Sabtu, 21 Maret 2009

Amuk

Secara jujur, tadinya editorial ini akan saya beri judul protes kembali. Tetapi, setelah ditimbang-timbang, kok, sepertinya kurang pas. Akhirnya, terlintas judul di dalam otak saya, ya, seperti yang sudah saya tulis di atas.
Jujur saja, saya kembali terkejut, fenomena protes yang tengah menjadi tren di dunia ini, akhirnya, melalui tangan-tangan orang Indonesia, menimbulkan korban jiwa yang, meski hanya satu orang, tetapi menimbulkan sebuah keironisan.
Sebab, sekali lagi kekerasan menjadi sebuah jawaban atas sebuah permasalahan. Jika mungkin istilah kekerasan menjadi kurang pas di dalam pandangan Anda semua; mungkin istilah amuk-lah yang menjadikannya pas.
Benar, protes yang kemudian berubah menjadi amuk, menelan korban jiwa Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat, beberapa waktu lalu. Meski bukan karena "amuk massa" tersebut, tetapi diyakini peristiwa ini memicu penyakit jantung yang diidapnya.
Setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan seterusnya di dalam konteks kekinian, bangsa ini seolah menjadikan amuk, sebagai klimaks dari protes; atau unjuk rasa; atau demonstrasi dan perjuangan yang dilakukannya.
Amuk menjadi jawaban dari masalah yang tengah diperjuangkannya. Tidak peduli melanda siapapun dan dilakukan oleh siapapun. Kekerasan seolah-olah harus ditegakkan, demi mempertahankan pendapat. Demokrasi seolah-olah harus disertai dengan anarkisme.
Padahal, protes atau unjuk rasa atau demonstrasi adalah sarana yang tepat untuk menunjukkan ekspresi ketidakpuasan atas sebuah kebijakan yang ditetapkan. Protes/unjuk rasa/demonstrasi merupakan sebuah senjata yang ampuh untuk mengkritisi kebijakan yang tidak tepat.
Lihat saja deretan "people power" yang tercatat dalam sejarah bangsa dan negara ini. Hampir semuanya tertuju pada kritisasi kebijakan para pemimpin negeri, dan bahkan, malahan untuk mengkritisi pola kepemimpinan mereka yang dianggap tidak cocok dan melukai hati rakyat.
Tujuannya dapat dianggap sebagai suatu yang mulia. Dan, bahkan, malahan dianggap sebagai awal mula dari sebuah orde pemerintahan yang akan dijalankan. Orde yang dianggap pasti akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Meski, jika mau jujur, "people power" tersebut tetap juga akan menelan korban jiwa.
Hanya, jika mau jujur, di dalam pandangan saya, apa yang terjadi di Sumatera Utara adalah sebuah kekonyolan. Perjuangan pemekaran wilayah yang dilakukan sejak lama, memang menimbulkan frustasi bagi mereka yang melakukan perjuangan tersebut.
Tetapi, seharusnya tidak menggunakan cara-cara yang represif. Sebab, perjuangan pemekaran wilayah yang terjadi selama ini, selalu dilakukan secara damai, meski masih berujung pada kepentingan politis semata, dan tidak membawa perubahan pada sisi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang berjuang dan berkorban, namun elit politik yang merasakannya.
Mau diakui atau tidak, inilah potret yang terjadi di negeri ini dalam konteks kekinian. Frustasi atas kemandegan yang terjadi di era otonomi daerah dan reformasi ini, yang juga akibat ulah para elit politik, harus disalurkan melalui kekerasan. Bak kotak pandora yang terbuka.
Nasionalisme Indonesia yang perlahan-lahan meluntur, digantikan dengan rasa chauvanistik yang menjulang. Pemekaran wilayah tidak dianggap sebagai upaya di dalam memperkuat rasa persatuan dan kesatuan Indonesia yang berbasis atas kearifan lokal, tetapi hanya dipandang sebagai upaya untuk bagi-bagi "kue kekuasaan" belaka. Paradoks dan ironis.
Sampai kapan hal ini terus terjadi? Sampai kapan kecarut-marutan yang ada di negeri ini terus berjalan? Sampai kapan... sampai kapan... dan sampai kapan lainnya! Saya hanya dapat terus-menerus menggelengkan kepala.
Untungnya saja hal ini tidak berlaku di Kota Blitar. Komitmen atas persatuan dan kesatuan Indonesia dapat terwujud dengan baik di sini. Tetapi, maafkan jika saya berpikir buruk, ketika proses demokratisasi berubah menjadi kemandegan di sini, akankah salah seorang, atau malahan banyak elit politik di Kota Blitar, dan belahan Indonesia lainnya, bernasib sama dengan Abdul Aziz Angkat?

*Diterbitkan di Cakrawala edisi Maret 2009

Tidak ada komentar: