Senin, 03 Maret 2008

Sekelumit Tentang Pemberontakan PETA Blitar

Bendera PETA

Mau diakui atau tidak, pemberontakan yang telah Soeprijadi dan kawan-kawan lakukan enam bulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, telah membuka mata dunia. Mengapa?
Tanggal 11 Januari 1942, Jepang yang memenangkan perang Asia-Pasifik atau Asia Timur Raya mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Dalam waktu sekejap, Dai Nippon Guntai (Angkatan Darat Jepang) telah mendarat di pelbagai daerah di pantai utara pulau Jawa.
Tak lama kemudian, tanggal 9 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Belanda merangkap Panglima Sekutu di Indonesia, Jenderal Carda van Starkenborgh Stachouwer, menyerah tanpa syarat kepada Jepang, yang bertempat di Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Dengan menyerahnya Panglima Angkatan Perang Belanda tersebut, sekaligus menghentikan perlawanan Sekutu di seluruh bekas jajahan Belanda di Indonesia (Hindia Belanda). Peristiwa tersebut sekaligus pula menghapuskan mitos yang selama ini dibiuskan kepada rakyat Indonesia oleh pihak Belanda, yang mengatakan "bangsa kulit putih, bangsa yang luhur, dan tak mungkin terkalahkan oleh bangsa Asia."
Mesin perang pun berjalan terus. Hampir setiap hari Jepang mencatat kemenangan di berbagai front di Asia dan Pasifik. Namun, pada pertengahan 1943, kedudukan Jepang mulai terdesak kekalahan. Tentara Amerika dan Inggris (Sekutu) setapak demi setapak maju, satu demi satu pulau di kawasan Pasifik, dapat direbut kembali. Mula-mula kepulauan Marshall; menyusul Gilbert dan Carolina; terus maju ke Filipina dan bagian timur Nusantara. Bahkan, di front Burma (Myanmar) dan India, ternyata Jepang sudah tidak bisa maju lagi. Mereka tampak kewalahan menghadapi gempuran-gempuran Inggris.
Menyadari kedudukannya yang semakin terdesak kekalahan, pemerintahan Kerajaan Jepang membuat siasat baru Dengan mempersiapkan segala sesuatunya guna membangkitkan perlawanan yang lebih luas dan lama di Nusantara ini, mereka mengerahkan sebanyak-banyaknya kekuatan rakyat pribumi untuk diajak bersama-sama Dai Nippon memerangi Sekutu.
Dengan semboyan "hidup di bawah lindungan saudara tua", ternyata sepanjang masa pendudukannya (1942-1945), Dai Nippon berhasil meraih empati bangsa Indonesia. Padahal, di satu sisi, mereka hanya ingin menguasai dan memeras kekayaan bangsa ini.
Terlebih, dengan tidak terdengarnya lagi Wilhelmus van Nassauwe (lagu kebangsaan Belanda) karena digantikan Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) dan tidak berkibarnya lagi "si tiga warna" karena digantikan dengan Hinomaru (bendera Jepang), membuat Jepang semakin jumawa dan menjadikan keadaan negeri ini semakin parah.
Penindasan; penghinaan; perlakuan sewenang-wenang; perampasan harta benda dan tenaga paksaan; telah mengakibatkan kemelaratan dan kesulitan hidup sehari-hari, terutama dirasakan rakyat di pedalaman. Di kota-kota sudah tidak aneh lagi melihat orang kurus-kering kelaparan, bahkan sering juga terlihat mati di tengah-tengah keramaian.
Penderitaan rakyat Indonesia, kesengsaraan lahir batin rakyat negeri ini, ditambah dengan satu bentuk kewajiban bersujud ke utara menghadap ke Maharaja Kerajaan Jepang (Kaisar Tenno Heika). Selain dari itu, dengan tipu muslihat pula, mereka mengumpulkan gadis-gadis kita dari berbagai golongan lapisan masyarakat, antara lain dengan janji-janji akan disekolahkan dan dipekerjakan. Ternyata, gadis-gadis itu dijadikan jugun ianfu, yang tidak lain sebagai pemuas nafsu serdadu-serdadu Dai Nippon.
Romusha, adalah salah satu bentuk kesengsaraan dan sebuah kata yang dikenal menimbulkan rasa takut bagi bangsa Indonesia selama Jepang berkuasa. Artinya, sama dengan kuli di zaman penjajahan, tetapi dengan nasib yang lebih buruk.
Berpuluh-puluh ribu romusha dikerahkan dengan paksa untuk dipekerjakan membuat lapangan terbang; jalan kereta api; lubang perlindungan; dan lain-lain, guna keperluan perang Dai Nippon. Mereka diangkut tidak hanya dari wilayah Indonesia, tetapi dari Myanmar; Thailand; dan negara-negara yang pernah ditaklukkan Jepang.
Tenaga mereka (para romusha) diperas, tetapi makanan; pakaian; kesehatan; dan perumahan diabaikan, hingga kematian tidak terhitung banyaknya. Mereka hilang untuk selama-lamanya, tidak diketahui letak kuburnya. Sisa-sisa yang dapat meloloskan diri atau melampaui masa perang dan masih hidup, terdapat di lokasi bekas kerjanya (Birma dan Thailand).

PETA
Kedudukan Jepang dalam Perang Dunia II mulai terdesak, meski sejumlah peralatan dan tenaga keprajuritan telah terpenuhi. Karena itulah, kemudian Jepang menempuh dua kebijakan untuk meraih hati masyarakat Indonesia yang telah remuk-redam melihat perlakuan Jepang kepada saudara-saudara mereka.
Kebijakan pertama, di bidang politik, Jepang mengadakan "dewan perwakilan rakyat," di pusat dinamakan Tjuo Sangiin dan di tiap keresidenan disebut Shu-Sangikai. Anggota-anggotanya ditunjuk.
Di lapangan, Angkatan Bersenjata Jepang membentuk pasukan tentara sukarela. Dalam bahasa Jepang dinamakan Kyodo Boui Cyu Gun. Barisan sukarela ini kemudian lebih dikenal dengan nama Tentara Pembela Tanah Air (PETA), berdasarkan gagasan Gatot Mangkoepradja.
Pada tanggal 7 September 1943, gagasan Gatot Mangkoepradja tersebut tercetus di dalam pengajuan surat permohonan kepada Guseikan dan Saiko Sikikan, Panglima Tentara Pendudukan Kerajaan Jepang di Jakarta, mengenai perlunya segera dibentuk "Barisan Sukarela" untuk membela tanah air. Surat permohonan yang ditulis dengan tinta darahnya sendiri itu, ternyata mendapat banyak dukungan dan sambutan hangat dari berbagai golongan masyarakat, terutama dari anggota Seinendan dan Keibodan.
Atas perintah Saiko Sikikan, untuk mencoba apakah pemuda-pemuda Indonesia dapat diberi tugas militer, maka dibukalah Seinendojo (pusat latihan pemuda) di Tangerang, yang dipimpin perwira intel, Lettu. Motosjige Janagawa. Angkatan pertama diikuti 50 pemuda, dan dilatih selama enam bulan. Saiko Sikikan, merasa puas akan hasil latihan itu dan memerintahkan dilanjutkan dengan angkatan berikutnya.
Karena itulah, kemudian keluar keputusan Saiko Sikikan dan Letjen. Kumakitji Harada tentang pembentukan pasukan sukarela untuk mempertahankan tanah air dari serangan Sekutu, sesuai dengan undang-undang (Osamu Seirei No. 44), tertanggal 3 Oktober 1943.
Di dalam penjelasan Osamu Seirei tersebut, dikatakan bahwa untuk menyambut semangat yang berkobar-kobar dan memenuhi keinginan penduduk asli di Pulau Jawa untuk membela tanah airnya, maka balatentara Dai Nippon membentuk PETA atas dasar membela Asia Timur Raya bersama-sama. Di dalam PETA, ditempatkan beberapa perwira Jepang sebagai pendidik. Calon-calon perwira Indonesia dididik di Bogor, selama tiga bulan, dan tempat pendidikannya dinamakan Bo Ei Gyu Gun Renseitai.
Selanjutnya, di tiap karesidenan dibentuk pasukan 1000 prajurit, dan dikepalai perwira-perwira Indonesia yang telah mendapat latihan dasar ilmu kemiliteran; pengetahuan senjata; siasat perang; dan bertempur. Usai pendidikan, mereka ditugaskan menyiapkan barisan di karesidenan masing-masing. Strukturnya, kepala barisan dinamakan Daidancho; pimpinan kompi disebut Shodanco; dan Bundanco untuk pimpinan peleton. Kesemuanya orang Indonesia.

PETA Blitar
PETA Blitar diresmikan pada tanggal 25 Desember 1943 oleh Katagiri Butaico atas nama Saiko Sikikan, sebagai satu di antara dua Daidan resmi yang ada di Karisidenan Kediri. Nama lain Daidan Blitar adalah Dai Ni Daidan, atau diartikan sebagai batalyon kedua.
Susunan organisasi Dai Ni Daidan terdiri atas Daidancho Soerakhmad sebagai Kepala Daidan; Shodanco Soekandar sebagai ajudan Dai Ni Daidan; Shodanco Moelyadi sebagai Honbu Shodan; Ensei Gakari dijabat Cudanco dr. Ismangil; Cudanco Soekandar memimpin Ensyu Gakari; Jinji Gakari dijabat Cudanco Soekeni; Cudanco Soehadi memimpin Heiki Gakari; Keiri Gakari dijabat Shodanco Soenardi; Shodanco Partohardjono memimpin Buppin Gakari; dan Daidanki Gakari dijabat Shodanco Wahono.
Sementara itu, Kompi I atau Dai Ici Cudan dipimpin Cudanco Soehoed, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Koesdi; Shodanco Moeljohardjono; Shodanco S. Djono; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Goenawan.
Dai Ni Cudan atau Kompi II dipimpin Cudanco Hasannawi, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Soeparjono; Shodanco Soenjoto; Shodanco Moendjijat; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Imam Moenandar.
Kompi III atau Dai San Cudan yang merupakan kompi bantuan dipimpin Cudanco Ciptoharsono, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Soeprijadi; Shodanco Moeradi; Shodanco Soekeni; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Soenanto.
Terakhir, Dai Yon Cudan atau Kompi IV dipimpin Cudanco Soejatmo, dengan peleton-peleton di bawahnya yang dipimpin Shodanco Akhijat; Shodanco Soekijat; Shodanco Soewarna; dan komandan markas (Dai Ici Sigiangco) Bundanco Soedarmadji.
Secara khusus, pasukan PETA Blitar memiliki kedudukan yang istimewa: bertugas membangun perbentengan di berbagai tempat sampai di pantai selatan dan Tuban. Di samping itu, para prajurit PETA itu harus tetap melakukan latihan-latihan yang berat di bawah perlakuan pelatih-pelatih Jepang yang kasar dan menyakitkan hati.
Dalam perjalanan ke tempat-tempat lain dalam rangka pembangunan perbentengan tersebut, anggota PETA Blitar dapat melihat segala jenis penderitaan rakyat (di antara mereka terdapat sanak keluarga pasukan PETA sendiri).
Di tempat kerja tersebut, mereka melihat nasib para romusha yang diperlakukan tidak sebagai manusia. Timbullah rasa berontak dan mendendam yang tidak dapat disimpan lebih lama lagi. Beberapa perwira PETA telah mencapai kata sepakat dan tekad bulat untuk mengangkat senjata terhadap "saudara tua" yang zalim, melalui "rapat-rapat rahasia" yang dimulai awal tahun 1944.
Pembagian tugas pun disusun. Daidan-daidan lain dihubungi. Para anggota Daidan Blitar diberi "pengertian-pengertian". Bahkan, para pimpinan pemberontakan telah direncanakan ketika adanya kegiatan latihan bersama dengan sepuluh Daidan lain pada tanggal 5 Februari 1945 di Tuban.
Namun, ternyata latihan bersama itu digagalkan Jepang, setelah Dai Nippon mencium gelagat dari pasukan PETA. Usai gagalnya latihan bersama di Tuban itu, keadaan pasukan PETA Blitar semakin gawat. Semua kegiatan mereka dimata-matai.
Puncaknya, mulai tanggal 9 Februari 1945, Shodanco Soeprijadi meninggalkan asrama melalui pintu belakang. Tujuannya, bertemu guru spiritualnya: Kasan Bendo, guna meminta nasehat atau petuah-petuah dari salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu.
Salah satu nasehat Kasan Bendo kepada Soeprijadi setelah mengutarakan maksudnya untuk memberontak terhadap penjajahan Jepang yang terkenal adalah: "Saat ini sebenarnya belum waktunya untuk melawan tentara Jepang. Tunggu empat bulan lagi. Akan tetapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah mulia, yakni untuk melenyapkan penderitaan dan penjajahan dari bumi Tanah Air kita".
Setelah mendapat restu Kasan Bendo, dan sempat berdiskusi dengan pemimpin PUTERA, Ir. Soekarno, yang tengah berkunjung ke Ndalem Gebang , Shodanco Soeprijadi beserta Shodanco Moeradi; Shodanco Soeparjono; Bundanco Halir Mangkoedidjaja dan Bundanco Soenanto melakukan "rapat rahasia" terakhir mereka di kamar Halir Mangkoedidjaja, 13 Februari 1945. Hasil rapat itu pun putus sudah. Pemberontakan terhadap "saudara tua" yang zalim harus segera dilakukan.

Berkibarnya Sang Saka Merah Putih
Pemberontakan itu pun direncanakan dilaksanakan pada pukul 03.30 dinihari tanggal 14 Februari 1945. Sebab, berdasarkan pendapat Halir Mangkoedidjaja seusai rapat rahasia, "Karena rencana kita untuk memberontak telah diketahui oleh tentara Jepang, maka sebaiknya pemberontakan itu kita cetuskan secepat mungkin. Kita tidak perlu menunggu-nunggu lagi, karena keadaan dan penderitaan rakyat Indonesia sudah tidak tertahan lagi. Apalagi tadi siang, yakni pada kira-kira pukul 14.00 ada satu gerbong kenpetai yang datang dari Semarang. Sebagian dari mereka pada saat ini bermalam di Hotel Sakura Blitar. Apakah kedatangan para anggota kenpetai itu tidak bermaksud untuk menangkapi kita? Mengingat bahwa rencana pemberontakan kita sudah bocor, mungkin sekali mereka memang sengaja didatangkan ke Blitar untuk menangkap kita semua".
Pendapat Halir tadi diperkuat dengan peringatan Soeprijadi: 1) Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga untuk mencapai kemerdekaan Tanah Air dengan secepat-cepatnya; 2) Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata jangan sampai Indonesia "didominionkan"; 3) Sebagai bangsa yang ingin merdeka kita harus berani berjuang dan rela berkorban untuk menghentikan penindasan dan pemerasan yang sewenang-wenang terhadap rakyat yang sudah sangat menderita; dan 4) Konsekuensi dari pemberontakan kita ini ialah paling ringan dihukum dan disiksa serta paling berat dibunuh, tetapi kita harus mencegah sejauh mungkin jangan sampai kita membunuh bangsa sendiri.
Pukul tiga malam, 14 Februari 1945, senjata dan peluru dibagikan; barisan-barisan dipersiapkan; serangan dibuka dengan mortir berat (hakugekiho) oleh pasukan Bundanco Soedarmo, diarahkan ke Hotel Sakura, tempat perwira-perwira Jepang.
Hajime...! Teriak Shodanco Soeprijadi memberikan komando pemberontakan. Bersamaan dengan komando itu, Bundanco Poedjianto memutuskan hubungan telepon dari segala jurusan. Kantor Kenpetai Jepang di Blitar diserbu dari segala jurusan.
Pada saat-saat yang tegang itu, Shodanco Partohardjono membawa sehelai bendera Merah Putih yang telah lama disiapkan, perpaduan kain merah dari gudang Daidan dan kain putih sarung bantal jahitan isterinya, Sukmi, ke tiang bendera yang berada tengah-tengah lapangan besar di seberang Daidan (kini TMP Raden Wijaya dan tiang bendera itu dinamakan Monumen Potlot,red).
Sebelum dikibarkan, lipatan bendera itu diciumnya tiga kali, kemudian dikereknya pada tiang bendera di sana, diiringi suara tembakan dari segala penjuru kota. Setelah Sang Saka Merah Putih berkibar di angkasa, dia pun bersikap sempurna dan memberi hormat. Belum puas juga, dia menyembah tiga kali dan mencium tanah sebagai tanda syukur. Usai "ritual" tersebut, dia cepat-cepat berlari ke arah timur mengejar rombongan yang menurut rencana meang menuju ke arah sana.
Pasukan PETA bergerak membinasakan semua orang Jepang di Blitar; membebaskan para tahanan; melucuti senjata polisi yang menghalang-halangi perjuangan; dan kemudian, menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Shodanco Dasrip di sektor selatan melakukan serangan di dalam kota dan bergerak terus hingga ke Brubuh, Lodoyo; pasukan Shodanco S. Djono melakukan pembersihan kota di kawasan barat kota dan bergerak terus hingga ke Srengat; pasukan Shodanco Soenarjo membersihkan sektor utara kota dan bergerak terus hingga ke Talun; dan pasukan Shodanco Moeradi yang melakukan pembersihan di dalam kota bergerak terus hingga ke Ponggok dan bergabung dengan pasukan Shodanco S. Djono.
Pasukan Shodanco Soeprijadi sendiri bertugas ke timur untuk menghadang tentara Jepang dari Katagiri Butai Malang. Namun, rencana itu pun tidak berjalan dengan baik. Kendati berhasil membunuh sejumlah penjajah Jepang, tetapi semua pasukan PETA, kecuali pasukan Dasrip, malah melaju ke Hutan Ngancar, Kediri, dan bersembunyi di sana.
Hingga akhirnya, pasukan PETA diperdayai Jepang melalui sebuah perjanjian (Perjanjian Ngancar,red), pada tanggal 19 Februari 1945, yang di kemudian hari justru diingkari Jepang.
Isi dari Perjanjian Ngancar itu sendiri adalah: janji pemerintah Dai Nippon untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia; tidak akan melucuti persenjataan kesatuan tentara PETA Blitar; membebaskan tuntutan hukum bagi gerakan pemberontakan PETA Blitar; dan kendaraan yang mengangkut pasukan pimpinan Shodanco Moeradi untuk kembali ke Blitar dikemudikan tentara PETA Blitar sendiri.
Kenyataannya, sekembalinya dari Hutan Ngancar ke Daidan Blitar, para pemberontak itu malah dikenai hukuman yang harus diterima dari pemerintah Dai Nippon. Tingkatan hukuman bagi mereka yang terlibat di dalam pemberontakan itu pun tidak sama.
Enam puluh tujuh orang, kecuali Shodanco Soeprijadi yang dianggap "otak" pemberontakan itu dan menghilang ketika dalam perjalanan menuju Hutan Ngancar (hingga kini masih menjadi misteri,red), dibawa ke Jakarta untuk menempuh hukuman. Enam orang, Shodanco Moeradi; Cudanco dr. Ismangil; Shodanco Soeparjono; Bundanco Halir Mangkoedidjaja; Bundanco Soenanto; dan Bundanco Soedarmo, dihukum mati di "Eereveld" Ancol, Jakarta.
Sisanya, selain dimasukkan ke dalam penjara di Jakarta dan Bandung, secara kolektif, Daidan Blitar diasingkan di daerah Gambyok, Desa Mojoduwur, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. Tidak lama kemudian, setelah Republik Indonesia diproklamasikan, hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia pun direhabilitasi dan dibebaskan dari hukuman zaman Jepang.
Bagi warga Kota Blitar, Pemberontakan PETA tersebut bukanlah sesuatu yang memalukan. Tetapi, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Dan, sekaligus menjadi inspirasi untuk mengadopsi semangat dan gelora Soeprijadi dan kawan-kawan di dalam membangun daerah. (dari pelbagai sumber)




BK "Terlibat"?

Benarkah Bung Karno (BK) "terlibat" di dalam pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Shodanco Soeprijadi, 14 Februari 1945? Sejauh mana "keterlibatan" BK? Berikut petikan pengakuan BK kepada Cindy Adams di dalam bukunya "Penyambung Lidah Rakyat" halaman 132:
...Bagi orang Jepang maka pemberontakan PETA merupakan peristiwa yang tidak diduga sama sekali. Akan tetapi bagi Soekarno tidak. Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar. Orang tuaku di Blitar.
Pada waktu aku berkunjung pada orang tuaku ke Blitar, beberapa orang perwira PETA datang kepadaku. Para perwira ini mempersoalkan maksud mereka hendak mengadakan pemberontakan. "Kami baru mulai merencanakannya," mereka menyampaikan dengan kepercayaan penuh, "akan tetapi kami ingin mengetahui pendapat Bung Karno sendiri."
"Pertimbangkanlah masak-masak untung-ruginya," jawabku dengan hati berat. "Saya meminta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja." "Kita akan berhasil," Soeprijadi menjamin sebagai pemimpin pemberontakan ini.
"Saya berpendapat, bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang." "Kita akan berhasil," kata Soeprijadi mengulangi kembali.
Aku memandang ke dalam wajah-wajah yang masih muda dan berapi-api. Dan aku menyadari, bahwa tidak satupun yang dapat menghalang-halangi maksud mereka. Aku hanya berkata, "Kalau kiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua."
"Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?"
"Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang kebanyakan, bukan preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis. Di samping itu, saya harus menerangkan dengan jelas kepadamu semua. Kalau engkau terus bertahan hendak mengobarkannya, saya sokong. Saya akan membantu dalam pembuatan rencana. Akan tetapi, saya harus hati-hati sekali menutupi jejakku. Jangan sampai timbul persangkaan Jepang, bahwa ini kebetulan terjadi di negeriku. Dalam keadaan apa pun, saya tidak akan membukakan rahasia ini. Saya akan terpaksa memungkiri segala sesuatu yang kuketahui mengenai peristiwa ini, demi berlangsungnya kehidupan PETA untuk masa selanjutnya."
"PETA adalah alat vital bagi revolusi kita yang akan datang. Saya tidak dapat mengorbankan seluruh PETA guna kepentingan beberapa orang. Kalau sekiranya saudara semua tertangkap, maka kewajiban sayalah untuk berusaha dengan segala daya menyelamatkan pasukan PETA yang selebihnya." (dari buku Penyambung Lidah Rakyat)

*Tulisan ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008

Tidak ada komentar: