Sabtu, 21 Maret 2009

Protes (1)

Mungkin Anda terkejut membaca judul editorial kali ini. Ya, kata protes, pasti memunyai konotasi yang tidak baik di dalam pikiran Anda semua. Saya memakluminya, seperti halnya, mungkin, Anda semua juga memakluminya.
Tetapi, tunggu dulu. Lihat dan simak dengan baik-baik, ke mana arah editorial ini akan menuju. Jangan secara parsial mengartikan editorial ini. Sebab, jika Anda memandangnya dari sudut yang parsial, maka akan terasa kontroversial.
Lembar ini akan saya buka dengan mengenang kembali sejumlah peristiwa daerah, nasional, hingga internasional, yang berujung pada dua persitiwa besar yang terjadi pada tahun 2008. Fenomena Barrack Husein Obama; dan peristiwa "sepatu terbang".
Fenomena pertama, tidak akan saya ulas secara terperinci, karena mungkin Anda semua juga adalah pihak-pihak yang "terhipnotis" fenomena tersebut. Sehingga, mungkin saja, Anda semua tergolong ke dalam "Obamania", untuk merujuk kepada para pendukung Presiden AS pertama dari kalangan kulit hitam tersebut.
Dan, yang memang, benar akan saya bahas di sini adalah peristiwa "sepatu terbang" yang mengenai Presiden AS sebelum Obama, George Walker Bush, atau George Bush Junior. Peristiwa mengejutkan yang juga menjadi kado "indah" bagi George Bush Junior di akhir masa jabatannya.
Adalah Muntazer Al-Zaidi, seorang wartawan asal Irak yang "menghadiahkan sepatu terbang" tersebut, dan dalam jangka waktu cepat, namanya menjadi buah bibir di seantero dunia. Bukan apa-apa, bentuk protes Al-Zaidi atas kesewenang-wenangan AS di negaranya, Irak, dilakukan dengan cara yang tidak lazim. Bayangkan, "pemimpin dunia" menjadi target lemparan sepatu. Sekali lagi, tidak lazim, dan mungkin juga memalukan bagi Bush Junior!
Ya, jika dilihat memang tidak lazim. Melemparkan sepatunya ke arah wajah presiden negara superpower, merupakan sesuatu yang berbeda dan telah dilakukan Muntazer Al-Zaidi, jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk protes lainnya, seperti unjuk rasa atau demonstrasi.
Sepatu menjadi senjata. Bukan spanduk, selebaran, dan lain sebagainya, untuk menunjukkan rasa protesnya. Cara yang, sekali lagi, amat tidak lazim. Tetapi, mampu mencuri perhatian, dan bahkan, mungkin, nantinya akan diikuti oleh, entah, berapa orang lagi.
Namun, bukan itu (melempar sepatu sebagai bentuk protes) yang akan saya ajak Anda semua untuk merenung. Melainkan, lebih pada substansinya: bahwa di dalam melakukan protes, orang dapat melakukan apa saja. Terlebih, jika objek yang diprotes itu telah mengundang kebencian yang mendalam.
Perilaku pelaku protes juga pastilah tidak dapat diredam. Mereka sudah "gelap mata" untuk mempertahankan apa yang menjadi aspirasi mereka.
Tetapi, dari sini kita dapat belajar, jika berbuat sesuatu yang tidak adil, khususnya bagi para pejabat, Anda siap-siap saja menerima bentuk protes tak lazim, dan bahkan, memalukan diri Anda.
Karena itulah, jika tidak ingin kena lemparan sepatu, bahkan mungkin wajan, panci, dan lain sebagainya, wahai para pejabat, bertindak-adillah dan ingat atas tujuan Anda diberikan amanat oelh rakyat, yaitu demi mengelola yang dimiliki masyarakat guna kesejahteraan mereka pula. Rasanya hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang. Titik! Bagaimana dengan Anda, wahai para pejabat Kota Blitar (dan Indonesia)?

*Diterbitkan di Cakrawala edisi Januari 2009

1 komentar:

sakrip mengatakan...

selamat berjuang semoga sukses