Rabu, 12 Maret 2008

Masalah Kemiskinan

Pada bangsa apa pun, ketika para peneliti mengarahkan perhatiannya, mereka selalu menemukan dua golongan manusia: golongan yang berkecukupan dan golongan yang melarat. Di balik itu semua, selalu ditemukan suatu keadaan yang sangat menarik: golongan yang berkecukupan selalu semakin makmur tanpa batas, sedangkan golongan yang melarat selalu semakin kurus sehingga hampir-hampir tercampak di atas tanah, tak berdaya (Prof. Dr. Wajdi dalam Qardawi, 1987).



Illustrasi oleh Hbs, 2007

Kemiskinan, adalah sebuah permasalahan sosial-kemasyarakatan yang telah berlangsung sejak zaman dahulu kala. Hampir di semua penjuru dunia, termasuk di Indonesia, terlebih pasca-“dihantam” krisis multidimensi, kemiskinan beserta objeknya –orang miskin- dapat ditemui. Mulai dari yang hanya berlindung di bawah luasnya alam semesta, hingga yang berlindung di bawah rumah-rumah kumuh dan fasilitas-fasilitas umum yang dapat menjadi pelindung dari teriknya matahari dan berjatuhannya titik-titik air hujan, seperti jembatan; teras-teras toko dan lain sebagainya.

Sebagai masalah sosial-kemasyarakatan, kemiskinan sendiri kini telah menjadi sebuah studi tersendiri yang selalu mengundang “perdebatan dan pembahasan yang mendalam”. Banyak teori dan definisi dari kemiskinan telah diungkapkan oleh para ahli ilmu sosial. Levitan (1980), misalnya, mendefiniskan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sedangkan menurut Schiller (1979), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Kemudian, seorang ahli dari Indonesia, Emil Salim, mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Ala, 1981).

Kemiskinan juga seringkali dipahami dalam pengertian yang sederhana: keadaan kekurangan uang, rendahnya pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sehari-hari. Padahal, sebenarnya, menurut Bappenas RI, kemiskinan adalah masalah yang sangat kompleks, baik dari faktor penyebab maupun dari dampak yang ditimbulkannya.

Di sisi lain, secara sosiologis, kemiskinan sesungguhnya bukan semata-mata kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok atau standar hidup layak. Namun lebih dari itu, kemiskinan menyangkut kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya.

Menurut John Friedman (1979), kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial seperti yang dimaksudkan oleh Friedman tersebut meliputi: pertama, modal produktif atas aset, misalnya tanah, perumahan, peralatan, pendidikan dan kesehatan; kedua, sumber keuangan, seperti pendapatan dan kredit yang memadai; ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; keempat, network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai; serta kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan.

Chambers (1987), mendefinisikan kemiskinan sesuai dengan kenyataan dan konseptualnya. Menurut dia, inti masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut sebagai deprivation trap atau perangkap kemiskinan, yang terdiri atas lima unsur: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali berkait satu dengan yang lain, sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.

Dari kelima dimensi di atas, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian yang utama. Kerentanan, menurut Chambers, dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau ‘roda penggerak kemiskinan’ yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta bendanya dan aset produksinya, sehingga mereka menjadi rentan dan tidak berdaya.

Ketidakberdayaan keluarga miskin, salah satunya tercermin melalui sewenang-wenangnya golongan elit mem-fungsi-kan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin, pada kesempatan lain, dimanifestasikan dalam hal kerapnya keluarga miskin ditipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan terjadinya bias bantuan terhadap si miskin, yang ternyata malah diberikan kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi (Soetrisno dalam Dewata, 1995).

Seseorang atau sebuah keluarga yang miskin sering mampu tetap survive dan bahkan bangkit kembali, terutama bila mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang ‘melindungi dan menyelamatkan’. Seseorang atau keluarga yang jatuh pada ‘lingkaran setan atau perangkap kemiskinan’, mereka umumnya sulit untuk bangkit kembali. Seseorang yang dibelit ‘perangkap kemiskinan’ acapkali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, tidak atau sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan, dan bahkan acapkali justru mengalami penurunan kualitas kehidupan (Suyanto dalam Bappeda Kota Blitar dan Lembaga Penelitian Unair, 2003).

Latar Belakang dan Penyebab Kemiskinan

Berdasarkan penyebab yang melatarbelakanginya, secara teoritis, kemiskinan dibedakan ke dalam dua kategori. Pertama, kemiskinan alamiah, yang didefinisikan sebagai kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumberdaya yang langka jumlahnya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya, faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan karena ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. Di dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut dimungkinkan terdapat perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan ‘diperlunak’ oleh adanya pranata tradisional, seperti pola hubungan patron-client, jiwa gotong royong dan sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.

Dalam arti lain, kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Pada kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lemah atau terbatas, peluang produksi lebih kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah.

Kedua, kemiskinan struktural. Kemiskinan pada kategori ini kerap disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak langsung, kemiskinan stuktural umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi, tetapi juga mencakup masalah aturan main yang diterapkan. Kelembagaan struktural yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Dengan demikian, sebagian anggota masyarakat tetap miskin, walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan.

Kemiskinan struktural dalam banyak hal terjadi bukan karena seorang individu atau anggota keluarga malas bekerja atau karena mereka terus-menerus sakit. Berbeda dengan perspektif modernisasi yang cenderung mem-vonis kemiskinan bersumber dari lemahnya etos kerja, tidak dimilikinya etika wirausaha atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras. Menurut Soemardjan (1980), yang dimaksud kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Secara teoritis, kemiskinan struktural juga dapat diartikan suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber, dan oleh karena itu, dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya, sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah ‘mengurung’ mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-menurun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari ‘kemelaratan’ melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar.

Kemiskinan struktural biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup miskin dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu (golongan miskin, red) walaupun merupakan kelompok mayoritas dari masyarakat, dalam realitanya tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sedangkan masyarakat minoritas yang kaya raya, biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol pelbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya raya itu masih menguasai pelbagai kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan, yang berakibat terjadinya kemiskinan struktural.

Ciri utama kemiskinan struktural, adalah tidak terjadinya, kalaupun terjadi, sifatnya lamban sekali yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya, sedangkan yang akaya akan tetap menikmati kekayaannya. Menurut pendekatan struktural, adalah terletak pada ‘kungkungan’ struktural sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan pelbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Kelemahan ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari ‘kemelaratan’.

Ciri lain kemiskinan struktural adalah timbulnya ‘ketergantungan’ yang kuat dari pihak miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya. Menurut Mas’ud (1994), adanya ‘ketergantungan’ inilah yang selama ini berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining dalam hubungan sosial yang sudah ‘timpang’ antara pemilik tanah dan penggarap; antara majikan dan buruh. Dengan kata lain, pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialami, karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan untuk menentukan nasib ke arah yang lebih baik.

Secara makro, pemahaman tentang kemiskinan mencakup: (1) gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar; (2) gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi; serta (3) gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia (Sidik, 2006).

Selanjutnya, secara umum, teori-teori yang menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan, dapat dibedakan menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis pada pendekatan sosio-antropologi, khususnya tentang budaya masyarakat.

Teori yang berbasis pada teori ekonomi, antara lain melihat kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi; kegagalan kepemilikan; kebijakan yang bias ke perkotaan; perbedaan kualitas sumberdaya manusia; serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Di sisi lain, pendekatan sosio-antropologi menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural).

Sementara itu, pada sisi lainnya terdapat pandangan proses pemiskinan sebagai akibat kebijakan yang bias perkotaan. Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep ‘urban bias’ dalam menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan di negara sedang berkembang. Menurut Lipton dan Vyas: “Small, interlocking urban elites -comprising mainly businessmen, politicians, bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of professionals, academics and intelectuals- can in a modern state substantially control the distribution of resources”.

Bias perkotaan ini dipercaya oleh Lipton, karena menurutnya memang terdapat antagonisme antara penduduk pedesaan dan perkotaan, di mana yang pertama ditandai dengan kemiskinan. Karena itu, tidaklah mengherankan jika pembangunan yang hanya diarahkan ke perkotaan akan mengakibatkan semakin memburuknya kehidupan penduduk miskin di perdesaan. Untuk mengatasi kecenderungan yang negatif seperti itu, Lipton berpendapat bahwa negara sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya ke sumberdaya utama yang mereka miliki: pertanian yang padat karya (labour intensive).

Sementara itu, teori David C Korten menjelaskan, mengacu pada dikuasainya ekonomi dunia oleh korporat alias perusahaan-perusahaan raksasa dunia serta kerajaan finansial, dampak yang terjadi adalah merajalelanya kemiskinan. Kecuali aktual dan relevan dengan kondisi serta tantangan dunia dewasa ini, peringatan itu juga sejalan dengan arus pemikiran besar yang kini sedang bangkit serta bergaung di mana-mana. Yakni pemikiran, gerakan, bahkan langkah konkret untuk mengakhiri kemiskinan dengan pandangan, sikap, dan langkah yang dikenal sebagai the post-corporate world.

Dalam gerakan dan upaya baru itu, negara dengan pemerintahnya tetap harus berperan sentral serta membangun sosok hukum, peraturan, dan kebijakan publik yang memihak kepentingan rakyat banyak. Namun, peran negara dan pemerintah saja tidak memadai. Harus ikut serta dan disertakan peran dan partisipasi potensi dan kekuatan-kekuatan masyarakat, termasuk yang amat strategis adalah peran dan partisipasi dunia usaha.

Pergeseran pemikiran itu juga berakibat pada pergeseran gerakan kebangkitan dan pembaruan politik. Gerakan politik berikut hak-hak dasar politik serta hak-hak asasi harus sekaligus hak sosial, ekonomi, dan kultural. Pendekatan terhadap esensi pemahaman hak-hak dasar yang kecuali politik juga menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural mempunyai konsekuensi dan implikasi dalam pendekatannya. Secara simplistis perbedaan itu ada yang merumuskan, jika hak-hak dasar politik bertitik berat pada bicara, hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya harus mengandalkan perbuatan.

Relevansi pernyataan itu berlaku aktual bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Pandangan itu diperkuat oleh transisi demokrasi yang sedang Indonesia lalui, di mana seharusnya demokrasi mengacu dan identik dengan non-kekerasan. Tetapi, sejauh ini pengalaman di Indonesia menunjukkan demokrasi yang bersisi substansial kebebasan memberi kesan disertai justru dengan maraknya bukan saja unjuk rasa, protes, namun sekaligus bentrokan dan kekerasan. Jika dicermati beragam kasusnya, yang terbanyak bersumber pada kemiskinan dan ketidakadilan. Di antaranya berupa penggusuran yang membangkitkan protes, unjuk rasa, bentrokan, dan kekerasan.

Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Keberhasilan menurunkan kemiskinan tidak semata berada di tangan pemerintah. Peran dari masyarakat pun amat diperlukan. Indikator yang kasat mata adalah adanya pembangunan yang menyeluruh, yang mencakup bidang pertanian; pendidikan; kesehatan, termasuk keluarga berencana; serta prasarana pendukungnya. Indikator ini merupakan syarat layak manusia untuk ’hidup’.

Sedangkan, upaya penanganan kemiskinan, haruslah dilakukan oleh semua elemen masyarakat. Upaya itu kurang lebih bisa digambarkan demikian: komitmen yang sangat kuat dari semua pihak, terutama pemerintah; program-program pengentasan kemiskinan yang jelas dan komprehensif; bersifat memberdayakan masyarakat, dan bukan hanya sekadar bersifat kedermaan (charity); serta memerlukan anggaran besar yang dapat digunakan secara efektif, efisien, dan bebas dari kebocoran.

Istilah lainnya, dalam penanganan kemiskinan, haruslah dapat memadukan tiga arah kebijakan: kebijaksanaan tidak langsung untuk menciptakan kondisi makro yang mendukung penanggulangan kemiskinan; kebijaksanaan langsung membantu golongan masyarakat miskin (affirmative action); dan kebijaksanaan khusus untuk menjamin keberlangsungan (suistainability) program (Kartasasmita dalam Kompas, 13 September 2006).

Upaya pemerintah sekarang melalui program-program BLT; BOS; PKPS-BBM; dan lain sebagainya, memang merupakan langkah ’instan’ yang cukup baik dalam menangani kemiskinan. Namun, yang saat ini justru diperlukan adalah tindakan langsung yang berupa program affirmatif yang mampu membangun pemberdayaan dan keberdayaan.

Bukan lagi hanya bersifat kedermaan, seperti yang dilakukan melalui program-program BLT dan lain sebagainya tersebut. Sehingga, yang muncul kemudian adalah kemandirian. Satu kata kunci lain adalah, program-program tersebut harus dilakukan oleh masyarakat ”golongan” miskin itu sendiri dan bukan oleh orang lain atas nama atau untuk masyarakat miskin. Dan, pastinya pula, program-program tersebut harus menjamin keberlangsungan sifatnya.

Program-program pemberdayaan ini juga harus tertuang dalam sebuah formulasi-formulasi yang tepat dan sesuai dengan wilayahnya. Jangan sampai program ini muncul hanya karena desakan politis, atau karena desakan-desakan lainnya yang hanya bersifat sesaat. Selain itu, sasaran yang akan terkena pelaksanaan program ini juga harus tepat, dan tidak mengenai pihak-pihak yang selama ini merasa ”diuntungkan” dengan program-program pemberdayaan ini.

Dampak lain dari adanya penanganan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan secara mandiri dan berkelanjutan, adalah menggugah kembali semangat kegotongroyongan dan solidaritas di antara anak bangsa. Karena, dengan kepedulian masyarakat sekitar di dalam pelaksanaan program pemberdayaan ini kepada si miskin, membuat keterikatan di antara komunitas masyarakat yang ada, menjadi kuat. Tidak ada pandang bulu, semua terlibat berdasarkan kemampuan masing-masing.

Tidak ada komentar: