Jumat, 15 Maret 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KETIGA)

Dengan tangan bergetar dan masih belum sanggup menguasai emosi, Sungging Prabangkara menggoreskan alat lukisnya di atas hamparan kain yang dibawanya. Pelan namun pasti dia memindahkan keindahan alam Sunda Galuh yang menjadi latar belakang lukisan untuk menambah kecantikan Dyah Pitaloka.
Memang lukisan Dyah Pitaloka belum terlihat dengan sempurna. Ini tidak lepas dari masih belum sempurnanya imajinasi Sungging Prabangkara untuk memindahkan sosok Dyah Pitaloka ke dalam lukisan. Si pelukis muda itu tampak masih belum dapat menguasai diri dari keterkejutannya. Bahkan, hingga dia harus istirahat untuk melahap makanan yang tersaji, belum didapatkannya gambaran utuh yang pas untuk dia tuangkan ke dalam lukisan.
Hanya hari yang beranjak senja yang dapat menghentikannya sementara waktu. Dia memohon izin untuk menyelesaikannya keesokan hari seraya memohon kesediaan Puteri Dyah Pitaloka kembali.
“Kisanak, bolehkah aku lihat dulu hasil lukisanmu,” pinta Dyah Pitaloka.
Sungging Prabangkara terkejut. Tidak mengira permintaan Puteri Dyah Pitaloka itu. Namun, permintaan itu harus dia turuti juga. Dengan gugup, diserahkannyalah lukisan yang masih belum berbentuk itu kepada Puteri Dyah Pitaloka.
Sang Puteri pun hanya manggut-manggut. Meski lukisan itu belum sempurna benar, tetapi Sang Puteri sudah dapat menangkap sedikit keindahan lukisan itu.
“Meski belum terlihat sempurna, harus aku akui keindahan lukisanmu ini, Kisanak. Baiklah, besok dapat kau teruskan lukisanmu ini. Sekarang, beristirahatlah,” ucap Dyah Pitaloka dengan suara merdunya.
“Prajurit, tolong siapkan tempat istirahat untuk Kisanak ini,” sambung Prabu Maharaja Linggabuana bertitah.
Dengan sigap dan setelah memberi hormat kepada Prabu Maharaja Linggabuana, salah seorang prajurit pengawal istana mengantarkan Sungging Prabangkara ke tempat istirahatnya. Dalam perjalanan menuju tempat istirahat yang terletak di seberang pendapa, Sungging Prabangkara dapat menangkap keindahan Sunda Galuh yang disirami cahaya sang bagaskara yang tengah menuju ke barat, ke peraduannya.
“Memang indah kerajaan ini. Hanya kecantikan Puteri Dyah Pitaloka saja yang dapat mengalahkannya,” ujar Sungging Prabangkara di dalam hati.
Malam mulai menjamu kehadiran sang waktu. Suhu udara yang mulai beranjak dingin dan menusuk ke dalam tulang-belulang tidak dapat menghilangkan kehangatan rasa yang tengah berkecamuk di dalam hati Sungging Prabangkara ketika melihat kembali hasil lukisannya yang belum sempurna itu.
“Ah, Puteri Dyah Pitaloka. Kecantikanmu memang tidak ada yang dapat menandingi,” batinnya.
Kerisauan yang tumbuh di dalam hati Sungging Prabangkara tidak dapat ditutupi lagi. Dalam berpuluh tahun dia hidup dan terlahir di dunia ini, memang baru kali ini dia menemui sosok cantik rupawan seperti Puteri Kerajaan Sunda Galuh ini. Pengembaraan yang selama ini dia lakukan dan bertemu dengan sejumlah perempuan cantik di pelosok Nusantara nyatanya tidak dapat mengalahkan aura kecantikan yang terpancar dari sosok Dyah Pitaloka.
Jika pun mungkin ada yang dapat menandingi kecantikan Puteri Kerajaan Sunda Galuh itu, selain para bidadari di Kahyangan, dia adalah ibunya yang telah lama mangkat. Perempuan yang rela mengadu nyawa ketika melahirkannya ke dunia fana ini. Perempuan yang dipujanya selama ini, meski dia telah berada di alam Kahyangan.
Secara perlahan Sungging Prabangkara mengambil gulungan kainnya. Dikeluarkannya suling bambu yang selama ini menemani perjalanan dan mengisi waktu sebelum tidurnya. Perlahan ditiupnya suling itu dengan nada-nada rendah untuk mengantarkan kerinduannya akan keindahan. Keindahan yang selama ini hanya terpatri di dalam ingatannya.
Alunan suara suling yang mendayu-dayu itu sampai juga menghantam indera pendengaran Dyah Pitaloka. Tidak hanya sang Puteri, semua orang yang berada di istana kerajaan terkejut dan terhanyut dengan irama yang keluar dari suara suling itu. Hal yang sama juga dialami Prabu Maharaja Linggabuana.
“Siapa yang meniup suling menjelang tengah malam seperti ini? Ada apa gerangan?” batin Prabu Maharaja Linggabuana.
Dengan sigap Prabu Maharaja Linggabuana bangkit dari peraduannya. Diikuti oleh sang permaisuri yang tampak keheranan, tetapi menikmati alunan suling yang mengisi ruang Sunda Galuh di malam hari itu.
“Prajurit, cari si peniup suling itu. Dan bawa dia ke hadapanku!” titah Sang Prabu.
Tidak butuh waktu lama bagi para prajurit untuk menghadapkan Sungging Prabangkara ke hadapan Prabu Maharaja Linggabuana. Karena memang apa yang dilakukan Sungging Prabangkara itu tidak lazim dan hanya satu orang pendatang di Kerajaan Sunda Galuh pada hari itu yang menginap.
“Kisanak, aku telah memberi izin dan restu untuk kau abadikan puteriku ke dalam lukisan. Puteriku pun telah memberikanmu izin. Lantas, apa yang kau lakukan saat ini menimbulkan kecurigaan bagiku. Katakan, untuk apa kau tiup suling itu pada malam hari seperti ini?!” tegas Prabu Maharaja Linggabuana.
“Daulat, Paduka. Mohon ampun beribu ampun. Bukan maksud hamba ingin mengganggu kedamaian yang tengah Paduka rasakan. Tetapi, hamba tidak mengetahui bahwa kebiasaan hamba meniup suling untuk mengantarkan hamba ke alam mimpi ini menganggu Paduka. Untuk itu, sekali lagi hamba memohonkan ampunan,” urai Sungging Prabangkara.
“Benar tidak ada maksud lain, Kisanak?!”
“Daulat, Paduka. Mohon ampun beribu ampun. Tidak ada niatan lain bagi hamba untuk menganggu kedamaian rakyat Sunda Galuh beserta para pembesarnya. Hamba memang memiliki kebiasaan meniup suling sebelum hamba terlelap. Untuk itu, hamba memohon izin dan restu dari Paduka,” jawab Sungging Prabangkara dengan sikap yang semakin menghormat.
“Baiklah, Kisanak. Sebelum aku putuskan, aku ingin kau ceritakan dulu siapa engkau sebenarnya.”
Sungging Prabangkara akhirnya menceritakan siapa dirinya. Seluruh bagian dari hidupnya dia ceritakan dengan singkat dan jelas, meski ada beberapa bagian yang terpaksa dia tutupi. Pada sisi lain, Prabu Maharaja Linggabuana tampak manggut-manggut dan mencoba mencerna kebenaran cerita pemuda itu. Sesekali Prabu Maharaja Linggabuana mencuatkan alisnya.
“Demikianlah sedikit cerita mengenai hamba, Paduka. Mohon ampun, meski tidak terlalu panjang, tetapi demikianlah adanya kebenaran cerita tentang hamba,” tutup Sungging Prabangkara.
“Baiklah, Kisanak. Aku izinkan kau melanjutkan kegiatanmu. Tetapi, ketika malam sudah beranjak pada puncaknya, meski kau belum dapat memejamkan mata, kau harus hentikan kegiatanmu itu. Apakah kau sanggup?!”
“Daulat, Paduka.”
“Baiklah, Kisanak. Kau boleh kembali ke bangsalmu.”
Didahului dengan sikap hormat, Sungging Prabangkara undur diri dari pendapa istana. Diapit oleh dua orang prajurit pengawal istana, dia kembali ke bangsalnya dan melanjutkan kegiatannya. Suara kerinduan yang terwakili melalui alunan suling kini kembali terdengar dan memecah keheningan Kerajaan Sunda Galuh.
Begitu indahnya, hingga alunan suling yang kedua kalinya itu setelah sempat berhenti beberapa saat, mampu mengantarkan Dyah Pitaloka terbenam di dalam peraduannya. Begitu pula dengan Prabu Maharaja Linggabuana dan sang permaisuri yang telah kembali dari pendapa tadi. Dan jika pun ada yang masih terjaga, mereka adalah para binatang malam dan para prajurit yang bertugas mengawal istana.
Juga para telik sandhi Kerajaan Majapahit yang tengah bersembunyi di balik rerimbunan pepohonan…
“Gila! Sungging Prabangkara keterlaluan. Sulingnya selalu dia mainkan dan bisa membuat orang dengan telak jatuh ke alam mimpi,” bisik salah seorang telik sandhi kepada rekannya.
“Tenang saja. Yang penting kau jangan sampai terlelap. Bisa kacau nanti tugas kita ini. Dan begitu aku laporkan kepada Mahapatih, bisa mampus kau,” sahut rekan telik sandhi itu sambil menakut-nakuti.
“Keparat!” umpat telik sandhi itu.
Mendengar hal itu, rekan telik sandhi itu menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara gelak tawanya dan terdengar siapa pun yang melintas di bawah pepohonan.
Sudah beberapa lamanya alunan suling dia lontarkan dari hembusan nafas dari dalam mulutnya dan menyadari malam mulai mencapai puncaknya, Sungging Prabangkara menyudahi kegiatannya itu. Perlahan dia rebahkan tubuhnya di atas peraduan. Lama dia terdiam namun kedua belah matanya tidak jua dapat tertutup.
Pikirannya, sekali lagi untuk terus-menerus sejak tadi, tidak dapat mengenyahkan kecantikan Dyah Pitaloka. Kekaguman tampak muncul dari dirinya.
“Ah, Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, mengapa kau berikan aku tugas yang sedemikian beratnya,” bisiknya dengan suara yang sesak menghimpit dadanya.
Sungging Prabangkara pun tenggelam dalam dunianya sebelum terlelap. Banyak angan yang merajai pikirannya yang tidak dapat dia singkirkan. Semua itu tertuju pada satu sosok: Dyah Pitaloka.
“Ah, andai saja…”
“Ah, jika saja…”
“Ah…”

Tidak ada komentar: