Jumat, 01 Maret 2013

PALAGAN BUBAT (BAGIAN KEDUA)

Kerajaan Sunda Galuh…

Kerajaan itu terletak di dekat sungai yang mengalir dengan tenang dari hulunya di pegunungan yang mengitari sekaligus menjadi pelindungnya. Hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning dan cicitan burung yang terbang di angkasa menambah indah panorama kerajaan yang dipimpin Prabu Maharaja Linggabuana itu.

Nyanyian para petani yang tampak menikmati masa mendekati panen menambah suasana harmonis di wilayah Kerajaan Sunda Galuh. Kalau pun ada yang mengusik keindahan dan keharmonisan itu adalah suara parau burung gagak yang mencari mangsa dan suara hewan buas lainnya yang menempati hutan di lereng-lereng gunung.

Dari sebuah sudut kerajaan, terderang lesung dan alu bertumbukan dan diiringi oleh derai tawa para wanita. Itulah derai tawa para dayang kerajaan yang tengah menyiapkan beberapa jumput beras untuk mengisi perut keluarga kerajaan siang nanti. Tak peduli sang bagaskara yang berwarna kuning keemasan hendak mencapai titik puncaknya, mereka tampak asyik mengubah padi dan gabah untuk menjadi beras. Mereka tampak bersuka-ria dan menganggap pekerjaan mereka sebagai beban.

“Nyai, ini sudah hampir selesai. Bagaimana dengan api tungkunya? Parantos?” tanya salah seorang dari dayang itu.

Parantos, Nyai. Sudah siap!” jawabnya.

Saé,” tukas dayang yang bertanya tadi.

Tidak lama kemudian bau tanakan nasi dari beras yang diolah para dayang tadi mulai tercium dengan harumnya. Seluruh Nusantara memang mengagumi beras dan nasi yang berasal dari tanah Sunda. Sebab, selain harum, nasi dari beras tanah Sunda memiliki rasa yang khas yang dapat membuat orang yang memakannya untuk menambah porsi. Tidak akan kenyang rasanya perut mereka jika hanya memakan nasi dari beras Sunda hanya satu piring saja.

Sementara dari pendapa istana, Prabu Maharaja Linggabuana beserta sang permaisuri tampak sedang asyik menikmati pagi dari singgasana. Kesibukan yang luar biasa dilakukan rakyat Sunda Galuh tetap saja membuat sang Prabu tampak menikmatinya. Dan juga bersyukur masih bisa menikmati kehidupan normal rakyat Sunda Galuh.

Pada sudut lain di istana, Dyah Pitaloka Citraresmi sedang duduk dengan anggunnya. Di hadapan puteri Prabu Maharaja Linggabuana itu, Sungging Prabangkara sedang menggoreskan alat lukisnya di atas lembaran kain. Secara perlahan, bentuk lukisan itu mulai terlihat dengan indahnya. Tidak terpaut jauh dengan model lukisannya.

Tidak hanya Sungging Prabangkara, seluruh rakyat Sunda Galuh memang harus mengakui bahwa kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi. Kecantikan yang sebenarnya sukar untuk dituangkan di atas lembar lukisan. Namun, Sungging Prabangkara ternyata dapat menuangkannya dengan sempurna.

Ingatan Prabu Maharaja Linggabuana melayang pada kejadian beberapa hari yang lampau. Di hadapannya ketika itu hadir seorang pemuda yang meski berbusana rapi, tetapi rambutnya dibiarkan terurai. Cenderung awut-awutan, atau tidak tertata dengan rapi. Di tangannya tergenggam beberapa alat lukis dan lembaran kain.

“Mohon maaf, Paduka,” buka seniman itu dengan sikap menghormatnya.

“Ya, Kisanak. Aku sudah tahu apa yang menjadi keinginanmu. Aku bisa lihat dari apa yang kau bawa sekarang, dan itu sudah cukup untuk mewakilinya. Tetapi…” ujar Praba Maharaja menggantungkan kalimatnya.

“Daulat, Prabu.”

“Mengapa kau memilih puteriku untuk kau lukis, Kisanak? Hingga kau rela jauh-jauh datang ke tanah Sunda ini…”

“Daulat, Prabu. Mohon ampun jika hamba dipandang lancang meminta izin kepada Paduka untuk melukis keindahan Puteri Dyah Pitaloka. Semua ini tidak lepas dari keinginan hamba untuk membuktikan kabar burung yang beredar selama ini di seluruh pelosok Nusantara…”

Sambil mengerenyitkan dahi, Prabu Maharaja Linggabuana memotong perkataan Sungging Prabangkara, “Kabar burung apa itu, Kisanak? Apakah ada yang tidak benar dari keluargaku? Apakah ada kabar nyinyir tentang Kerajaan Sunda Galuh ini?!”

“Daulat, Prabu. Mohon ampun sekali lagi, hamba dapat menjamin bahwa tidak ada kabar miring sedikit pun tentang Kerajaan Sunda Galuh maupun tentang keluarga Paduka,” jawab Sungging Prabangkara dengan menenggelamkan wajahnya.

“Lalu?!”

“Mohon ampun beribu ampun sekali lagi, Paduka. Hal yang mengusik hamba hingga memberanikan diri untuk memohon izin dari Paduka adalah kabar tentang kecantikan Puteri Dyah Pitaloka yang tersohor hingga ke seluruh Nusantara. Selain hamba ingin membuktikannya, hamba juga ingin mengabadikannya melalui goresan alat lukis hamba ini,” jelas Sungging Prabangkara.

“Tetapi,” lanjutnya, “jika memang hamba tidak diizinkan dan dipandang tidak pantas untuk mengabadikan Puteri Dyah Pitaloka ke dalam sebuah lukisan, hamba mohon kepada Paduka untuk diizinkan menyaksikan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka. Hamba memohon ampun dan kebijaksanaan Paduka atas kelancangan hamba ini. Semua semata untuk menghapuskan rasa penasaran yang selama ini terpendam di dalam benak hamba.”

Prabu Maharaja Linggabuana tampak tercenung. Dia tahu bahwa kecantikan puterinya telah mampu menggoyang Nusantara. Namun, dia tidak mengira ada orang yang nekad memohon kepadanya untuk mengabadikan kecantikan puterinya itu. Dan kini, di hadapannya, orang itu sedang menghadapnya.

“Kisanak, diizinkan atau tidak, aku tidak dapat memutuskannya. Semua harus mendapatkan persetujuan dari puteriku. Tetapi ingat, Kerajaan Sunda Galuh selalu menerima tamu dengan tangan terbuka selama dia jujur dan tidak memiliki keinginan macam-macam terhadap kerajaan ini. Apakah kau mengerti?!”

“Daulat, Prabu. Hamba hanya dapat menjawab, hamba tidak memiliki keinginan macam-macam di kerajaan yang makmur ini. Kedatangan hamba di tanah Sunda ini hanya untuk menghapuskan rasa penasaran hamba, tidak lebih dari itu, Paduka. Dan jika memang nantinya Puteri Dyah Pitaloka berkenan untuk diabadikan ke dalam sebuah lukisan, hamba siap untuk melakukannya,” terang Sungging Prabangkara.

“Baiklah. Kau tunggu di sini. Aku akan menanyakannya terlebih dulu kepada puteriku,” balas Prabu Maharaja Linggabuana sambil beranjak dari singgasananya.

Cukup lama juga Sungging Prabangkara menunggu izin dari Sang Puteri Kerajaan Sunda Galuh. Tetapi dia memang harus bersabar. Karena memang pasti tidaklah mudah untuk mengambil keputusan yang sulit itu. Jika hanya untuk menyaksikan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka, semua orang dapat melakukannya. Tetapi, untuk mengabadikannya di dalam lukisan, pasti membutuhkan pemikiran yang dalam.

Sungging Prabangkara mulai tidak nyaman dengan keadaan ini. Sendiri di tengah pendapa istana dan diawasi oleh prajurit penjaga istana merupakan sesuatu yang belum pernah dia alami. Namun tekadnya memang sudah bulat. Satu di antara dua pilihan yang diajukannya kepada Sang Prabu, pastilah dapat dipenuhi. Dan jika dia beruntung, mungkin kedua pilihan yang telah disodorkannya itu dapat menjadi kenyataan. Seniman muda itu hanya dapat berdoa dan menunggu…

Beruntung penantiannya tidak terlalu lama lagi. Dari dalam istana menuju ke arah pendapa, dilihatnya sosok seorang perempuan muda tengah diapit oleh para dayang. Di belakangnya tampaklah sang Prabu dan sang permaisuri mengikuti langkah rombongan sang puteri. Seolah menandakan bahwa perempuan muda yang diapit oleh para dayang itu memiliki nilai yang lebih jika dibandingkan dengan harta kerajaan lainnya.

Wajah perempuan muda itu tampak memancarkan aura kecantikan, meski masih diselubungi dengan sehelai kain. Hal yang dapat dipastikan akan menambah rasa penasaran bagi siapa pun yang menyaksikannya. Termasuk Sungging Prabangkara yang merasa detik demi detik waktu berjalan dengan lambatnya.

Setelah duduk di singgasana, dan sang Puteri duduk pada dampar kencananya, Prabu Maharaja Linggabuana angkat suara, “Baiklah, Kisanak. Apa pun yang diputuskan puteriku dapat kau dengar sendiri sekarang.”

Makin berdebar derap jantung Sungging Prabangkara. Jika memang diperbolehkan untuk melakukan sesuatu untuk menutupi kegugupannya, pastilah akan dia lakukan.

“Kisanak,” sebuah suara merdu dan indah terdengar di indera pendengaran, muncul dari wajah yang diselubungi sehelai kain itu.

“Sebelum aku menjawab apa yang kau utarakan kepada Ayahanda Prabu tadi, aku ingin mendengarkannya langsung darimu.”

Dengan sikap hormat, Sungging Prabangkara menyampaikan maksud kedatangannya kepada Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi. Singkat dan jelas, tanpa ada basa-basi sedikit pun.

“Jadi begitu,” ujar Dyah Pitaloka.

“Jika engkau aku izinkan untuk sekadar melihatku saja, apakah kau sudah cukup puas?” lanjutnya dengan masih menyembunyikan wajahnya dari balik sehelai kain.

Sambil mengangguk, Sungging Prabangkara menjawab, “ Daulat, Tuan Puteri.”

“Lalu,” imbuh Sang Puteri, “jika kau aku izinkan untuk melukisku, apakah kau juga cukup puas?”

Terhentak dengan pertanyaan menukik dari Puteri Dyah Pitaloka, Sungging Prabangkara terdiam. Dia tidak mampu menjawabnya karena tidak dapat menguasai keterkejutannya, meski sebenarnya hal itulah yang menjadi keinginannya. Sungging Prabangkara hanya dapat mengangguk pelan dengan tidak meninggalkan sikap hormatnya.

Pada sisi lain, dari balik selimut kainnya, Dyah Pitaloka Citraresmi dapat menangkap ketampanan pria yang ingin melukisnya itu. Dia tidak tahu rasa apa yang tengah dia alami saat ini. Dia hanya tahu hatinya tergetar dan detak jantungnya bergemuruh. Bahkan, jika dia tidak pintar menutupinya, semua orang yang ada di pendapa itu dapat menangkap sinyal jiwanya yang tengah terguncang itu.

Prabu Maharaja Linggabuana yang menangkap keterkejutan Sungging Prabangkara ikut angkat suara. Dengan suara yang bijak dan santun, dia berkata, “Kisanak, jawab pertanyaan puteriku itu.”

“Daulat, Paduka. Daulat, Tuan Puteri,” jawab Sungging Prabangkara dengan suara yang tercekat.

Di dalam hatinya, meski mengharapkan, Sungging Prabangkara menyesali kenekadannya itu. Dia tidak mengira bahwa keinginannya itu membuatnya menghadapi sebuah masalah baru. Dia tidak mengira bahwa keinginannya itu justru membuatnya tidak mampu untuk menghadapi gejolak jiwa.

“Baiklah, Kisanak. Aku memperbolehkan dan mengizinkan kau untuk melukisku. Sekarang, dalam keadaan seperti apa kau ingin melukisku?” tanya Puteri Dyah Pitaloka sambil membuka selubung kain dari wajahnya.

Tercekat dan terkejut Sungging Prabangkara melihat kenyataan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya dia memiliki gambaran akan kecantikan Puteri Dyah Pitaloka, kini semuanya berguguran. Dia tidak mengira bahwa kecantikan sang Puteri jauh lebih indah dari bayangannya. Dia tidak mengira bahwa kecantikan sang Puteri mungkin hanya bisa disejajarkan dengan para bidadari di Kahyangan.

Sungging Prabangkara terdiam. Begitu pula dengan Dyah Pitaloka yang tidak mampu lagi menutupi keterkejutannya melihat ketampanan Sungging Prabangkara. Di dalam hatinya, Dyah Pitaloka mengakui ketampanan seniman muda itu tidak seperti perkiraannya dan membandingkannya dengan ketampanan Prabu Maharaja Linggabuana.

Alhasil, wajah keduanya tidak terpaut jauh ketampanannya. Memang pada wajah Prabu Maharaja Linggabuana kini ditumbuhi kerutan-kerutan, tetapi tetap saja tidak menghilangkan jejak ketampanannya ketika muda. Mungkin, jika usia antara Prabu Maharaja Linggabuana dengan Sungging Prabangkara tidak terpaut jauh, semua orang yang melihatnya akan mengira mereka kakak-beradik.

“Siapa pemuda ini? Dan mengapa ketampanannya menyerupai sang Prabu? Juga adikku, Niskala?” batin Dyah Pitaloka.

Meski hening, aura keterkejutan yang muncul dari Dyah Pitaloka dan Sungging Prabangkara tidak dapat tertutupi. Bagi orang yang memiliki kemampuan lain, mereka akan dapat menangkap aura itu. Namun, bagi orang yang tidak memiliki kemampuan lain, mereka hanya dapat menangkap dari isyarat wajah keduanya.

“Kisanak. Jawab pertanyaan puteriku tadi. Jangan kau diam membisu seperti itu,” sergah Prabu Maharaja Linggabuana.

Sambil mencoba menguasai keadaan, Sungging Prabangkara pun menjawab, “Daulat, Paduka, Tuan Puteri. Mohon ampun beribu ampun jika hamba terdiam seperti ini. Bukan berarti hamba tidak menghormati, tetapi jujur saja hamba tidak dapat menguasai diri seketika begitu mengetahui bahwa kecantikan Tuan Puteri hanya dapat disandingkan dengan para bidadari di Kahyangan.

“Hamba yang tadinya sudah memiliki gambaran sejauh mana kecantikan Tuan Puteri tetap saja dibuat terkejut. Hamba tidak mengira bahwa kecantikan Tuan Puteri jauh lebih indah jika dibandingkan dengan gambaran hamba tadi. Dan hamba tidak dapat menguasai diri ketika mengetahui bahwa gambaran hamba itu ternyata salah besar.

“Mohon ampun beribu ampun, Paduka. Bukan berarti hamba tidak sopan, tetapi karena keterkejutan hamba ini yang membuat hamba tidak dapat berkata-kata,” urainya.

Prabu Maharaja Linggabuana manggut-manggut. Begitu pula dengan sang permaisuri.

“Mohon ampun beribu ampun, Paduka. Dan mohon ampun beribu ampun, Tuan Puteri. Jika hamba memang diizinkan untuk mengabadikan kecantikan Tuan Puteri, sudilah kiranya Tuan Puteri tetap duduk di dampar kencana untuk hamba lukis. Dan sudilah kiranya pula Tuan Puteri untuk bersabar ketika hamba belum selesai menggoreskan alat lukis hamba di atas lembaran kain ini,” terang Sungging Prabangkara.

“Baiklah. Kau dapat memulainya sekarang,” kata Prabu Maharaja Linggabuana.

Tidak ada komentar: