerintahan pula.
Lho, ada apa dengan pejabat dan calon pejabat pemerintahan? Anda mungkin akan bertanya-tanya. Baiklah, dengan analogi bahwa pemerintahan saat ini, yang terdiri dari lembaga eksekutif dan legislatif, secara nasional akan memasuki masa paripurna tugasnya pada tahun 2009 mendatang, apa yang tengah terjadi pada bulan-bulan terakhir ini?
Dapat dipastikan mereka tengah menyiapkan sebuah strategi untuk "merengkuh" pelangi tersebut. Caranya juga seragam. Dengan kampanye yang simpatik. Memampangkan senyum yang penuh dengan ketulusan –kelihatannya.
Semua senyum dari wajah yang seolah tulus itu dipampangkan melalui medium yang dapat dilihat "laskar pelangi". Dan semua seolah-olah dibuat dengan seindah mungkin, meski dalam kenyataannya justru "merusak" keindahan!
Semua mencoba meraih simpati dari "laskar pelangi". Meski nantinya, setelah mereka menjadi pejabat pemerintahan, dapat dipastikan meninggalkan dan melupakan "laskar pelangi" yang terkena "hipnotis" dengan cara memberikan dukungan kepada mereka.
Dan, mau diakui atau tidak, inilah konsekuensi demokrasi "pesta-pora" yang tengah berlaku di negeri ini. Demokrasi formalitas yang tidak (atau belum) menyentuh substansi, bahwa demokrasi hanyalah sekadar alat untuk mencapai tujuan bersama: kesejahteraan masyarakat!
Maka, wajar adanya jika di dalam masa kampanye "bak ibu yang sedang mengandung"; selama lebih-kurang sembilan bulan ini, tidak ada satu pun dari calon pejabat pemerintahan itu yang tidak menebar pesona. Tidak main-main, dalam menebar pesona tersebut, mereka pukul rata; tidak pakai prinsip tebang pilih, seperti halnya penegakan hukum di bidang korupsi!
Tidak peduli negara tengah terimbas krisis akibat ketamakan neo-liberalisme. Tidak peduli negeri ini terus-menerus dirundung kemalangan. Mereka akan tetap menebar pesona. Menjelma menjadi "selebritis-selebritis" lokal hingga nasional, menyaingi selebritis aslinya. Semua dilakukan demi kepentingan mereka dalam jangka pendek, dengan mengatasnamakan upaya "merengkuh" pelangi.
Padahal, sebenarnya, "laskar pelangi" tersebut sudah jenuh dengan perilaku mereka. Pencitraan mereka tidak begitu masuk ke dalam alam sadar "laskar pelangi" dan tidak mampu menggerakkan mereka secara keseluruhan untuk mendukung para calon pejabat pemerintahan.
Mengapa demikian? Sebab, "laskar pelangi" itu kini sadar bahwa mereka akan tetap menjadi "laskar pelangi" seperti gambaran Andrea Hirata di dalam novelnya. Toh, seusai "pesta" digelar, semua orang akan melupakan apa yang ada dan terjadi di dalam "pesta" tersebut.
Maka, jangan salahkan jika "laskar pelangi" itu nantinya akan "bergerak" dan menghukum mereka, dengan cara tidak memilih para calon pejabat pemerintah yang selama ini tidak berpihak kepada "laskar pelangi". Pesan saya: "laskar pelangi", bola itu sekarang berada di tangan Anda. Genggamlah dan gunakan dengan sebaik mungkin. Majulah "laskar pelangi"!

* Dimuat di dalam bulletin Cakrawala edisi November 2008

Tidak ada komentar: