Senin, 03 Maret 2008

Jangan Lupakan Jasa Ayah Kami....

Dokter Ismangil


Istijah Ismangil

Istijah Ismangil, Anak dr. Ismangil, Salah Seorang Tokoh Utama Pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 1945

Tokoh satu ini, adalah anak seorang tokoh utama Pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 1945 silam, dr. Ismangil. Bagaimana kisah yang pernah didengarnya berkaitan dengan kiprah dr. Ismangil? Berikut wawancara yang dilakukan ketika Istijah Ismangil mengunjungi Kota Blitar, dalam rangka Peringatan Pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 2008 lalu:
Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya deskripsi atas dr. Ismangil. Dapatkah Anda gambarkan?
Istijah Ismangil (II): Begini, sebelum saya becerita lebih jauh, saya akan jujur mengatakan kepada Anda semua tentang gambaran keluarga dr. Ismangil. Sehingga, nantinya, Anda semua dapat menarik sendiri siapa sebenarnya dr. Ismangil.
Saya adalah satu-satunya anak dr. Ismangil. Saya lahir beberapa hari setelah ayah saya tersebut menjalani hukuman mati atas keterlibatannya di dalam Pemberontakan PETA Blitar. Beberapa tahun berselang, ibu saya kemudian meninggal dunia.
Jadi, apa yang saya ceritakan ini merupakan kumpulan penuturan dari beberapa orang, termasuk keluarga, yang mengetahui benar siapa sebenarnya ayah saya yang saya banggakan ini, dr. Ismangil.
Dokter Ismangil adalah seorang dokter kelahiran tahun 1908. Di dalam perjalanan hidupnya, dia selalu mengabdi kepada nusa dan bangsa ini melalui dunia kedokteran yang dia dalami semenjak bersekolah di Jakarta.
Sebelum menikah dengan ibu saya, Almarhumah Sumiati, ayah saya sebenarnya telah menikah terlebih dahulu dan kemudian bercerai dengan puteri Bupati Tuban, yang jika saya tidak salah, bernama Kusumadiyah.
Jadi, dapat dikatakan, satu-satunya tokoh pemberontakan PETA Blitar yang telah berumah tangga ketika itu adalah ayah saya. Maklum, ayah saya, dianggap sebagai seorang senior di antara para sahabatnya di Daidan PETA Blitar. Selain senior usianya, dia juga dianggap senior di dalam segala hal.
Tidak seperti dugaan banyak orang, ayah saya sebenarnya berperawakan gemuk. Ya, dapat dikatakan, tidaklah sama dengan penggambaran patungnya yang terdapat di Monumen PETA saat ini, setelah diresmikan Wali Kota Blitar, 13 Februari 2008, kemarin.
Selanjutnya?
II: Satu hal yang selalu diingat oleh siapapun mengenai sosok ayah saya adalah kemauannya yang keras untuk memerdekakan bangsa dan negaranya. Hal ini telah terbentuk sejak dia bersekolah kedokteran di Jakarta.
Mungkin saja, ketika itu, karena keluarga kami dianggap sebagai keluarga terhormat, sehingga ayah dapat melanjutkan sekolah hingga ke tingkat yang tertinggi, dia sering berdiskusi dengan rekan-rekan di sekolahnya mengenai arah kemerdekaan bangsa dan negara ini.
Sehingga, sepulangnya dan lulusnya dia dari sekolah tersebut, dia bertekad untuk mempersembahkan hidupnya bagi kemerdekaan bangsa dan negaranya. Dia pun mulai bergabung dengan pejuang-pejuang perintis kemerdekaan melalui kemampuan medisnya. Dan, dapat menjadi catatan pula, ayah saya ketika itu adalah ahli bedah. Keahlian yang di masa itu amat jarang dimiliki bangsa dan negara ini.
Kemudian, ketika penjajahan Jepang, dia pun bergabung ke dalam Daidan Blitar. Dan, menyandang pangkat Chudanco. Pangkat yang terhitung tinggi ketika itu. Serta memiliki sejumlah anak buah yang mau membantu ayah saya berkutat dengan dunia medis, guna membantu para prajurit PETA yang terluka di medan perang maupun latihan.
Dapatkah Anda sedikit menceritakan keterlibatan ayah Anda di dalam Pemberontakan PETA Blitar itu?
II: Dari berita yang saya dengar, ayah saya sebenarnya adalah tokoh utama pemberontakan tersebut. Dia adalah otak. Dia adalah cara berpikir bagaimana agar pemberontakan itu dapat berhasil. Dia jugalah yang selama itu memimpin diskusi-diskusi pemberontakan itu dengan Soeprijadi dan kawan-kawan.
Tetapi, karena ayah saya adalah tenaga medis, dan kemampuan memimpinnya kurang menonjol dibandingkan Soeprijadi, maka pantaslah jika Soeprijadi yang ditunjuk menjadi pemimpin pemberontakan. Ayah saya pun, di dalam pengakuannya, menyetujui dan tidak berkeberatan atas keputusan itu.
Namun, jangan pula meragukan bagaimana peran ayah saya. Dia mau terjun langsung di dalam pemberontakan itu. Dia ikut bergabung dengan pasukan yang memberontak itu, hingga akhirnya dapat tertangkap karena ditipu oleh Jepang.
Kemudian, yang menjadi landasan mengapa ayah saya begitu membenci Jepang hingga menjadi otak pemberontakan itu adalah ketidaktahanannya melihat penderitaan anak bangsa ini semasa penjajahan Jepang.
Dia melihat sendiri bagaimana penyiksaan demi penyiksaan melalui romusha; latihan perang; dan lain sebagainya yang dilakukan Jepang, sudah berada jauh di atas ambang kemanusiaan. Keadaan ini yang semakin membulatkan tekadnya untuk bersama-sama dengan para prajurit PETA memberontak.
Adakah rasa bangga atas apa yang telah ayah Anda lakukan?
II: Siapa, sih, yang tidak bangga menjadi anak seorang pejuang. Seorang pahlawan bangsa, yang sedemikian teguh dan berkorbannya demi perjuangan kemerdekaan bangsa dan negaranya. Seorang yang patut diteladani kemauan kerasnya untuk menjadikan bangsa dan negara ini menjadi sebuah bangsa dan negara yang berdaulat.
Terus terang, saya bangga sekali. Saya tidak akan menghilangkan nama belakang saya yang merupakan nama ayah saya, karena begitu bangganya saya terhadap kiprah ayah saya demi memerdekakan bangsa dan negaranya.
Meskipun nanti, mungkin, tidak ada lagi generasi penerus bangsa ini, yang mengingat siapa itu dr. Ismangil. Siapa itu Soeprijadi dan kawan-kawan. Dan, siapa itu para pahlawan bangsa dan negara ini, beserta kiprah mereka di dalam memerdekakan bangsa dan negaranya.
Ada sebuah pertanyaan yang kerap kali terlontar, sejauh mana perhatian pemerintah terhadap para keturunan tokoh-tokoh Pemberontakan PETA Blitar?
II: Sejauh ini, perhatian dan penghargaan yang diberikan pemerintah kepada kami cukup baik. Selain beberapa bantuan yang rutin selalu diberikan kepada kami, keturunan dan keluarga tokoh-tokoh Pemberontakan PETA, sejumlah penghargaan seperti dijadikannya nama keluarga kami sebagai nama jalan dan gedung di Kota mupun Kabupaten Blitar, cukup membuat kami merasa bangga.
Coba saja Anda bayangkan, jika nama ayah; suami; adik; kakak; sepupu; kakek; nenek; dan lain sebagainya yang masih terhitung kerabat kita dijadikan nama jalan di sebuah daerah, apakah Anda tidak layak untuk berbangga hati? Termasuk pula, jika mereka dimakamkan di taman makam pahlawan.
Sekadar gambaran, ayah saya beserta para lima pahlawan PETA, kecuali Soeprijadi yang belum diketahui kabarnya hingga kini, dimakamkan secara berdampingan. Mulai dari ayah saya; Shodanco Moeradi; Shodanco Soeparjono; dan seterusnya.
Semua itu mengandung makna, bahwa pengorbanan yang telah keluarga kami lakukan demi bangsa dan negara ini, diapresiasi dengan baik. Dan, menjadi suri tauladan bagi generasi penerusnya.
Terakhir, adakah pesan yang ingin Anda sampaikan kepada generasi penerus?
II: Pesan saya yang utama, adalah jangan lupakan jasa ayah kami. Jasa yang mungkin tidak akan mampu ditempuh oleh siapapun dalam konteks kekinian. Hal ini dikarenakan definisi pahlawan dalam konteks kekinian dengan di masa lampau, pastilah berbeda.
Kemudian, kita semua harus menerapkan intisari dari perjuangan ayah saya dan kawan-kawannya, yaitu keberanian untuk membela bangsa dan negara. Begitu gigihnya mereka di dalam perjuangannya demi Indonesia merdeka, hanya semata ditujukan untuk mengantisipasi agar generasi-generasi mereka selanjutnya lepas dari penjajahan bangsa dan negara lain. (tim)

*Tulisan ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008

Tidak ada komentar: