Senin, 03 Maret 2008

Belajar

TS. Elliot, sejarawan kenamaan, pernah mengatakan, jika masyarakat ingin maju peradabannya, belajarlah dari sejarah. Sejarah ini mengajarkan kepada manusia cara berpikir, bersikap dan berbuat yang merujuk pada masa lalu guna membangun masa depannya...Dari sejarah, manusia bisa berkaca tentang peristiwa masyarakat atau bangsa yang gagal dan sukses dalam kehidupannya....
Apa yang diungkapkan sejarawan tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini, manusia selayaknya mau berkaca pada peristiwa masa lalu. Dari agenda sejarah ini, manusia akan bisa menemukan mutiara hikmah yang berguna untuk mendidiknya sehingga dalam kehidupan yang dijalani tidak sampai terjerumus, apalagi terjungkal di jurang kegagalan (Abdul Wahid, 2007).
Intisari dari apa yang disampaikan petikan tulisan Abdul Wahid di atas adalah sejarah merupakan sebuah pelajaran yang baik untuk merefleksikan suatu bangsa dan negara, serta menjadikannya "modal" untuk membangun masa depan yang baik.
Sejalan dengan itu, Kota Blitar sudah tepat di dalam relnya, dengan menjunjung tinggi gelora dan semangat perjuangan serta keteladanan "anak daerah"-nya, seperti Adipati Ariyo Blitar; Shodancho Soeprijadi; dan Ir. Soekarno, untuk membangun daerah.
Sebab, mau diakui atau tidak, figur para tokoh itulah yang menginspirasi dan mengilhami "nafas" masyarakat Kota Blitar di dalam membangun daerah. Selain dihormati, para tokoh tersebut, memberikan "arti" yang besar bagi kebesaran nama daerah; nusa; bangsa dan negara ini.
Tetapi, benar apa yang dikatakan Abdul Wahid di dalam tulisannya itu, bahwa kita sebaiknya tidak hanya mengambil gelora, semangat dan keteladanan para tokoh tersebut. Kita harus menentukan arah dan agenda sejarah kita sendiri. Serta mengelolanya demi kebaikan semua komponen masyarakat.
Karena itulah, "figur-figur" baru yang mampu menyerap intisari semangat, gelora dan keteladanan para tokoh tersebut, amat diperlukan sebagai "modal dasar" pembangunan daerah.
Dan, agar tidak terputus, kita harus menyiapkan pula "figur-figur" mendatang yang nantinya harus memiliki "modal dasar" tersebut, serta mampu mengembangkannya di tengah himpitan perubahan zaman yang semakin cepat dan deras ini.
Sehingga, sebuah cita-cita daerah: pembangunan daerah yang berlandaskan atas "nafas" nasionalisme di Kota Blitar, bisa terus berjalan, tanpa memedulikan siapa pun "figur" pemimpin daerah.
Hal ini menjadi bersifat penting, sebab, kami yakin, tidak ada satu pun ingin pembangunan daerahnya menjadi gagal. Terjerumus di dalam kegagalan. Semua manusia Kota Blitar pastilah menginginkan kesuksesan. Lagi pula, siapa, sih, yang ingin dianggap gagal?

*Tulisan Editorial ini dimuat pada Bulletin Cakrawala edisi Februari 2008

Tidak ada komentar: