Sabtu, 21 Maret 2009

Protes (2)

Lagi-lagi saya menulis tentang masalah protes di dalam editorial ini. Tetapi, sekali lagi saya ingatkan, ini bukan hanya sekadar bentuk protes saya. Melainkan karena masalah ini seolah sudah menjadi fenomena tersendiri di dunia, dalam konteks terkini.
Ya, fenomena tersendiri di masa-masa awal tahun 2009 ini. Fenomena, yang tragisnya, menerpa sisi kebesaran sejarah bangsa Indonesia, di satu sisi. Ya, kabar tentang semrawutnya implementasi pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Mojokerto. Jika bicara yang ini, maka saya juga termasuk salah seorang yang ikut protes. Bukan karena masalah apa, saya hanya teringat pemeo: bangsa yang besar adalah bangsa yang juga menghargai (kebesaran) sejarah bangsanya.
Dan, memang, sudah tidak dapat lagi dipungkiri mengenai kebesaran Kerajaan Majapahit dan pengaruhnya di dalam membentuk karakter bangsa. Tetapi, kini, dalam kenyataannya, begitu mudah peninggalannya diobrak-abrik. Oleh pemerintah, lagi!
Karena itulah, bukan sekadar romantisme sejarah belaka, jika saya dan mungkin jutaan orang yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia ikut mengajukan protes mengenai hal ini. Kaji ulang pembangunan PIM, itulah intinya!
Dan, bersyukur pula, pemerintah mau mendengarkan, sehingga masalah pembangunan PIM ini dapat ditunda terlebih dahulu untuk melakukan kaji ulang. Sehingga, diharapkan, nilai-nilai yang terkandung dari peninggalan Majapahit tidak sirna dan menjadi bekal kepada generasi penerus, untuk lebih menghargai lagi bangsa dan negara mereka yang sejak nenek moyang dahulu sudah diakui kebesarannya.
Satu lembar telah ditutup dengan hasil yang lumayan, meski di dalam sudut hati saya yang lain, saya juga menyimpan kekhawatiran dengan rencana Pemkot Blitar di dalam melakukan revitalisasi Kawasan Wisata PETA Blitar. Kalimat: "jangan-jangan kawasan itu juga akan bernasib sama dengan peninggalan Kerajaan Majapahit," terus terngiang di telinga saya.
Sehingga, saya secara langsung dan tidak langsung, terus mengingatkan agar jangan sampai revitalisasi tersebut akan mengalami nasib yang sama dengan PIM. Kajian menyeluruh dari semua aspek, terutama dari segi historis , saya rasa juga perlu untuk dilakukan.
Tidak hanya sekadar masterplan yang sekarang ini tengah beredar.
Tidak hanya sekadar mengejar target waktu, dan menyingkirkan filosofi dan gelora semangat para pahlawan PETA Blitar. Tidak hanya... tidak hanya... dan sejumlah tidak hanya lainnya.

Mengapa demikian? Sungguh, kekhawatiran saya ini hanya dilandasi pemikiran negatif: jangan sampai masyarakat Kota Blitar dicap buruk dengan kalimat, "warga bangsa yang tidak bisa menghargai jasa para pahlawannya!" Titik.
Sedih rasanya jika harus mendengar tangis para pahlawan PETA Blitar di dalam kubur sana. Dan, sedih pula jika saya harus mendengar tangis Shodancho Soeprijadi, yang entah di mana keberadaannya, jika tahu bahwa revitalisasi Kawasan Wisata PETA Blitar senasib dengan pembangunan PIM sebelum dihentikan oleh pelakunya sendiri (pemerintah).
Sedih... sedih... dan saya hanya dapat mengelus dada sambil memijat kepala yang pusing melihat perilaku generasi penerus bangsa yang semaunya sendiri dan tidak menghargai jasa para pendahulunya. Bagaimana dengan Anda?

*Diterbitkan di Cakrawala edisi Februari 2009

Tidak ada komentar: