Senin, 03 Maret 2008

Kesetaraan

Tak mungkin akan tercipta kesetaraan bila elit tidak mencerminkan peradaban. Begitu ujar-ujar yang disampaikan Ki Hadjar Dewantara, sebagai pesan kepada para pemimpin negara ini di masa revolusi, pasca-proklamasi kemerdekaan RI.
Pesan Bapak Pendidikan Indonesia tersebut, mungkin, masih relevan dalam konteks kekinian. Kesetaraan yang menjadi idaman masyarakat, secara makro, dapatlah dikatakan sebagai sebuah isapan jempol belaka.
Pasalnya, seperti kita ketahui bersama, para elit kita, baik di kursi eksekutif dan legislatif, masih belum menampakkan sebuah perubahan yang menuju ke arah yang lebih baik lagi. Mereka belum dapat membuat sebuah peradaban yang dilandasi oleh kesetaraan.
Jika pun terdengar adanya kesetaraan, namun implementasinya masih belum menyatakan demikian. Maka, dapat dipastikan, (lagi-lagi) yang namanya kesetaraan masih bersifat isapan jempol belaka. Mimpi yang tidak berkesudahan.
Kondisi demikian di Kota Blitar, sudah mulai terkikis. Antara elit dengan masyarakatnya, kini mulai terlihat kesetaraan. "Jurang" pembeda di antara keduanya semakin tipis. Semakin tidak terlihat, jika yang menjadi tolok ukurnya adalah kesejahteraan.
Mengapa demikian? Patut diakui, kesadaran para elit untuk menjadi pamong praja-bukan lagi menjadi pangreh praja-bagi masyarakatnya, yang menjadi landasan utama. Semua yang dilakukan para elit Kota Blitar, pastilah dapat dibuktikan, adalah demi kesejahteraan masyarakatnya.
Hasilnya pun dapat dilihat dengan jelas. Banyak program dan kegiatan di Kota Blitar yang selalu melibatkan peran serta masyarakat. Tidak peduli apa rasnya, bagaimana keadaan sosial dan ekonominya, dan lain sebagainya.
Bahkan, untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat masyarakat yang kurang mampu pun, tidak terlihat lagi siapa yang paling berperan. Masyarakat dan elit seakan mau bersatu demi menciptakan sebuah "peradaban".
Peradaban yang dilandasi gelora dan semangat implementasi dari Pancasila. Gelora dan semangat untuk selalu bergotong royong untuk membangun daerah; nusa; bangsa dan negara. Gelora dan semangat untuk menciptakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bagi siapa pun yang memiliki keterikatan dengan Kota Blitar dan NKRI.
Sekarang yang menjadi pertanyaan, jika di Kota Blitar hal ini bisa dilakukan, mampukah hal ini "menularkan virus positif" bagi semua komponen masyarakat dan warga negara Indonesia? Niscaya hal ini tidak akan berjalan, jika elit masih merasa sebagai "elit"!

*Tulisan Editorial ini dimuat di Bulletin Cakrawala edisi Januari 2008

Tidak ada komentar: